Semua Bab Apa Warna Hatimu?: Bab 41 - Bab 50
151 Bab
Chapter 41 : Obat Gosok
    Benar kan. Beberapa lebam muncul di lenganku. Hari ini aku terpaksa memakai kaos turtle neck lengan panjang berwarna hitam. Saat melihat penampilanku di cermin aku senang juga. Sedikit mirip dengan gaya berpakaian almarhum Steve Jobs.    "Pagi, Bernard," sapaku riang.    "Pagi, Hazel. Wah, kamu terlihat keren sekali hari ini? Ada meeting?" sapa Bernard.    "Richard nggak bilang sih, mungkin nggak ada."    "Oke. Baguslah. Terlalu banyak meeting membuat pekerjaan tertunda." Bernard tersenyum.    Aku langsung menuju ruanganku. Dari jendela kulihat awan mendung bergelayut di ufuk langit. Pertanda mau turun hujan. Semoga aku tidak kehujanan saat pulang nanti.    "Pagi, Hazel." Richard masuk ke ruanganku. Matanya memperhatikan lengan bajuku. "Tanganmu nggak apa?"    "Nggak, cuma lebam aja." Aku menyeringai.    "Coba kulihat." Richard mendekati dan h
Baca selengkapnya
Chapter 42 : Undangan
    Aku heran saat telepon di mejaku berbunyi. Langka sekali. Tanpa banyak berpikir aku mengangkatnya.    "Halo?" sapaku.    "Masih ingat dengan saya?" tanya sebuah suara berat nan berwibawa.    Mana bisa kulupa? Suara itu baru saja berceramah di depanku kemarin sore, berbicara panjang lebar tentang analisanya terhadap perasaanku dan Richard. Abram.    "Tentu saja ingat, Pak Abram. Ada keperluan apa dengan saya?" Aku berbicara sesopan jiwa pemberontakku mengijinkan.    "Saya mau mengundangmu makan malam bersama, di restoran Diamond." Abram menyebutkan nama sebuah restoran bintang lima.    "Baiklah. Jam berapa saya harus tiba?"    "Jam lima saya kirim sopir menjemputmu."    "Baik, Pak."    "Richard tidak tahu masalah ini." Nada suara Abram memberi peringatan.    "Oke, saya mengerti."    Abram memutus
Baca selengkapnya
Chapter 43 : Abram dan Hazel
    Richard menungguiku dengan setia. Ekspresinya lumayan keruh sejak tadi siang karena akhirnya aku memberitahu tentang ajakan makan malam Abram. Aku khawatir Richard akan memaksa ikut, atau lebih buruk lagi mengurungku di penthouse.    "Kamu nggak berniat aneh-aneh kan?" Aku memastikan.    Richard menggeram tidak jelas.    "Apa sih? Bicara bahasa manusia dong?"    "Kalau mau pergi, ya pergi saja. Aku nggak mencegah."    "Benar?"    "Besok ceritakan semua obrolan kalian padaku. Atau kalau bisa kamu rekam diam-diam deh."    Aku tercengang, memangnya aku ini anggota tim Mission Impossible yang punya peralatan penyadap canggih?    "Udah ah. Ngomong melulu nggak kelar-kelar...," gerutuku. Waktunya hampir tiba dan aku merapikan meja.    "Oke." Richard masih terlihat suram.    Bukannya aku tega tapi janji dengan bos besa
Baca selengkapnya
Chapter 44 : Mengorek Informasi
    Hari ini aku berusaha fokus pada pekerjaan, yang sangat sulit kulakukan dengan kehadiran Richard di ruanganku. Dia bersikeras duduk di mejaku dengan laptopnya. Aku kesal karena merasa dipojokkan. Aku menggerakkan mouse-ku dengan ribut.    "Hazel, tenang sedikit, please? Kepalaku seperti mau pecah mendengar keributanmu. Aku sedang berusaha kerja," keluh Richard.    "Di ruangan sendiri pasti lebih tenang," gerutuku.    "Aku mau di sini." Richard menunjukkan sisi kepala batunya.    "Ya udah, dibiasakan aja." Aku melengos.    Ruanganku tidak sempit, peredaran udara pun sangat bagus. Jadi kenapa aku merasa sulit bernafas? Ini pasti gara-gara Richard memepetku. Kenapa sih ini orang? Tidak bisa baca situasi? Kalau seorang wanita bersikap ketus itu tandanya dia minta ditinggalkan sendiri! Dasar lelaki tidak peka! Bagaimana bisa jadi pasangan yang baik?    Aku nyaris menampar diriku
Baca selengkapnya
Chapter 45 : Richard dan Abram
    Suasana mencekam di kediaman mewah Abram Yilmaz. Richard duduk di sofa ruang tamu berhadapan dengan sang ayah. Mata mereka bertemu.    "Ayah, bisakah kamu tidak mengganggu Hazel?" Richard buka suara.    "Oh? Gadis kecil itu bercerita apa padamu?"    "Semuanya."    Abram tertawa kecil melihat putranya yang sedang membela Hazel, "Masih menyangkal perasaanmu padanya?"    "Dia bekerja di bawah pimpinanku, aku bertanggungjawab atas kenyamanan dan keamanannya, Ayah," elak Richard.    "Kenapa tidak bilang bertanggungjawab atas kebahagiaannya juga?" ejek Abram.    "Apa pun yang Ayah pikirkan, mohon jangan bawa-bawa Hazel. Dia seorang desainer yang baik, karena itulah aku mempekerjakannya."    "Richard, Ayahmu bukan anak kecil yang bisa dibohongi. Jika Ibumu masih hidup dia mungkin bisa tertipu, tapi aku tidak. Hidupku sudah melampaui setengah abad, Na
Baca selengkapnya
Chapter 46 : Tetap Berteman
    Aku sedang asyik mencari foto-foto gratisan di website saat Richard masuk ke ruanganku. Aku melirik ke arahnya sekilas. Otakku segera memutar ulang percakapan dengan Abram untuk mencegahku bersikap terlalu akrab terhadap Richard.    Benar saja. Dia tertegun sesaat karena aku mengabaikan kehadirannya. Hatiku merasa sedih melihat ekspresi Richard.    Oke, stop! Apa pun perasaan Richard tidak ada urusannya denganku! Please deh, aku tidak butuh dihina lagi oleh Abram atau makhluk sejenisnya. Level mereka terlalu jauh di atasku.    "Kamu mengerjakan apa? Asyik banget kayaknya?" Richard menumpukan satu tangan di mejaku, membuat tubuhnya condong ke arahku.    Aku langsung disergap oleh kehangatannya. Aku menggeser mundur kursiku hingga melindas kakinya. Argh! Dejavu!    Richard mendelik, "Hazel, bisa nggak kamu bersikap biasa kalau ada aku?"    Aku meringis, "Sorry...." 
Baca selengkapnya
Chapter 47 : Dansa Pertama
    Hari ini hari Sabtu. Nanti sore aku dan Richard akan menghabiskan waktu berdua dalam pesta pernikahan orang yang tidak kukenal sama sekali. Demi mengejar jam empat sore aku kerja ngebut sejak pagi. Aku bahkan lupa waktu. Kalau bukan karena Richard menyeretku lepas dari meja aku pasti tidak makan siang.    Tidak kusangka Richard menyeretku ke penthouse. Rupanya Bernard sudah naik duluan. Lelaki paruh baya itu sedang sibuk memanggang ayam di dapur. Aromanya membuat air liurku terbit.    "Bekerja keras itu baik, tapi nggak boleh lupa makan," ucap Richard.    "Iya, Paman Richard," ledekku.    "Apa kamu bilang??" Richard mengernyit.    "Paman. Kamu kan lebih tua sepuluh tahun dariku." Aku menahan tawa.    Bernard geleng-geleng kepala. Dua bocah ini mulai lagi, batinnya.    "Kalau begitu kamu harus sopan sama orang tua."    "Nggak ah. Kecuali kamu t
Baca selengkapnya
Chapter 48 : Berteduh
    Setelah apa yang terjadi di pesta semalam, aku benar-benar butuh refreshing. Aku harus menjernihkan kepala. Abram membuatku ingin menjauh dari segala hal yang berhubungan dengannya, tapi Richard malah menarikku mendekat.    Aku punya hati loh! Enak saja mereka berbuat sesuka hati tanpa bertanya dulu! Makin dipikir makin kesal.    Baru saja aku selesai mandi dan berpakaian, handphoneku berdering. Aku malas melihatnya.    "Ya?" sapaku.    "Pagi, Hazel. Kamu mau ke pantai hari ini?" suara Richard.    "Iya sih. Kok tahu?"    "Aku juga mau ke sana. Kujemput?"    Aku menghela nafas, sepertinya sulit untuk ditolak nih, "Oke, kutunggu."    "Aku udah di lobby."    "Apa?? Ya udah, aku turun!"    Aku mengikat rambutku jadi ekor kuda, menyambar tas selempang dan bergegas turun. Richard nekat sekali? Kalau aku sudah pergi ba
Baca selengkapnya
Chapter 49 : Menunggu Kepastian
    Aku menyesal. Seharusnya aku tidak melakukan hal yang dapat memancing Richard. Seharusnya aku memakai jaket pemberian Richard dan membiarkan dia yang kedinginan. Sekarang situasi jadi aneh begini. Kami duduk berhadapan di sebuah cafe resto.    "Masih sakit?" tanyaku.    "Nggak," sahut Richard singkat.    "Sorry ya...."    "Kamu membuat dilema." Richard tersenyum.    "Iya, aku tahu. Seharusnya aku nggak memancing."    "Apa kita perlu membahas tentang batasan dan ruang gerak?"    "Maksudnya?"    "Apakah kita berteman? Atau lebih dari teman?"    Aku kehilangan kata-kata.    "Pikirkanlah, Hazel. Jika sudah menemukan jawabannya tolong beri tahu aku," pinta Richard.    "Ayahmu--"    "Biar aku yang memikirkan ayahku. Kalau kamu memberiku kesempatan, aku nggak akan membiarkan ada yang men
Baca selengkapnya
Chapter 50 : POV Richard
    Canda tawa dengan Bu Ani sepanjang sore membuat sikap Hazel kembali normal. Richard tampak senang bisa mendengar suara tawa wanita yang telah merebut hatinya. Keceriaan Hazel mampu membuat matahari merasa malu.    "Mau pulang sekarang?" tanya Hazel.    "Bentaran lagi lah, Neng! Baru juga maghrib. Emangnya buru-buru mau ke mana sih? Nyari tempat mojok ya?" goda Bu Ani.    "Ih, Ibu mah...,"     Rona di wajah Hazel membuat Richard ingin memeluknya, tapi dia menahan diri. Untuk saat ini cukup mengagumi dari jarak aman.    "Besok masih harus kerja, Bu. Kami pulang dulu," timpal Richard dengan senyum menawan.    Bu Ani salah tingkah disenyumi seperti itu, "Oh, ya udahlah. Hati-hati di jalan ya. Aduhhh si Mas, kok bisa ganteng banget sih? Colek dikit boleh?"    "Nggak boleh!"    Richard dan Bu Ani menoleh kaget ke arah Hazel yang baru saja berse
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
16
DMCA.com Protection Status