Lahat ng Kabanata ng Terpaksa Jadi Pembantu Rumah Tangga: Kabanata 91 - Kabanata 100
114 Kabanata
Kehamilan Rahma
Rahma dan Bunda Asti pergi ke rumah sakit diantar Yadi, sebelum ke dokter kandungan  mengunjungi Alif di ruang ICU. Empat orang pengawal masih berjaga di depan ruang ICU. "Bagaimana keadaan Alif, Bang?" tanya Rahma pada salah satu pengawal. "Belum sadar juga, Bu. Kemarin dan tadi pagi dokter memeriksanya. Nanti jika ada perkembangannya saya kabari," kata salah satu pengawal itu. "Iya, saya akan melihatnya dulu."  Rahma segera memasuki ruang ICU setelah memakai baju khusus. Di dalam tampak Alif masih berbaring dengan di topang berbagai alat, wajah bocah lelaki itu tampak begitu pucat. Rahma segera menghampiri dan membelai wajah anaknya. Dikecup beberapa kali pipi bocah itu. Air mata tak terasa sudah membasahi pipinya. "Alif sayang, bangun Nak. Ayo bangun, sayang. Bunda kangen sama Alif. Kangen sama celotehan Alif. Bunda tidak mau Alif pergi lagi dari Bunda. Bertahanlah,
Magbasa pa
Kembalinya sikap arogan Bastian
Rahma dan Bunda Asti pulang dengan membawa camilan yang dibeli di toko roti. Mendengar Rahma ingin makan roti, Bunda Asti langsung memborong camilan di toko roti tersebut. Pak Yadi membawa satu kantong untuk dibagi para pelayan dan pekerja di rumah itu. Rahma menaruh di meja makan, meminta Bik Wati membuat susu hamil. Bik Wati sudah menghidangkan susu hangat ketika Romi menuju ke arah mereka. Rahma menyeruput susu dan mencelupkan roti tawar ke dalam gelas susu, mengunyah dengan mulut penuh. Bunda menyemil bolu lapis Surabaya dan meminum secangkir teh."Hmm, enak-enak ini kuenya," kata Romi sambil mencomot kue lapis Surabaya di atas piring."Den Romi mau dibuatin teh apa kopi?" tawar Bik Wati."Nggak usah, Bik. Barusan kan aku ngopi di atas sama Bastian," kata Romi sambil mengunyah."Mas Bas ngopi?" tanya Rahma heran."Biarinlah ... diakan gak sadar kalau punya penyakit pencernaan. Sepertinya tingkah laku dia balik lagi seperti setahun
Magbasa pa
Memangnya kau bapak bayi itu?
Hari minggu pagi pertama Bastian ketika dia hilang ingatan. Setelah bangun pagi, ada yang terasa hilang dalam dirinya. Itu yang membuatnya termenung mengingat-ingat apa yang hilang pada dirinya. Bagaimanapun dia berpikir tetapi dia tidak ingat juga dengan apa yang membuatnya merasa galau. Setiap bangun pagi Bastian kini punya kebiasaan baru, dia akan menyibak tirai jendela dan membukanya. Membiarkan hembusan angin pagi menerobos kamarnya di lantai atas. Menikmati hangatnya cahaya matahari di ufuk timur. Dia akan berlama-lama menatap matahari terbit, menikmati semerbak aroma bunga mawar yang bermekaran di taman belakang. Tampak di bawah seorang wanita yang tengah mengangkat seember cucian dan menjemurnya. Bukankah wanita itu tengah hamil? Kenapa dia mengangkat berat-berat begitu? batinnya. Melihat wanita itu menjemur pakaian seperti dia tengah menonton sebuah adegan yang pernah dilihatnya, de javu. Wanita itu kesulitan me
Magbasa pa
Dia Istrimu, Bas.
Sembarangan kalau ngomong kamu, Bas. Romi itu hanya berusaha menjaganya, karena suaminya tidak bisa menjaganya," kata Bunda Asti membuat Bastian semakin penasaran. "Dia wanita bersuami, Rom. Biar saja suaminya yang jagain. Atau ... diam-diam kau suka pada perempuan itu? Kalian sudah berhubungan, kan? Wanita itu sudah memanggilmu Abang."  Bastian kembali menyerang, muka Romi sudah merah mendengar kata-kata Bastian, dia berusaha sabar. "Aku dulu memang menyukai wanita itu, Bas. Kau tahu soal itu. Tetapi aku merelakan dia, aku berusaha menghapus perasaanku padanya. Kini, perasaanku pada wanita itu hanya sebatas kakak dan adik. Rahma itu sudah seperti adik bagiku. Makanya aku akan menjaganya," kata Romi berusaha tenang mengatakannya. "Adik? Zaman sekarang mana ada istilah Kakak Adik antara wanita dan pria. Kalau kau menyukai wanita itu, segera kau cari suaminya untuk mentalaknya atau kau suruh wanita itu menggugat di pe
Magbasa pa
Konsultasi dengan Dokter Samir
Rahma benar-benar tidak sabar untuk menemui Alif. Pertanyaan Bastian tentang Alif tidak sempat dijawabnya. Dia segera berlari menuju mobil."Nanti kujelaskan, Bas. Sekarang kami sedang terburu-buru," kata Romi berlari menyusul Rahma."Bas, kau di rumah saja. Sebentar lagi Dokter Samir datang, katakan kondisimu dengan jujur padanya, ya? Bunda pergi dulu," kata Bunda Asti sambil meraih tasnya di atas nakas.Bastian terduduk kembali di meja makan, setelah sebelumnya dia berdiri menyaksikan seluruh keluarganya terlihat panik, ah tidak ... bukan panik, tetapi gembira sekaligus panik.Bastian segera melanjutkan sarapannya, dia memasukkan ke mulut nasi goreng telur ceplok itu, mengunyah dengan pelan. 'Ah, sepertinya aku pernah memakan nasi goreng seperti ini, tapi di mana?' batinnya."Hmmm, rasanya gurih, enak dan nampol banget pedesnya. Aku pernah memakannya, apakah Bik Wati yang membuatnya?" gumamnya sambil terus menikmati sarapan paginya.
Magbasa pa
Virda mempengaruhi Bastian
Setelah kematian Pak Sagala, Virda pergi melancong ke luar negeri, kali ini dia pergi ke Turki dan ke Dubai. Setelah tujuh hari kematian Pak Sagala, pengacara mantan suaminya itu mentransfer uang empat ratus juta ke rekeningnya, hal itu dilakukan pengacara tersebut karena Almarhum sudah berwasiat, jika dia meninggal dunia, mantan istrinya akan mendapatkan kompensasi sebesar uang tersebut. Selama dua puluh hari jalan-jalan, uang kompensasi itu sudah menipis, hanya cukup untuk biaya hidupnya selama empat bulan ke depan. Dia bermaksud mengunjungi anak semata wayangnya dan meminta uang untuk kebutuhan hidupnya. Selama ini dia bergantung pada putranya itu, kadang Bastian memberinya dua sampai lima juta saja seriap bulannya. Bastian sengaja memberi uang tidak banyak-banyak, agar Mamanya tidak menghamburkan uang untuk berfoya-foya atau berhura-hura menambah dosa saja, padahal seusia Mamanya seharusnya sudah bertaubat, banyak mengaji dan beribadah.Virda memasuki rumah S
Magbasa pa
Kondisi Alif
Rahma berlari di lorong rumah sakit menuju ruang ICU, sesampainya di sana, Dokter tengah memeriksa kondisi Alif. "Bagaimana kondisi anak saya, Dokter?""Alhamdulillah, Bu. Putra ibu sudah sadar, kondisinya juga berangsur membaik, sekarang akan dipindahkan ke ruang perawatan untuk pemulihan." "Terima kasih, Dok." "Suster, tolong bawa pasien ke ruang perawatan ya? Saya permisi dulu ya, Bu," kata Dokter "Sekali lagi terima kasih, Dok." ucap Rahma, Dokter itu hanya tersenyum dan berlalu dari ruangan itu."Bagaimana kondisi Alif?" kata Romi yang baru tiba di ruangan itu, Bunda Asti menyusul di belakangnya."Alhamdulillah kata Dokter berangsur membaik," jawab Rahma"Alhamdulillah ...."Mereka segera menuju ke tempat Alif berbaring. Wajah anak itu masih sayu, terlihat tersenyum walau dipaksakan."Sayang ... bagaimana keadaanmu, Nak? Mana yang masih sakit?" tanya Rahma tak terasa bulir bening menga
Magbasa pa
Jantungku serasa deburan ombak
Rahma bangun pagi langsung keramas, kepenatan selama seminggu ini membuat kepalanya begitu berat. Air hangat yang mengguyur kepala dan membasahi seluruh rambut membuatnya kepalanya sedikit lebih ringan. Selepas mandi dia masih mengenakan piyama mandi dan membawa handuknya untuk mengeringkan rambut ke teras samping yang langsung berhubungan dengan kamarnya. Rambut panjangnya yang basah dibiarkan terurai sesekali dikeringkan memakai handuk, sesekali rambut itu dikibas-kibaskannya. Pagi ini dia merasa nyaman karena Romi tidak ada di rumah sedang menunggui Alif, dan beberapa pengawal, supir dan Satpam berjaga di depan rumah. Mereka tidak pernah menginjak bagian taman belakang dan sekitarnya. Satu-satunya lelaki di rumah ini yang bisa mengakses daerah ini adalah lelaki yang sudah jadi mahromnya. Rahma sengaja membuka jilbabnya di sana, memamerkan sisi kecantikannya yang selalu membuat lelaki itu tergila-gila padanya. Rahma sudah mengintai dari balik jendela kama
Magbasa pa
Perempuan itu merampok harta saya
"Pak Bastian mau memberi sepuluh persen saham pada ibu anda?" tanya Pak Iyan yang selalu bersikap formil."Iya, Pak Iyan.""Maaf, Pak ... sekarang anda tidak bisa lagi mengutak-atik saham perusahaan. Karena sekarang perusahaan ini bukan lagi milik anda" kata Pak Iyan."Apa?" kata Bastian dan Virda serentak."Kenapa Pak Bastian begitu terkejut? Bukankah anda sendiri yang memberikan semua saham pada istri anda?" kata Pak Iyan"Benarkah?" Bastian tidak percaya dengan perkataan Pak Burliyan."Apa Mama bilang, Bas. Perempuan itu cuma mau hartamu saja dan semua yang dia inginkan sudah tercapai sekarang," sungut Virda mengarah pada Bastian. "Maaf Bu Virda, Bu Rahma bukan orang yang seperti ibu duga. Saya sudah berulang kali mengingatkan Pak Bastian agar dia memikirkan ulang pelimpahan nama pemilik perusahaan pada Bu Rahma, tetapi Pak Bastian tetap pada pendiriannya, bahkan balik nama perusahaan itu saja tidak diketahui oleh Bu Rahma. B
Magbasa pa
Dipaksa menandatangi berkas
"Wah ... rupanya enak sekali kalian makan, ya?" Suara Virda menghentikan aktivitas mereka, bahkan Rahma yang akan menyuap makanan ke mulut diurungkannya. Di belakang Virda Bastian menatap mereka dengan tatapan dingin."Ini lagi pembantu gak tahu diri, makan di meja makan majikan." Lagi ucapan Virda sinis menatap Bik Wati, Bik Wati hanya menunduk. Rahma menatap Bunda Asti, menganggukkan kepala memberi kode agar Bunda Asti yang menanggapi mertuanya."Eh, Virda ... tumben banget ke sini, sekali ke sini mulutnya gak disekolahin," ucap Bunda Asti kesal."Kenapa? Aku gak boleh ke rumah anak kandungku sendiri.""Aku gak ngelarang kamu menjenguk anak kandungmu sendiri asal sopan sedikit kalau bertamu ke rumah orang. Rumah ini bukan milik anakmu doang," kata Bunda Asti menanggapi Virda dengan ucapan tak kalah pedas."Oh, jadi kamu mau bilang kalau Bastian sekarang bukan pemilik rumah ini? Asti, aku tahu apa yang kau pikirkan beserta perempuan itu. Puas kali
Magbasa pa
PREV
1
...
789101112
DMCA.com Protection Status