Semua Bab Misteri Bulan: Bab 61 - Bab 70
101 Bab
Chapter 61. Hari Minggu Pilu
“Kurasa ada baiknya kita nikahkan Bik Ami dan Pak Maman, Bu,” kata Agil tiba-tiba setelah makan malam. Mereka biasa makan bersama, reriungan duduk di lantai sambil menggelar tikar di depan televisi. Sebelumnya dia sudah membicarakan hal ini dengan Pak Maman, dan laki-laki itu setuju.Ibu tidak begitu terkejut mendengar usul anaknya. Dia pasti punya pemikiran matang. “Ibu terserah Bik Ami dan Pak Maman. Mereka sudah sama-sama berumur. Ibu merestui.” Dia melihat ke Bik Ami. “Apakah kamu setuju dengan gagasan Agil?”Bik Ami yang duduk di samping Bik Marsinah, hanya tersipu malu. Ia urung mengangkat piring dan gelas kotor ke dapur. “Saya nurut saja apa kata Mba.”Setelah itu Ibu gantian melihat ke Bik Marsinah. “Aku mau pendapatmu, Bik Marsinah?”Bik Marsinah yang sedari tadi diam, gugup dengan pertanyaan Ibu. “Pendapat apa Kak?” Dia memilin baju dasternya.“Soal
Baca selengkapnya
Chapter 62. Cinta Sampai Mati
             “Amiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii, Mamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaannn.”            Lolongan Ibu memanggil nama Bik Ami dan Pak Maman begitu menyayat hati. Perempuan itu lantas berlari dan merangkul jasad Bik Ami yang tubuhnya nyaris remuk. Darah menggenangi sebagian aspal.            “AAAAAAAAAAAAAAAARGHHHHHHHHHHHHHH,” teriak Ibu histeris. Ia syok luar biasa melihat pemandangan mengerikan yang terjadi di depan matanya. Jeritan Ibu menyadarkan orang-orang dan kerabat. Mereka berbondong-bondong datang melihat.            Bik Marsinah, Chandra dan anak perempuan Bik Ami menangis berguling-guling sebelum pingsan karena tidak kuat melihat tabrakan maut yang merenggut nyawa orang yang mereka say
Baca selengkapnya
Chapter 63. Kiriman Paket Dari Mirna
            Selepas Kusno pulang, Agil masih berada di teras dengan sebuah paket yang dibungkus dengan plastik bubble wrap berwarna hitam di depannya. Ia ragu membuka isi paketan itu.            Dibacanya sekali lagi nama pengirim paket. “Mirna Dewi.” Dia tak salah membaca. Karena bimbang, Agil mencari Chandra di dalam rumah. Tapi dia terkesima melihat gadis itu tertidur pulas di kursi seperti seorang bocah polos dengan dengkuran halus. Agil duduk di samping Chandra, dia bisa memandang puas tanpa malu, mengagumi kecantikan Chandra. Bulu matanya lentik, hidung bangir dan bibir sensual membingkai indah sangat pas sekali dengan karakter kuat yang dimiliki oleh gadis itu.Agil mesem.            Lantas pandangan matanya jatuh ke bibir Chandra, darah muda Agil bergelegak, ingin s
Baca selengkapnya
Chapter 64. Mimpi Sedih
            Belum hilang kekagetan Agil dan Chandra, samar-sama terdengar suara teriakan orang-orang. Tak lama setelah itu ada dua truk yang membawa puluhan orang berhenti di tepi jalan di depan rumah Agil lalu menurunkan mereka satu persatu.            Mereka terus berteriak.            “Bunuh mereka!”            “Bakar rumah mereka!”            “Usir mereka dari sini!”            Semakin dekat suaranya kian menakutkan.            “Ayo Pak cepat! Gak ada waktu lagi!” Kusno semakin panik melihat puluhan orang d
Baca selengkapnya
Chapter 65. Rumah Gedeg di Pinggir Hutan
            Mendengar suara berat laki-laki, reflek Chandra bersembunyi dibalik Agil. Salah satu tangannya memegang baju kaos pemuda itu. “Gil…” kata Chandra khawatir.            “Tenang.” Mulut Agil komat-kamit tanpa jeda.            KREK            Agil mematahkan ranting pohon di sampingnya untuk berjaga-jaga bila terjadi sesuatu. Meski pelan, telinga pria itu mendengar langkah berat kaki yang mendekatinya.BUK… BUK… BUKDia menunggu dengan gelisah. Langkah itu semakin dekat memicu ritme jantung Agil dan Chandra berdenyut lebih cepat.            Chandra mempererat memegang kaos Agil.     
Baca selengkapnya
Chapter 66. Fitnah Keji
            “Jangan bercanda Chandra!” kata Agil setengah menghardik.            “Siapa yang bercanda, aku tahu dari penduduk sini, Abah Sarif meninggal karena Covid. Kalau kamu tidak percaya, ayo kita ke sana sekarang!” tantangnya.            “Tidak mungkin… tidak mungkin!” sangkal Agil. Dia langsung masuk ke dalam rumah dan baru sadar, di meja tidak ada apa-apa kecuali tas miliknya. Kemudian dia beringsut ke bilik Abah Sarif. Di sana dia disambut oleh sarang laba-laba dan debu tebal yang menempel di kasur tipis serta rokok klobot yang masih utuh di meja. Selanjutnya dia kembali memeriksa dapur, tak ada jejak aktifitas di sana.            Agil terhenyak!      &nb
Baca selengkapnya
Chapter 67. Janji Sumpah Pocong
            Selama perjalanan menuju rumah Kusno. Agil menyembunyikan perasaannya dengan menekuk wajah. Hatinya berdarah menerima tuduhan kotor telah menumbalkan Bik Eha dan Pak Maman untuk penglaris usahanya. “Ya Rabb, aku adalah hamba yang hina, betapa berlikunya jalan menjadi orang baik?” desisnya lirih. Badan pria itu gemetar menahan emosi yang menyelebungi hatinya. Jahat sekali orang yang tega melontarkan fitnahan sekeji itu.             Chandra yang duduk di sebelah Agil hanya bisa mengusap punggung Agil, menenangkannya, supaya sopir taksi tak kentara orang yang ia bicarakan barusan adalah customer yang duduk di kursi belakangnya.             Akhirnya mereka sampai di rumah Kusno. Bik Marsinah sedang menyuapi Ibu. Perempuan tua itu masih tampak terpukul dengan kejadian semalam. Hati Agil teriris mel
Baca selengkapnya
Chapter 68. Mendapatkan Karma Instan
Chandra dan Bik Marsinah menutup mulutnya. Ada kengerian di wajah mereka berdua. Sumpah pocong bukan main-main. Sumpah ini untuk membuktikan suatu tuduhan yang bahkan tidak ada bukti sama sekali.            Konsekuensinya bila keterangan tidak benar, maka yang bersumpah akan mendapat laknat dari Tuhan bahkan resiko kematian.            “Bu! Istighfar!” ucap Agil menenangkan ibunya.            “Apa kamu takut Le? Jika kamu benar, kenapa mesti takut? Kita harus menegakkan kebenaran supaya kita gak diinjek-injek oleh mereka!” ucap Ibu galak dan mata berapi-api. Dia kemudian mendekati Pak Efendi. “Hari ini Anda menang. Anda telah menipu anak saya! Tapi Allah mboten sare! Ingat itu!”            Pak Efendi
Baca selengkapnya
Chapter 69. Keputusan Sulit
            Agil mengambil ponsel Kusno dan melihat video viral perdebatan antara Pak Rustam dan Ustad Sodiq di warung nasi pecel pincuk, yang mengejutkan video tersebut sudah ditonton sejuta orang.Pemuda itu tercenung setelah membaca banyak komen yang menanyakan soal sumpah pocong. “Asem” gerutu Agil. Sebentar lagi hidupnya tak bakalan tenang karena wartawan pasti memburu ia dan ibunya untuk dijadikan sumber berita.            “Kusno, Aku perlu bantuannmu. Tolong antarkan aku ke suatu tempat!” ajak Agil. Dia segera memakai masker dan cepat-cepat melangkahkan kakinya menuju sepeda motor bebek milik Kusno yang terparkir di bawah pohon mangga.            “Kemana Pak?” Kusno setengah berlari menyusul Agil. Ia lalu mengambil motor dan menghidupkannya. &
Baca selengkapnya
Chapter 70. Kebaikan Yang Bersinar
            Agil menyeka peluh yang membanjiri keningnya dengan telapak tangan sebelum masuk ke usaha penggilingan Haji Anwar.            “Silahkan masuk Pak,” ajak Haji Anwar santun. Dia lalu meminta staffnya untuk membuatkan minum untuk mereka.            Agil duduk dan langsung memberikan uang kepadanya. “Saya datang untuk melunasi tagihan beras yang sudah jatuh tempo, sekalian mau mengucapkan terima kasih selama kita bekerja sama. Silahkan uangnya dihitung Pak.” Agil melunasi semua hutangnya, meski tabungannya kosong, hatinya lega, dia tak punya beban.            Haji Anwar tersenyum. “Saya gak masalah uang itu Bapak pakai dulu untuk buka usaha lagi karena saya percaya sama Bapak. Ngomong-ngomong kesusahan yan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
56789
...
11
DMCA.com Protection Status