Semua Bab Pernikahan di Balik Skandal: Bab 41 - Bab 50
183 Bab
41. Skakmat, Martin!
Dexter melepaskan jasnya dan menyampirkan jas itu di kursi kantornya. Tamunya akan segera datang dan dia tidak suka. Kalau bukan urusan kerja, Dexter memilih pergi saja meninggalkan kantornya. Tetapi dia harus tetap profesional kalau tidak ingin merasa malu pada Eve dan ayah mertuanya. “Bapak Martin sudah di sini. Dia nunggu di ruang rapat,” kata Felix. “Kamu ke sana aja sekalian ikut rapat,” sahut Dexter. Felix jadi ingin tertawa melihat sahabatnya memasang muka tidak suka, setengah memelas memintanya ikut. Dia tidak butuh penjelasan, muka Dexter itu adalah wajah orang yang tidak mau ketemu seseorang. “Ketemu kamu dulu baru ketemu kita. Katanya orang di kantor pusat, Martin sudah ketemu sama  perwakilan Grup Asterix dan Wongso pusat minggu lalu jadi tinggal lanjut sama kita.” Dexter menarik napasnya. Dulu dia senang sekali kalau dihadapkan dengan Martin, sangat menantang, saling unjuk gigi memperlihatkan apa yang mereka punya. Tetapi sekarang di
Baca selengkapnya
42. Kutu itu Punya Nama
Pagi ini Eve hanya menghangatkan soto ayam yang sudah dibuatnya sejak kemarin malam. Hari ini Eve sangat sibuk jadi lebih baik memasak yang praktis meskipun makan waktu lama. Dia hanya perlu menyiapkan bihun dan telur rebus. Koya yang ada sudah dibelinya beberapa hari yang lalu.“Oma, bisa panggilkan orang untuk membersihkan bagian dalam kasur di kamarku?”“Oma sudah bersihkan seminggu sebelum kamu datang, Lin.”“Kalau begitu nanti waktu aku kerja, mereka bisa datang membersihkan lagi.”“Oh, baiklah, Oma panggil mereka nanti. Apa ada yang perlu Oma sampaikan ke mereka?”“Tidak. Yang sebelumnya mungkin kurang bersih, Oma.”“Kenapa kamu bilang begitu, Lin?”“Leherku merah-merah, ini digigit kutu, Oma,” kata Eve. Dia mengangkat rambutnya dan menggulungnya lalu menjepitnya di kepalanya. Dia menunjuk lehernya dan berkata, “Lihat, Oma, leherku.”
Baca selengkapnya
43. Aze dan Daniel
7 Juli 2018“Eve, punggungku sakit,” kata Aze setengah merintih. Eve sedang memijat kakinya, lalu mulai berpindah memijat punggung Aze. Eve mengingat seminggu ini Aze sering mengeluh sering mulas dan punggungnya terasa mau patah. Perutnya memang makin besar.“Apakah lebih sakit daripada sebelumnya? Katakan padaku kalau sakitnya mulai ya,” sahut Eve.“Ini, Eve,” kata Aze yang tengah meringis kesakitan.Eve menghitung berapa menit sakitnya dan meraba perut Aze. Dia memang belum pernah hamil dan melahirkan tetapi Eve selalu memperhatikan kata-kata dokter kandungan Aze. Mungkinkah ini sakit akan melahirkan? Tetapi tanggal perkiraan persalinan Aze masih 1 bulan lagi.“Eve, ini terlalu sakit. Rasanya sampai di bawah sini,” kata Aze sambil menunjuk bagian bawah panggulnya. Satu menit 10 detik, ini kontraksi yang terlalu lama, perut Aze jadi keras seperti papan.Eve mengerti perasaan tidak enak yang se
Baca selengkapnya
44. Be a Good Girl
Eve pasrah dengan apa yang terjadi, sedari awal memang dia tidak berharap Aze akan merawat Daniel. Itu sudah berpindah menjadi tanggung jawab Eve begitu bayi mungil itu lahir ke dunia. Tetapi Aze sama sekali tidak memandang bayinya seakan dia sudah ‘selesai’ dengannya, itu membuat Eve sedih.   Eve yang sibuk dengan Daniel dan pekerjaannya tidak begitu memperhatikan Aze yang masih dirawat di rumah sakit setelah operasi Caesar yang terpaksa dilakukan. Mereka tidak memiliki banyak waktu untuk mengobrol. Neneknya meluangkan waktu lebih banyak di rumah sakit dibandingkan Eve. Boks bayi yang terletak di samping Aze pun hanya didatangi oleh pengasuh yang disewa oleh Evita. Entah bayi itu menangis atau tertawa, Aze tidak terlihat tertarik untuk melihatnya. Tetapi satu hal yang membuat Eve merasa lega adalah Aze yang tampak bersemangat dan bergairah. Cahaya Aze yang bertumpu pada keceriaan masa muda dan kecantikannya sudah kembali. Saat Eve menawarkan untuk memba
Baca selengkapnya
45. Eve dan Daniel
Sejujurnya Eve masih takut memegang tangan Daniel yang begitu kecil apalagi memeluk tubuhnya. Tubuh itu begitu rapuh dan bisa remuk. Makanya kalau ada berita ibu membuang anak atau orang membunuh bayi, Eve lebih mudah emosi. Yang rapuh itu harus dilindungi bukan dibuang atau dicelakai. Sepasang tangan dan kaki mungil itu kadang menghentak-hentak dengan aktif jika bayi itu sudah bangun, apalagi kalau sedang kelaparan. Eve membuat cetak tangan dan kaki Daniel, dengan foto saat baru lahir dan dibingkai dengan pigura. Tangan yang mengepal itu mungkin tangan yang sama yang sering ber-tos ria dengan Eve berlapiskan kulit dan otot perut Aze. Maya memasak air untuk air mandi Daniel. Eve tidak mencampur air panas dengan air dingin untuk mandinya Daniel. Daniel mandi memakai air panas itu yang sudah diangin-anginkan sampai menjadi hangat. Bayi itu masih tidur dengan nyenyak, bisa dibilang 80% waktunya hanya untuk tidur, sisanya untuk minum susu, mengompol dan menangis.
Baca selengkapnya
46. Ingin Pulang
Dexter sudah tidak sabar untuk pulang ke Singapura. Tunggu sebentar, dia salah, pulang itu ke Jakarta, berlibur baru ke Singapura. Tetapi sekarang jadi beda. Pulang harus ke Singapura, atau ke mana saja, di mana Lovie-nya berada. Awalnya pekerjaan yang diberikan Aksa, ayah Dexter, itu terdengar lebih sederhana. Tiga hari saja, targetnya sudah selesai. Dexter mengiyakan, hanya 3 hari tanpa Eve, dia akan baik-baik saja. Memang 3 hari selesai tetapi ayahnya memberikan tugas lain. Dexter ingin menolaknya, mentah-mentah kalau bisa, tetapi tidak bisa. Ayahnya bukan orang yang menerima alasan begitu saja, mengoreknya sampai kehabisan jawaban lalu ujung-ujungnya tetap saja harus dikerjakan. Sama seperti nasib perjodohannya dengan Eve. Nah, kalau sekarang dia menolak pekerjaan dari ayahnya karena makhluk yang ditolaknya dulu, ayahnya akan tertawa sambil mengejeknya. Lalu ayahnya dengan tega akan menyebarkan berita itu pada besannya, ayah Eve, Papa Erick. Jadi ayahnya
Baca selengkapnya
47. Merayu Eve, Itu Sulit
Tadinya Hasan, sopir neneknya, yang akan turun untuk menjemput Dexter karena mereka sempat kontak melalui ponsel. Tetapi Eve ingin sekali menjemputnya, ingin melihat apakah dia makin kurus atau makin gemuk, apakah rambut halus di dagunya itu dibiarkan tumbuh atau apakah dia merindukan Eve. Oh tidak, yang terakhir itu tidak benar, tidak penting!“Biar saya aja, Pak.”“Nona, tidak perlu.”“Tidak apa-apa. Tadi pasti capek seharian pergi sama Oma terus antar Tante Dori ke bandara. Istirahat aja. Tidak akan lama. Janjian ketemu di pintu keluar ya?”“Iya, Nona. Tuan bilang tunggu saja di depan pintu keluar.”“Oke, saya keluar dulu,” kata Eve membuka pintu mobil dan beranjak keluar dari mobil. Dia berjalan ke depan pintu keluar. Tidak lama lagi seharusnya.Eve menunggu di depan pintu keluar bandara, membaca papan pemberitahuan status penerbangan dan mencocokkan foto tiket itu. Sudah cocok
Baca selengkapnya
48. No More Hugs
“Kita sudah sampai.” Suara Eve menghentikan pembicaraan Hasan dan Dexter barusan. Mereka berbicara tentang cuaca dan keadaan ekonomi di Indonesia. Hasan yang fasih berbahasa Indonesia adalah warga Singapura keturunan Melayu. Eve membuka pintu dan bersiap turun dari mobil. Ketika melihat Dexter akan mengikutinya, Eve berkata, “Nggak apa, kamu bisa tunggu di sini. Aku hanya belanja kebutuhan Niel aja sebentar.” Mungkin saja telinga Dexter menjadi tuli dengan sengaja, dia masih saja ikut turun dari mobil. Berjalan di sebelah Eve dengan santai. “Bantu kamu angkat belanjaan,” bisik Dexter di telinga Eve. Eve tersenyum seakan mengucapkan terima kasih tanpa suara. Hubungan mereka membaik hari demi hari, Eve cukup senang mereka bisa menjadi teman. Tidak enak memelihara permusuhan dengan orang yang secara resmi sudah menjadi suaminya. Eve akan mengambil kereta dorong, tetapi tangan Dexter lebih dulu menggeser tubuh Eve dengan lembut dan mendorong kereta belanj
Baca selengkapnya
49. Kelam dan Gelap
Dexter sangat kesal melihat Eve yang sama sekali tidak memandangnya saat berbicara hal yang membuatnya tersinggung. Manusia memang mudah tersinggung dengan suatu kebenaran yang disembunyikan, siapa yang tidak mengerti itu? Semakin benar, semakin tersinggung, artinya juga semakin bersalah. Rasa bersalah itu membuat perasaannya mudah disentil, bukan pada Eve, rasa bersalah pada keluarganya dan pada dirinya sendiri karena mengulangi kesalahan kakaknya. Kesalahan sebesar itu dihadapi dengan lelucon seperti barusan. Dia cukup pintar untuk mengerti, itu hanyalah sebuah lelucon tetapi itu menyakitkan. Jadi dia berteriak hanya untuk memastikan Eve mengetahuinya. Dexter sempat kembali ke dalam mobil namun terbayang Eve akan mengangkut barang belanjaan yang mungkin saja cukup banyak, dia keluar dari mobil dan masuk ke dalam supermarket. Dia bisa melihat Hasan sedikit kebingungan dengan tingkah lakunya yang tidak jelas. Masuk mobil dengan buru-buru lalu keluar dari mobil juga t
Baca selengkapnya
50. Genggaman Tangan
“Tunggu, saya masih ada perlu dengan Nona Eve,” kata Dexter pada Hasan. Hasan hanya mengangguk. Tidak ada yang bisa dia lakukan untuk mereka, selain memberi mereka waktu. Hasan tidak perlu menjadi seorang jenius untuk mengerti apa yang terjadi saat suami Nona Eve masuk ke dalam mobil dengan buru-buru lalu keluar lagi dengan buru-buru juga. Emosi pria itu meledak-ledak mengganggu emosi nonanya yang terlalu tenang.  Dexter memasukkan kantung kain berisi barang belanjaan itu ke dalam mobil, menaruhnya di bagian bawah kaki. Dia menutup pintu mobilnya dengan cepat lalu berlari kembali menghampiri Eve. Eve tidak menolak ketika tangan Dexter menggandeng tangannya dan menggiringnya menjauh dari mobil mereka yang terparkir tidak jauh dari sana. Pria itu tidak berjalan lambat atau pelan, dia menyamakan langkahnya dengan Eve. Dexter membawanya ke tempat duduk dengan payung besar yang terletak di sekitar pohon. Tempat itu merupakan tempat pengunjung bisa dud
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
19
DMCA.com Protection Status