Semua Bab Kekuasaan (Ascendant) : Bab 31 - Bab 40
44 Bab
XXX
Ilvy masih duduk di tepi lapangan ditemani seorang gadis yang bernama Shilba saat ia melihat Qeen datang dengan seorang wanita paruh baya yang pernah ia lihat sebelumnya. Kedatangan dua orang yang membuat suasana hatinya menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya. Makhluk itu memberi salam padanya, lalu berdiri di belakangnya dengan tenang. Disebelahnya, Shilba menatap Qeen dengan bingung sebelum gadis itu memilih angkat kaki dari sana. Ilvy melihat kepergian gadis itu sesaat, sebelum kembali menatap wanita yang dibawa Qeen yang kini berdiri di hadapannya. “Mengapa lama sekali?” “Ratu Linaba mencari waktu yang tepat untuk mengeluarkan Ississia.” Jawab Qeen di belakangnya. “Rhauven sedang bersiap untuk mengirimkan separuh prajurit ke Gerian. Sepertinya Raja bersiap-siap untuk berperang.” Ilvy menghela napas kesal. Keadaan saat ini masih terlalu dini untuk berperang, tetapi ayahnya sudah mendahului langkahnya dengan antisipasi yang matang. “Aku membutuhkanmu untuk sesuatu.” Ilvy mengel
Baca selengkapnya
XXXI
Xenon berusaha menarik tangannya, tapi tubuh yang kesetanan itu memiliki kekuatan yang tak pernah pria itu lihat sebelumnya. Danina mendorong kuat tubuh orang-orang yang berusaha menghalanginya. Menendang siapapun, meninju siapapun. Ia tak pantas mengalami hal ini. Keluarga Camsartnya tak boleh mengalami hal mengerikan hanya karena seorang gadis bodoh yang terbujuk surat sialan itu! Danina menyeruduk kepala Dagan yang berusaha menghalanginya—ia sedang tak ingin dihalangi. Dibelakangnya, Ovena menangis histeris, Gaia menangis tanpa suara. Ketiga anak Nareef menangisi kepala tanpa tubuh milik ayahnya. Ness dan Hersiria menangis di dekat kepala Nareef. Tangisan Saga meraung didalam pelukan Raquel. Danina mendorong siapapun yang menghalangi pandangannya. Ia ingin melihat wajah gadis yang dulu pernah membuatnya khawatir. Gadis yang dulu menjadi sahabat terbaiknya, kini membawa kematian pada ayahnya dan Nareef. Siapa yang akan memimpin Camsart jika Nareef m
Baca selengkapnya
XXXII
Bukit Piroz—seperti yang orang-orang katakan. Terasa begitu magis, tetapi jauh lebih bersahabat daripada hutan Camsart. Mereka sampai di kaki bukit itu setelah menghabiskan waktu sehari penuh. Pintu gerbang besar di kaki bukit menjadi satu-satunya jalan masuk ke bukit itu. Dijaga oleh banyak prajurit dengan pedang dan busur. Juga baju besi dan prajurit berkuda yang selalu berpatroli di sana.Ilvy mengira akan sulit untuk masuk ke hutan itu. Tapi begitu Ississia menyebut namanya, mereka diperbolehkan masuk, dikawal oleh setengah lusin prajurit menuju kastil.Jalan menuju kastil itu tertata dengan baik. Bebatuan kecil yang berada di sepanjang jalan membuat jalanan tidak licin. Banyak jalan bercabang yang sengaja dibuat untuk membingungkan orang. Dan mereka benar-benar butuh pengawalan untuk bisa sampai tanpa tersesat. Mereka memutari setengah bukit dan menghabiskan waktu dua jam untuk sampai ke kastil itu.Mendekati pintu masuk kastil, mereka kembali dihenti
Baca selengkapnya
XXXIII
Elliot Harridan pergi dari kastilnya setelah makan siang. Para pelayan membawa mereka ke kamar masing-masing, membantu mereka untuk beristirahat. Ilvy menolak ketika seorang pelayan menunjukkan kamar Qeen yang berbeda dengannya. “Dia akan bersamaku,” ujarnya sebelum pelayan itu membawa Qeen ke kamar lainnya. Pelayan itu hanya mengangguk tanpa mengatakan apapun, kemudian memberi hormat sebelum pergi meninggalkan mereka.Dua pelayan yang masih berada di kamar Ilvy dengan cepat mempersiapkan pakaian ganti untuk gadis itu. Sementara pelayan lainnya membawa beberapa pakaian ganti dari kamar yang semula akan ditempati Qeen.“Elliot bahkan memberikan jubah yang sama persis seperti jubah kerajaan Gerian.” Ujar Ilvy dengan nada geli setelah mereka tinggal berdua di kamar itu.Qeen berdiri di dekat jendela, memperhatikan prajurit di bawah sana yang berjalan mengelilingi kastil. “Ini akan melebihi ekspektasimu, Ilvy.” Ujarnya kemudian, t
Baca selengkapnya
XXXIV
“Selamat datang di bungker!” Suara Elliot Harridan terdengar lantang di belakang mereka. Suaranya terdengar senang dan penuh kebanggaan.Ilvy melihat ruangan itu terang oleh cahaya jingga. Bungker itu dua atau tiga kali lebih luas dari lapangan serbaguna di Camsart. Dinding-dindingnya terbuat dari batu keras dan tinggi bungker lebih dari enam meter. Langit-langit bungker itu memiliki cerobong yang dibawahnya para pekerja sedang melelehkan besi untuk membuat bermacam-macam senjata—pedang, tombak, trisula, anak panah, dan proyektil trebuchet. Danina membalikkan badannya sekilas, menatap Ilvy dengan sebelah alis yang naik yang langsung dibalasnya dengan seringaian.Di ujung bungker, mereka bisa melihat banyak trebuchet yang berbaris dengan rapi. Ilvy menghitung dalam hati dan jumlahnya dua puluh lima trebuchet. Gunungan pedang dan juga trisula dikumpulkan di sisi yang lain, dan di dekat mereka, anak panah dan busur di letakkan
Baca selengkapnya
XXXV
Elliot Harridan telah menunjukkan kepada mereka letak pangkalan militer pribadinya. Tepat di atas kastil, mendekati puncak bukit tertinggi di perbukitan Piroz, dibalik lebatnya hutan dan banyaknya cerita mistis tentang bukit itu—Elliot membangun sebuah kekuatan besar yang bisa meluluhlantakkan Gerian. Semua orang berdecak kagum, termasuk dirinya. Pria tanpa satu lengan yang duduk di sebelahnya ini adalah singa tidur yang bersiap untuk kembali mengaum.Tak menunggu basa-basi, Danina langsung berpamitan dengan seluruh orang disana, yang secara terang-terangan masih menginginkan keberadaannya disana. Juga kepada paman yang baru pertama kali ditemuinya selama ini—Danina tidak memberikan kesempatan pada dirinya sendiri untuk tinggal.Danina memacu kudanya sekencang mungkin, meninggalkan kastil setelah pelukan canggung dari Raja Uther. Masih ada hal yang ingin diselesaikannya di hutan Camsart, sementara waktu untuk menyerang semakin dekat.Di sebelahnya, I
Baca selengkapnya
XXXVI
Dagan berusaha membuka jari-jari Danina yang mencengkeram erat rambut Loretta tetapi dengan cepat ditepisnya tangan pria itu. Tubuhnya bergetar karena marah. Racauan Loretta membuat kepalanya panas. Dirinya bahkan membayangkan betapa takut ayahnya dan Nareef saat Raja Liam memenggal kepala mereka. “Lepaskan dia, Dan!” pinta Dagan setengah memohon. Suara Dagan yang berbisik terdengar menusuk telinganya. Siapa yang akan memaafkan seseorang yang mengantarkan nyawa orang lain ke penjagalan? Danina bukan orang suci. Dia tak sudi memaafkan Loretta. Gadis itu memang biang masalah! Benar kata ibunya, seharusnya dia tidak terlalu dekat dengan Loretta. Dagan mencekal lengannya ketika Danina menarik Loretta ke lantai. Dengan cepat dia mendorong bahu pria itu hingga mundur beberapa langkah. Tidak membuang kesempatan, ia membuka pintu kamar Loretta dan menemukan tiga orang yang sedang berbincang di tengah ruangan di depan pintu. Seketika pembicaraan terhen
Baca selengkapnya
XXXVII
Ilvy terus memperhatikan drama di depannya dalam diam. Menurutnya malam ini adalah malam yang paling menarik selama dia menghabiskan banyak waktu di tengah hutan Camsart ini. Malam dimana semua orang murka karena kehilangan dua orang yang menjadi tonggak berdirinya klan Camsart.Nareef dan Nefsnan.Ayahnya begitu pintar melenyapkan dua orang yang perkataannya selalu dituruti oleh anggota Camsart lainnya.Raja Liam mendapatkan dua tangkapan pada satu umpan yang dipasangnya.Ilvy mengulum senyumnya ketika melihat betapa keruhnya situasi saat ini. Kudeta yang kini berada di depan mata, goyahnya klan Camsart karena kematian sang Alfa dan penasehatnya, dan kini dirinya melihat kebencian anggota Camsart kepada Effrayante, kaum yang selama ini melindungi mereka.Atau… kaum yang selama ini memelihara para Camsarian.Teriakan di depannya tidak pernah terputus. Bahkan, intensitasnya semakin menjadi. Ilvy bahkan harus mundur hingga ke tepi lapan
Baca selengkapnya
XXXVIII
Cinta hanya akan menyakiti. Sekuat apapun dia memuja gadis itu, tetap saja pada akhirnya dia akan terluka. Awalnya hanya luka memar, berganti menjadi luka gores. Luka itu terus disentuh dengan tangan-tangan halus tetapi menyakitkan, menjadikan luka gores itu berganti menjadi luka sayatan yang menganga. Lama luka itu dibiarkan saja, tidak dipedulikan dan hanya dianggap angin lalu. Luka itu mulai membusuk dan bernanah. Tak lama, area luka itu mulai membesar, menjangkau seluruh tempat hingga tak ada yang tersisa.Luka itu berada di hatinya. Membuat hatinya membusuk dan berbau bangkai. Kini hatinya telah hilang karena luka itu. Menjadikannya manusia yang penuh dengan kebencian, dendam, dan kemarahan. Tak ada yang bisa menyembuhkan luka hatinya hingga membuatnya menjadi monster.Di kepalanya, ada beribu bisikan yang terus terdengar hingga membuat telinganya berdenging sepanjang hari. Dia kadang-kadang tidak bisa membedakan suara bisikan di kepalanya dengan suara orang yang
Baca selengkapnya
XXXIX
Ilvy membuka kamar Danina dengan perlahan, mendapati gadis itu sedang memeluk ibunya yang menangis tersedu. Dia tahu, wanita itu tengah melepaskan putrinya untuk pergi ke medan perang, dengan kemungkinan tidak pulang untuk selamanya. Tapi baik Ilvy maupun dua orang yang sedang berpelukan itu menyadari, bahwa apapun konsekuensinya, kudeta ini tetap harus dilaksanakan.Pulang dengan nyawa, atau pulang tanpa nyawa—tak ada jalan untuk kembali.Melihat Danina yang memeluk ibunya dengan erat membuat hatinya terasa nyeri. Dia tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti itu dari ibu kandungnya sendiri—penuh kasih sayang dan cinta. Kegilaan ibunya membuat dirinya hanya mendapat perhatian dari pengasuhnya—yang hanya memeluknya karena takut kepala terpisah dari badan.Ilvy mengetuk pintu kamar itu perlahan, membuat dua orang yang sedang menangis itu terdiam untuk beberapa saat, lalu menoleh menatapnya. “Sudah saatnya.” Bisik Ilvy kemudian. Dani
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status