Semua Bab Petaka Dua Garis: Bab 21 - Bab 30
65 Bab
21
Bagian 21            Acara di gedung mewah ini menjadi tak berarti lagi untuk Ummi. Wajah kesalnya yang terpampang sejak insiden tersungkamnya Dinda, tak dapat ditampik meski pesta telah usai.            Begitu tamu undangan telah surut yang menandakan bahwa pesta telah usai, di situlah meluap amukan Ummi yang sedari tadi coba ditahannya. Dinda yang terduduk lemas di kursi pelaminan, Ummi datangi dengan segenap emosi negatif.            “Baru menikah sehari kamu sudah bikin malu orang tua! Kamu pikir, Ummi sama Abi adalah orang sembarangan? Lihat, Din! Para tamu tertawa terbahak dan tak hentinya hanya membahas hal memalukan itu ketika bersalaman. Puas kamu bikin malu?” Berdiri Ummi di hadapan Dinda. Dicengkeramnya lengan ramping perempuan bermahkota penuh berlian itu. Tak ayal membuat
Baca selengkapnya
22
Bagian 22            Takut-takut kami menoleh ke asal suara. Benar saja, Ummi dan Abi berjalan semakin mendekat. Tatapan keduanya sama-sama diliputi berang. Ah, aku sudah sangat muak dengan semua ini. Bisakah sedetik saja mereka membiar kami untuk hidup dalam kelegaan?            “Ummi,” kataku sembari berdiri untuk menyambutnya.            “Ngapain kalian duduk-duduk santai di sini? Pegang-pegang segala pula?” Ummi mendelik tajam. Memperhatikan aku dan Azka secara bergantian. Tangannya sampai kuat meremas pegangan tas. Sebegitu membuat emosinya kah kami?            “Tidak, Mi. Azka Cuma menenangkan Mbak Mira. Tadi katanya sedih campur haru melihat pernikahan Mas Yazid dan Kak Dinda.” Tentu saja Azka
Baca selengkapnya
23
Bagian 23            “S-siapa d-dia ... Azka?” Bergetar hebat lidahku. Sungguh, bukanlah suatu yang mudah untuk menanyakan hal ini padanya.            Azka terdiam sejenak. Dia tampak ragu saat menatap ke arahku. Apakah sebentar lagi dia akan menyebutkan nama seseorang yang sangat kukenali?            “Mbak Mira.”            Jangan ditanya seperti apa kabar jantungku kini. Hampir saja meledak akibat didihan darah yang bergurak bagai desakan lava dalam kawah gunung berapi. Dia benar-benar menyebut namaku. Tanpa sebuah keraguan sedikit pun. Mantap sekali Azka. Apakah dia tak merasa gentar? Lupakah dia bahwa aku ini siapa? Rasa syok, gamang, dan takut bahkan menyergapi hati. Bukan aku tak menyukai pria yang tengah
Baca selengkapnya
24
Bagian 24            Bergegas kaki ini berjalan menuju taksi yang masih berderu mesinnya di parkiran apotek. Aku masuk dan duduk di samping Azka yang tengah menonton video anak-anak bersama sang keponakan.            “Jalan, Mas,” perintahku pada sang sopir. Lelaki itu langsung memundurkan mobilnya, lalu keluar dari area parkir.            “Ini, Az,” ujarku sembari memberikan plastik berisi vitamin yang tadi kubeli.            “Kok, banyak?” Azka membelalak ketika berhasil membuka simpul kresek. Sarfaraz yang sedang asyik menonton pun jadi teralih perhatiannya.            “Iya. Untukmu. Simpan saja.” Tersenyum aku padanya. Lel
Baca selengkapnya
25
Bagian 25            Selesai insiden tersebut, kami bertiga bergegas untuk datang ke rumah Ummi-Abi. Ternyata meja makan telah penuh dengan segala hidangan santap siang. Abi pun telah duduk di kursinya dengan wajah tegang. Ummi yang lebih dulu datang ketimbang kami, kini turut ambil posisi untuk duduk di sisi kiri sang suami.            “Dari mana saja kamu, Mira?” Suara Abi terdengar begitu dingin. Dehemannya bahkan membuat degup jantung ini kian kuat berdetak.            Melangkah pelan aku untuk duduk di samping Ummi. Takut-takut kuedarkan pandang pada sosok Abi yang mengenakan kaus polo warna merah darah dengan potongan rambut baru yang lebih rapi plus disemir hena warna merah kecoklatan demi menutupi uban.            &
Baca selengkapnya
26
Bagian 26            “Pergilah, Az. Pulang ke depan. Sore kembali lagi ke sini bersama Faraz.” Aku tersenyum lebar kepadanya. Betapa sesungguhnya hati ini merasa begitu lega dan berbunga seakan saat remaja jatuh cinta dulu.            Azka mengangguk. Lelaki itu tak lupa membawa bungkusan besar berisi pakaianku. “Jangan menangis lagi, Mbak.” Lirih sekali dia berucap. Bahkan desauan angin pun kalah halus dari suaranya.            Senyum di bibir ini terus mengulas, hingga punggungnya yang lebar itu semakin menjauh, lalu menghilang dari balik daun pintu. Sementara, debar dalam dada masih terasa sama. Tetap ada getar spesial yang merambati hingga ke relung jiwa. Naluri sempat mengatakan bahwa ini salah. Namun, tetap saja aku tak dapat mendusta rasa. Bahwa keberpihakkan ini tel
Baca selengkapnya
27
Bagian 27            Makan malam kali itu diwarnai dengan kegundahan hati yang sangat. Bagaimana tidak, suamiku yang sempat berjanji untuk mengusahakan diri untuk lepas dari jerat perjodohannya dengan sang sepupu, kini malah terlihat cuek dan lengket dengan Dinda. Tak lepas sedikit pun matanya dari perempuan itu. Sementara aku yang berada di sisi kanannya, tak mendapat gubrisan apa pun.            Namun, di balik semua itu aku bersyukur. Karena sikap Ummi dan Abi tak lagi penuh amarah. Keduanya lebih ramah hari ini. Mereka lebih banyak bercanda dan bercerita, meski aku lagi-lagi tak ikut terlibat di dalamnya. Sempurna peranku hanya sebagai juru masak yang menyajikan segala hidangan lezat untuk memuaskan lidah dan perut mereka. Sudah barang tentu hal ini membuat dada terasa sesak. Akan tetapi, aku lebih memilih diam dan menikmati suap demi suap makanan walaupu
Baca selengkapnya
28
Bagian 28            “Eh, sepertinya Mbak harus segera ke depan. Biar aku yang bereskan rumah ini dan memandikan Faraz. Nanti kami akan menyusul.” Azka mengingatkanku dengan suara yang tenang.  Aku menangangguk, menuruti perintahnya. Tentu saja. Apalagi hari semakin beranjak terang dan Ummi pasti akan marah bila aku terlambat ke sana.            “Aku pergi ke depan ya, Az. Jangan lupa datang ke depan tepat waktu. Ummi dan Abi bisa marah lagi kalau kalian tak sarapan tepat waktu.” Kuulas senyum terindah untuknya. Lelaki itu mengacungkan jempol kanannya, lalu mengemasi perkakas dapur yang habis digunakannya.            Bergegas aku berjalan untuk menyeberang ke depan sana. Tampak olehku Bi Tin sedang membersihkan halaman. Sekarang sudah pukul enam. Apakah masakan telah b
Baca selengkapnya
29
Bagian 29            Ada perasaan takut yang menyala dalam dada. Namun, sesaat aku berusaha keras untuk mengontrol diri. Demi membuat Dinda tak meletakkan curiga sedikit pun. Kutatap kini sosok perempuan bermata bengkak itu dengan tajam.            “Ini, maksudmu?” Aku meraih gelas beling besar berisikan cairan kental warna hijau dengan aroma pisang yang segar tersebut. Kuacungkan gelas itu ke depan wajah Dinda, seolah tak ada apa-apa di dalamnya kecuali sayur dan buah yang penuh manfaat.            “Minum!” Pekikkan Dinda lagi-lagi sempat membuatku goyah. Namun, rasa takut itu kutepis. Percayalah, Mira. Kamu tak bakal mati jika hanya meminum jus dengan tambahan tiga butir pencahar ini.            Maka, aku pun
Baca selengkapnya
30
Bagian 30            Mas Yazid kemudian keluar dari mobil. Tak lupa lelaki itu membukakan pintu bagiku dan menyambut diri ini. Perhatian sekali suamiku itu. Tumben. Bukankah kemarin dia begitu cuek hingga menoleh saja enggan. Apa yang dipikirkannya saat ini? Apakah aku Cuma sekadar pelarian?            Berjalan kami beriringan. Bahkan Mas Yazid tak mau melepaskan rangkulannya sampai kami tiba di depan resepsionis. Seorang perempuan berseragam batik dengan rambut yang dicepol bagai pramugari itu menyambut dengan sangat ramah. Tanpa banyak berbasa basi, suamiku langsung memesan sebuah kamar paling mahal dengan harga sewa jutaan untuk per malamnya. Jangan ditanya betapa melongonya diriku. Sejak kapan seorang Mas Yazid senang menghamburkan uang hanya untuk menumpang tidur? Walaupun kaya, selama tujuh tahun menikah, Mas Yazid memang jarang mengajakku rekreasi, ber
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status