Semua Bab BALASAN PAHIT UNTUK MERTUA: Bab 11 - Bab 20
41 Bab
11
BAGIAN 11            Ponsel terlepas dari genggamanku. Telepon dari Farah tak lagi kugubris. Aku kini sibuk dengan muntahan yang berbentuk cairan kuning tanpa isi sisa makanan apa pun. Bahkan cairan kuning pahit itu lambat laun sudah enggan keluar dari lambung. Sepertinya, isi perutku sudah terkuras habis.            “Gista!”            Sontak aku menoleh ke muka pintu sana. Terlihat, sosok Mama dengan piyama rumahannya yang berwarna merah muda dengan motif burung flamingo itu pun gegas mendatangi ranjang. Rautnya khawatir sekali.            “Kenapa kamu, Gis?” tanya Mama. Beliau tampak membeliakkan mata demi menatap selimutku yang kini terkena muntahan.        &nb
Baca selengkapnya
12
BAGIAN 12            Takut-takut aku masuk ke mobil Pak Ken. Sebuah Jeep Wrangler Rubicon dengan warna merah yang ngejreng itu kini menjadi saksi bisu betapa berdegupnya jantungku.            “P-pak … aku minta maaf,” ucapku tergagap ketika duduk di sebelah kursi kemudi.            Pak Ken diam. Lelaki yang melinting kemejanya hingga siku itu fokus menyetir. Kulihat sekitar, dia tak membawa tas kerjanya. Kutoleh lagi ke bangku belakang. Tidak atas tas ataupun laptop di atas bangku penumpang. Jadi, aku mau dibawa ke mana?            “Pak, ada klien yang mau ditemui?” tanyaku pelan.            Lelaki itu masih diam. Dia menatap lurus ke depan de
Baca selengkapnya
13
BAGIAN 13            “Pak Ken, aku nggak bisa masuk,” ucapku dengan keringat dingin yang masih mengucur.            Pak Ken yang sudah berjalan duluan sambil menggenggam kunci mobilnya itu langsung menoleh. Tatapannya tajam. Aku makin berdebar saja sebab melihat ekspresi kesal dari bosku.            “Kenapa?” Dia bertanya ketus.            “I-itu … ada mobil suamiku,” kataku sambil menunjuk ke arah mobil yang terparkir anteng di depan sana.            Bosku yang tingginya di atas rata-rata cowok Indonesia kebanyakan itu pun melempar pandangnya ke arah telunjukku. Menyipitkan mata dengan muka setengah masam. Semoga dia tidak marah-m
Baca selengkapnya
14
BAGIAN 14POV FARIS            Plak!            Sebuah tamparan Ibu layangkan ke pipiku. Tepat bersamaan dengan pintu rumah yang baru saja kubuka. Belum kakiku melangkah masuk, tetapi serangan Ibu sudah membabi buta.            “Apa yang kamu lakukan, Ris? Di mana hatimu pada Ibu? Bisa-bisanya kamu meninggalkan rumah ini hanya demi memohon-mohon pada Gista!”            Ibu menarik kerah bajuku. Menyeretku masuk ke ruang tamu, lalu mengempaskan pintu kuat-kuat. Aku terdiam. Tak bisa memberikan perlawanan sedikit pun, meski hati ini mulai mendidih.            Plak!            Sekali lagi Ibu men
Baca selengkapnya
15
BAGIAN 15POV FARIS             [Diba, lagi apa? Aku ganggu kamu nggak?]            Kukirimkan pesan itu kepada Adiba, teman sekantorku. Dia baru lulus PNS dua tahun lalu. Terhitung sebagai juniorku.            Agak berdegup keras jantungku selesai mengirimkan Adiba pesan. Perasaan takut itu sebenarnya hadir di hati. Bukan apa-apa. Adiba ini termasuk sosok yang keras. Bila tak suka, dia tak ragu untuk mengungkapkannya. Lebih blak-blakan daripada Gista. Hanya bedanya, Adiba ini berasal dari keluarga biasa. Ibunya sudah meninggal. Sedang bapaknya hanya seorang pedagang kelontong di pasar. Punya ibu sambung yang setahuku kurang akrab dengannya.            Aku menanti sekiranya dua puluh menit untuk mendapatkan balasan
Baca selengkapnya
16
BAGIAN 16            Akhirnya, aku dan Pak Ken tiba juga di kantor. Teman-temanku terlihat sedang asyik bekerja. Tak ada suara derai tawa di antara mereka. Hanya suara tuts kibor laptop maupun PC yang diketuk oleh jemari giat lima karyawan Pak Ken.            Aku berjalan dengan langkah gontai seraya membawa tentengan ke dalam ruang kerja Pak Ken. Sedang bosku itu sudah berjalan duluan beberapa langkah di depanku.            Aku mengerling ke arah dua temanku. Andin dan Nada. Mereka seolah mendapat sinyal dari tatapanku. Kompak menatap dengan muka cengengesan ke arahku. Bahkan, Nada sendiri memuncungkan bibir sambil memejamkan mata. Seolah sedang memeragakan adegan mencium. Asem si Nada. Sempat-sempatnya dia meledek.            Rasa ca
Baca selengkapnya
17
BAGIAN 17POV FARIS             “Dib, kita pulang bareng, yuk?” Aku mendekati Adiba saat jam pulang sudah tiba. Perempuan cantik yang telah memulas ulang lipstik warna merah batanya itu tampak senyum lebar.            “Nggak apa-apa, nih?” tanyanya sambil bangkit dari meja kerja yang hanya bersebelahan dengan mejaku.            “Iya, nggak apa-apa. Kamu belum pesan taksi atau minta jemput adikmu, kan?” Aku agak gugup bertanya. Maklum saja. Di depan sana, ada empat meja yang masih ada penghuninya. Ada Bu Qoni, Mbak Ambar, Pak Rahmat, dan Pak Yono. Mereka juga staf di seksi yang sama denganku dan Adiba. Keempatnya sedari tadi memang curi-curi pandang ke arah meja kami berdua. Apalagi ketika aku mengajak Adiba untuk pulang bersama. 
Baca selengkapnya
18
BAGIAN 18POV FARIS            “Peluk aja. Nggak apa-apa,” ucapku lirih sambil menatap Adiba serius.            Adiba benar-benar memeluk tubuhku. Erat sekali. Kedua tangannya melingkar ke pinggang ini dan dia tanpa ragu membenamkan kepalanya ke dadaku.            Aku membeku. Seperti batu. Diam di tempat dengan dua tangan yang mulai dingin.            Dadaku tentu berdebar tak keruan. Di hati kecilku ada rasa penolakan. Namun, nafsuku sebagai seorang pria tak mampu mengalahkan berontaknya hati kecil. Tanganku malah perlahan mengusap puncak kepala Adiba yang masih terbungkus dengan jilbab.            “Ternyata … badanmu emang enak buat dipelu
Baca selengkapnya
19
BAGIAN 19            Capek. Satu kata itu yang kurasakan setelah pulang bekerja. Pundak pegal, mata yang berat karena ngantuk, dan kepala mumet efek berhadapan dengan orang banyak.            Tanpa rasa berdosa, Nada keluar dari ruangan Pak Ken setelah empat klien selesai kutangani. Semua adalah tugas pokoknya, tapi seolah-olah dilimpahkan kepadaku. Aku sebenarnya kesal. Mau marah. Cuma, kutahan.            Tidak cuma Nada yang membuat jengkel. Andin pun setali tiga uang. Mereka berdua seakan berkonspirasi.            Setidaknya itulah perasaanku, ketika dia sama sekali tak mau membantu. Padahal, klien sampai menunggu dengan muka masam sebab aku yang agak keteteran melayani mereka.        
Baca selengkapnya
20
BAGIAN 20            “Bercanda, Mbak. Saya bukan suaminya. Saya kakak sepupunya. Suami adik saya lagi di luar kota.” Pak Ken lalu meralat ucapannya. Akhirnya! Ini cowok bikin sport jantung aja!            “Oh, maaf-maaf. Maafkan saya, Bu, Pak. Saya pikir suami-istri. Soalnya mirip banget.” Muka mbak-mbak pendaftaran tersebut berubah merah. Dia pasti malu banget.            “Miriplah. Kan, sepupu.” Pak Ken menjawab PD. Sepupu dari Hongkong!            Aku hanya diam saja. Sementara mbak-mbak cantik tersebut kini mulai menyuruhku untuk menimbang berat badan.            “Sekarang timbang dulu ya, Bu.”  
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status