All Chapters of GAIRAH ISTRI LIAR : Chapter 21 - Chapter 30
88 Chapters
Part 21
Sudah hampir pukul sepuluh malam. Tak lama dia muncul dari balik pintu. Aku menyambutnya dengan penuh senyuman. "Kau sudah makan?" tanyanya, begitu masuk."Sure. Aku bahkan mencuci piring," sahutku penuh kebanggaan. "Oh, ya? Pelangganku ramai saat malam. Aku tak sempat melihat siaran langsungmu kali ini," sindirnya. "No, kahfi. Aku memang tidak melakukannya. Kau sedang mengejekku, ha?" Dia tertawa. "Kau mau mandi?""Ya.""Oke. Buka pakaianmu. Aku akan mengambilkan handuk.""Berikan saja handuknya. Aku akan ganti di kamar mandi.""Why? Kau masih malu membuka celana di depanku?""Ada-ada saja kau ini.""Aku sudah pernah melihatnya dulu. Apa ukurannya tidak bertambah, hingga kau harus malu jika aku melihatnya?""Hei! Kau bicara apa? Jangan bicara sembarangan. Kau tidak punya rasa malu, ha?" Dia menunjuk-nunjuk wajahku. "Kau tidak perlu malu. Meski ukurannya masih seperti dulu, ak
Read more
Part 22
 Saat ini adalah hari yang begitu membuatku tak bersemangat. Jika teringat saat Kahfi benar-benar menolakku, membuatku kembali berpikiran buruk tentang dia yang sedang menyia-nyiakan wanita idola sepertiku. Bagaimana dia bisa melakukan itu? Bahkan seorang pria bisa melakukan hal intim, dengan wanita yang baru saja ditemuinya, jika terus-terusan digoda seperti ini. Aku sudah seperti kehilangan harga diri di depan sahabat yang kini sudah menjadi suamiku itu. Kuputuskan untuk berbenah kamar saja. Menggulung karpet, dan meletakkannya di atas ranjang. Membersihkan debu-debu di lantai, untuk kemudian kembali membentangnya. Ya, aku punya aktivitas rutin sekarang. Kulihat ada beberapa lembar uang di atas meja belajar. Meja yang kini sudah kupakai sebagai meja rias. Mungkin itu hasil kerjanya malam tadi. Aku tersenyum, menghitung berapa penghasilan yang ia terima selama seharian penuh. Bahkan jumlahnya masih kurang jauh dari biaya salonku s
Read more
Part 23
 "Kenapa kelinci itu masih di situ? Kau ingin menjadikannya maskot kedaimu?" Aku melirik boneka yang dikembalikan Ara yang masih terletak begitu saja di atas meja. "Lalu, harus kuapakan lagi?""Buang saja. Seleramu jelek. Aku tidak akan mungkin menerimanya, jika kau membelikanku boneka seperti itu."Dasar brengsek! Dia bahkan tak pernah sekalipun membelikanku sebuah boneka. Lebih kecil dari itu juga sebenarnya tidak masalah. Dasar gadis sialan. Bisa-bisanya dia mendapatkan itu dari suamiku. "Ya, aku tahu. Aku juga tidak ingin membelikannya untukmu," sahutnya, dengan santai. "Kau memang selalu seperti itu padaku." Aku berdecih. "Kau sudah punya banyak, Key. Aku melihat puluhan boneka saat ulang tahunmu yang ke sepuluh. Untuk apalagi aku membelikannya. Benda-benda itu tidak akan habis meski sudah puluhan tahun berlalu.""Alasan!""Bagaimana pertemuan dengan Mamamu tadi? Kau tidak
Read more
Part 24
"Key baik-baik saja, Pak. Anda tidak perlu khawatir.""Ya, ya, ya. Aku bisa melihatnya. Kurasa hanya denganmu dia bisa bersikap manja, dan tertawa seperti tadi, kan?" Tawanya kembali terdengar. Aku sedikit tertegun, seperti melihat Papa yang dulu aku kenal. Papa yang dulu. Dulu sekali. Lalu, sudah sejak kapan mereka berada di sana memperhatikan kami. Memalukan. Kulirik sekilas wajah Erik, dia tampak begitu kecewa. Oh, good. Setidaknya aku bisa melihat hatinya hancur saat melihat aku tertawa bersama Kahfi."Maaf, lain kali aku akan datang membawa Key, jika anda memanggil kami.""Baiklah. Tak apa. Aku mengerti. Aku dan Erik hanya sedang melihat-lihat tanah di sekitar sini, jadi kami putuskan untuk singgah. Kau juga membuka kedaimu saat hari Minggu, ya. Kau sangat gigih rupanya," puji pria yang menggunakan busana santai itu. "Benar, Pak. Biasanya hari Minggu pelanggan lebih ramai yang datang. Sayang kalau tidak di
Read more
Part 25
"Apa kau tidak punya pertanyaan lain, ha?" Dia melepaskan tubuhku, dan mulai menjauh.Berpindah tempat untuk duduk, dimana biasanya kami berada. Dia meletakkan bokongnya, dan menyandarkan diri dengan santai. Lalu, langsung mengeluarkan sebungkus rokok, yang kini selalu tersimpan di kantong celananya. Licik sekali dia. "Kau tak ingin menjawab?" tanyaku lagi. "Itu pertanyaan konyol. Aku tak mau ketularan sakit jiwa dengan menjawabnya." Dia mulai menyulut api. "Baiklah! Aku juga tak mau berlama-lama bicara dengan orang yang terlampau waras sepertimu. Kurasa aku mulai nyaman hidup sendiri dengan kegilaanku.""Kau mulai lagi!"Shit! Selalu saja seperti itu. Apa sedikit pun dia tidak punya hati? Ah, tidak. Tentu saja dia punya. Tapi sayangnya, itu bukan untukku. "Oke. Kurasa aku harus pergi. Ada sesuatu yang ingin kukerjakan."Aku berbalik, dan melangkah keluar."Hei, kau mau kemana?"
Read more
Part 26
"Ya. Aku cemburu. Kau puas?"Oh, shit. "Lalu kenapa kau tak ingin menyentuhku. Bukankah cemburu itu, artinya kau juga menginginkanku? Apa kau jijik karena kau pikir aku sering tidur dengan sembarang pria? Kau pikir aku seorang jalang, ha?""Jaga ucapanmu, Key. Kapan aku pernah menuduhmu seperti itu?" ucapnya setengah berbisik. "So, why?"Dia memejamkan matanya perlahan, dan aku paham maksud dari reaksinya itu. Dia mungkin merasa lelah, dan enggan untuk berdebat dan menjawab semua pertanyaanku. "Kau izinkan aku masuk ke rumah, dan tidur di kamarmu atau tidak?" Aku juga mulai menurunkan nada bicaraku. Dia melonggarkan pegangannya dari bahuku. "Itu kamar kita. Masuklah."Aku menepis sentuhannya, dan bergegas masuk tanpa menoleh lagi. Brengsek kau Kahfi! Aku melempar asal tas mungil yang kujinjing tadi. Lalu menghempaskan diri ke ranjang. Tubuhku menelungkup dan membena
Read more
Part 27
 Angin malam kian menyapa dari sela-sela jendela. Menghampiri tubuh kami yang sudah terpangkas jarak saat ini. Cahaya dari luar juga menembus ruangan melalui ventilasi, membuat tatapan liar matanya terihat jelas.Aku bisa merasakan deru napasnya juga naik turun. Terlihat sekali bahwa dia begitu menginginkanku. Apa lagi alasannya kali ini? Mengantuk? Dia bahkan terlihat segar saat menungguku di luar tadi. "Aku menunggu jawaban darimu, Fi. Malam ini, atau tidak sama sekali," tegasku, setengah berbisik. "Kau mengancamku?" Hangat napasnya menyapa tepat di wajahku. Kalau bukan karena harga diri, sudah kulumat habis wajah itu. "Anggap saja begitu.""Kau akan pulang?""Aku tak punya pilihan lain, Fi.""Mengundang Erik masuk ke kamar, dan menghibur luka hatimu?""Ya, mungkin saja.""Key!" Dia menekan sedikit tubuhku. Apa itu tadi? Dia marah? Karena Erik? Great!  Kelihatannya dia m
Read more
Part 28
Kurasakan mimik wajahnya berubah. Seperti tak menyangka kata-kata seperti itu akan keluar dari mulutku. Aku merasa seperti wanita yang berbeda. Sungguh, aku tak dapat lagi mengendalikan perasaanku. Aku benar-benar hampir gila."Jangan bercanda, Key. Kau hanya menghiburku," decihnya. "Aku tak peduli. Apa yang kau pikirkan saat ini, tak lagi penting buatku. Yang kutahu, saat ini kita saling mencintai. Kau harus mengakui itu. Kau juga menginginkanku lebih dari diriku sendiri. Aku tak akan membiarkan kau lolos kali ini, Fi."Segera aku menarik wajahnya, tak peduli lagi apa yang saat ini membuatnya takut. Kami semakin terlena, dan aku sudah mengambil ancang-ancang agar ia tak lagi melepaskan aku. "Kau yakin, Key?" bisiknya, di sela-sela deru napas kami."Buktikan kalau kau memang laki-laki normal, Fi. Atau kau akan kehilanganku untuk selamanya. Aku sedang mengancammu," balasku dengan desahan menggoda. Ia kembali mengecup keningk
Read more
Part 29
Kurasa Erik benar-benar terkejut dengan apa yang sudah kuketahui. Meski hubungan Mamaku dan Papanya telah lama berakhir, kurasa mereka masih saling mencari informasi satu sama lain. Itulah sebabnya aku mengetahui semua masalah yang mereka hadapi. "Baguslah, kalau kau tidak menyangkalnya. Aku akan katakan semuanya pada Papa. Setidaknya dia harus berhati-hati pada orang kepercayaannya selama ini.""Tunggu, Key!" Dia menarik lenganku, yang baru saja berbalik hendak melangkah. "Lepaskan tanganmu, brengsek!" Aku berusaha menepiskan pegangannya. "Kau tidak punya hak menyentuhku."Dia melepaskanku, kemudian mengangkat kedua tangannya ke atas, seperti tanda menyerah. "Tolong rahasiakan hal ini, Key. Aku tak ingin Papamu salah paham," pintanya. "Salah paham? Jadi kau mengakui bahwa kalian merencanakan sesuatu?""Demi Tuhan, Key. Aku tidak akan mungkin melakukan itu.""Kau pikir aku percaya?" Aku berdecih. 
Read more
Part 30
Oh, good. Suasana makan malam masih saja terasa kaku. Entah, mungkin karena aku tak terbiasa makan bersama mereka. Saat masih tinggal di rumah ini pun, aku lebih banyak menghabiskan waktu di luar, namun tetap harus pulang apa pun yang terjadi. Ya, itulah Papaku. Papa yang sudah tak kukenal lagi sejak bertahun-tahun yang lalu. Kata Mama, dia membenciku karena wajah dan sikapku mirip Mama. Tapi menurutku, akulah yang lebih membencinya. Aku benci situasi ini, dimana Erik dan Elena harus duduk di hadapan aku dan juga Kahfi. Sedang Mama mereka, duduk manis di sampingku. Rasanya ingin sekali mengeluarkan makanan yang baru saja masuk ke perut, melihat situasi keluarga kami yang aneh ini. "Apa kalian tidak berbulan madu, Key?" ucap wanita itu dengan mulut manis, seperti biasanya. I dont know. Kurasa otaknya sudah bebal. Dia terus berbicara padaku, meski aku tak pernah menjawabnya. Apa dia tidak punya malu? Tak ada gunanya menjilatku. Toh P
Read more
PREV
123456
...
9
DMCA.com Protection Status