Key begitu benci dengan dengan ayahnya. Juga keluarga barunya. Merasa muak karena harus setiap hari bertemu dengan Erik, mantan kekasih yang kini berstatus sebagai kakak tirinya. Merasa tidak sanggup lagi tinggal di sana, Key meminta sahabatnya Kahfi untuk menikahi dan membawanya pergi dari rumah itu. Pernikahan dadakan mereka tentu saja diwarnai dengan berbagai intrik dan juga polemik. Banyak adegan romantis dan juga lucu yang mereka lalui setelah menikah. Bagaimana nasib keduanya? Akankah mereka saling jatuh cinta, ataukah berakhir dengan perpisahan dan kembali menjadi sahabat? WARNING! Awas jatuh cinta dengan Kahfi. Karena saat menulis kisah mereka, aku juga menggilai sosok sahabat yang satu ini. Jika membacanya, maka kau akan menghayal dan berharap menjadi Key.
Lihat lebih banyakPlak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi glowingku. Membuat rambut lurus berwarnaku sedikit tersibak. Aku tersenyum sinis, melihat laki-laki paruh baya bergaya necis yang kini berada di depanku, dengan wajah merah menahan amarah.
Mataku berkeliling mengitari mereka yang berlagak baik dan ingin membelaku, namun tak mampu. Mata mereka berkaca-kaca, mencoba memberikan isyarat bahwa aku harus meminta maaf dan segera memperbaiki kesalahanku. Munafik betul makhluk-makhluk itu.
Aku terus menantang, meski diam. Masih bergeming dengan sorot mata tajam, tanpa air mata. Aku lelah menangis sejak tujuh tahun yang lalu, di hadapan...nya.
"Bikin malu! Tidak punya harga diri. Kau senang ditonton semua orang? Kau sengaja mempermalukan Papa, ha? Dasar gadis liar. Bereskan masalahmu, atau angkat kaki dari rumah ini!"
Oh, good. Kenapa tak dari dulu kulakukan hal itu. Dengan begitu, aku punya alasan untuk pergi dari neraka ini.
Aku berlalu, setelah kulihat pak tua itu pergi melangkah dan membanting pintu kamarnya. Aku berjalan pelan menapaki anak tangga yang terbuat dari marmer menuju lantai dua. Kamarku.
Aku bersandar pada dinding ranjang sembari memeluk lutut. Melakukan yang tak bisa aku lakukan di hadapan mereka. Menangis. Hampir sesenggukan.
Lalu derit langkah terdengar dari depan pintu. Sebuah ketukan menyapa, minta dibukakan. Aku bergeming. Sudah hafal betul siapa sesosok itu.
"Key," panggilnya dari luar sana. Aku masih diam.
"Key, bukalah! Biarkan Tante masuk."
Lalu kudengar lagi suara ketukan yang berulang-ulang, tanda ia belum menyerah.
"Pergi, kau!" Aku melempar kasar tas clutch, yang kubawa dari bawah tadi menghantam pintu.
Hening. Mungkin dia sudah kapok, dan memutuskan untuk pergi. Begitulah jika selalu ikut campur urusan orang.
Aku bangkit dan berjalan memunguti benda mahal yang kubuang tadi. Mungkin ada sebagian barang yang berada di dalamnya rusak atau patah. Damn! Aku lupa kalau ponsel berhargaku juga belum kupindahkan.
"Buka pintunya!" Suara lain sedang berteriak sambil menggedor dengan begitu keras.
Oh, shit. Ibu dan anak sama saja. Munafik dan sok perhatian. Menjijikkan.
"Buka pintunya, Keyra. Kenapa kau berlaku tidak sopan pada Mama!" bentaknya lagi.
Aku berjalan mendekat dan membuka pintu dengan kasar.
"Suruh siapa Mamamu ikut campur semua urusanku. Belum cukup kalian menumpang tinggal dan mengambil semua milikku, ha?" Kutantang wajah itu dengan jarak yang hanya sejengkal.
Kulihat dia terdiam dengan wajah yang masih tegang menahan emosi. Dengan sedikit kemerahan tentunya. Dia bergerak, mundur selangkah menghindari tatapanku. Aku tertawa sinis melihatnya.
"Mau apa kau kesini? Mengejekku? Kau merasa menang? Oke, ambil saja rumah ini. Aku tidak sudi lagi menempatinya."
"Hapus semua fotomu!"
"Bukan urusanmu. Apa kau melihatnya? Begitu seksi, bukan?" Aku tergelak, lalu melangkah masuk kembali ke kamar. Menghempas bokong seksiku di ranjang king size.
"Mana ponselnya? Biar aku yang singkirkan." Dia mengikutiku masuk, dan kini berdiri tepat di depanku dengan menjulurkan telapak tangan.
"Keluarlah! Kau tak berhak apa pun pada hidupku."
"Berikan saja! Papamu tidak akan main-main dengan ucapannya."
"Kenapa? Kau takut aku benar-benar pergi dari rumah ini?"
"Demi Tuhan, Keyra. Berikan saja ponsel itu!" Dia semakin tersulut emosi.
Aku semakin tertantang dengan sikap itu. Aku kembali bangkit dan berdiri di hadapannya. Tentu saja harus sedikit mendongak, agar bisa mengimbangi tinggi tubuhnya.
"Why? Jangan bilang kau tidak ikut menikmati poseku di situ. Cukup menantang, bukan? Kau ingin yang lebih menggoda?" Aku mendekatkan wajahku sedikit lagi. "Aku bisa memberimu yang lebih dari itu. Kau suka?" Aku meniup telinganya, kemudian menjauh.
"Dasar gadis liar!" umpatnya. Aku terkekeh.
"Lalu kau pikir adik perempuanmu itu lebih baik dariku? Aku melihatnya memasuki hotel, bersama pria tua seumuran Papa," ucapku setengah berbisik.
"Kau sudah kelewatan, Key. Hapus fotomu sekarang juga, atau temanku yang seorang hacker akan melakukannya."
"Ouch... kau mengancamku?"
"Aku tak punya cara lain. Kalau kau ingin mengirimkan foto polosmu padaku, silakan. Tapi jangan biarkan khalayak ramai menikmatinya. Aku tak suka."
Dia melangkah, dan berlalu meninggalkan kamarku dengan ancamannya, dan aku tahu dia tidak sedang bercanda. Damn!
"Kau benar-benar brengsek, Erik." Kulempar kembali benda yang baru kupungut tadi. Kali ini hanya ke atas ranjang.
***
Aku mengempaskan diri di kursi panjang terbuat dari bambu. Mengambil sebungkus rokok yang terletak begitu saja, lengkap dengan koreknya. Mengeluarkan isinya, lalu menyulut api, begitu batang nikotin itu terjepit di antara bibir seksiku.
"Aku diusir," aduku, pada dia yang sedang memangkas rambut seseorang.
"Itu salahmu!" jawabnya cuek.
"Percuma mengadu. Kau memang tak pernah membelaku." Aku meniup asap ke udara.
"Siapa yang akan mendukung, jika tingkahmu masih seperti itu."
"Oke! Tutup kedaimu. Temani aku minum!"
Dia merapikan kain pembalut tubuh laki-laki yang baru saja dieksekusinya. Lalu menggerbaskannya agar berjatuhan semua rambut yang tadi menempel di sana.
Kahfi. Dia satu-satunya makhluk di bumi ini yang masih mau berteman denganku, dengan segala tingkah liar dan sikap kasarku. Kami berteman sejak masih kanak-kanak. Dan dia masih setia hingga sekarang.
Atau mungkin kebalikannya. Ya, kurasa akulah yang masih bertahan dengannya. Dengan sikap jujur dan ceplas-ceplos segala ucapannya. Ah, ya. Satu lagi. Dia bukan penjilat, yang bergaul denganku hanya demi materi. Dia bahkan tak ingin membeli rokok dengan uangku.
Tak jauh berbeda dengan Erik. Ia sudah mengakui perbuatannya dulu pada Papa. Mengakhiri hubungannya denganku begitu saja, hanya agar tak ada halangan yang membuat Papa membatalkan niat untuk menikahi Mamanya.Ia mengakui, saat itu hidup mereka benar-benar sedang terpuruk. Papanya mengusir mereka dari rumah dan tak mendapatkan apapun karena Tante Winda tetap bersikukuh meminta cerai.Ya, wanita mana yang sanggup hidup seperti itu. Selalu diperlakukan kasar dan juga di khianati. Dan keputusan Papa untuk menikahi dan kembali mengangkat derajat mereka, benar-benar perbuatan yang mulia. Sayangnya, aku baru menyadari hal itu sekarang.Erik mengakui semua penyesalannya. Bahwa ia telah mengorbankan rasa cintanya dan juga telah melukai perasaanku. Hubungan yang kami jalin sejak masa pubertas harus hancur karena takutnya ia akan kemiskinan. Dan itu sangat menyakitiku hatiku saat itu.Penyesalan? Ya. Dia begitu menyesal karena a
Huek... huek...Aku mengeluarkan semua isi perutku. Kegiatan rutin yang selalu menyiksaku setiap pagi. Ouch... ini menyebalkan. Aku kembali ke kamar dan berbaring. Menghirup aroma minyak kayu putih yang tak bisa lepas dari genggamanku."Minumlah." Kahfi membawakan segelas air hangat seperti biasa. Aku bangkit dan meraih pemberiannya."Sampai kapan aku seperti ini, Fi?" rintihku, meneguk air yang dibawanya."Sabarlah. Paling lama hanya tiga bulan. Setelah itu kau akan baik-baik saja," ucapnya lembut sembari memijat keningku."Tiga bulan? Itu terlalu lama, Fi. Ini bahkan baru beberapa minggu saja," rengekku manja, menjatuhkan kepala di bahunya.Dia tertawa kecil."Memangnya apa yang ingin kau lakukan? Kau bisa minta padaku. Nanti aku yang bawakan." Ia merangkul dan mengusap bahuku."Aku ingin jalan-jalan keluar. Tapi setiap aku berdiri, rumah ini terasa seperti berputar. Apa semua
"Apa yang kau lakukan dengan pakaian seperti ini?" geramnya, dengan setengah berbisik."Mengantarkanmu makan siang," sahutku, sembari menepis pegangannya."Pulanglah! Ada banyak pria di sini."" Memangnya kenapa, Fi?" Aku pura-pura tak mengerti."Kau tidak lihat cara mereka memandangmu?""Tentu saja. Aku memang cantik, bukan? Wajar kalau mereka tertarik melihatku.""Aku bilang pulang!" perintahnya lagi."Tidak mau!"Aku menjauh dan duduk di kursi bambu di antara kedua pria yang sedang menunggu giliran untuk dieksekusi."Punya rokok?" tanyaku dengan suara menggoda.Mereka tersenyum. Lalu keduanya bergerak cepat merogoh kantong masing-masing. Aku tersenyum lebar, saat kedua bungkus rokok berbeda merek itu kini berada di hadapanku. Tanganku mulai menyentuh benda itu, sampai sebuah tangan besar menyambar, dan mengambil keduanya."Kami akan tutup. Kalian pulanglah!" ucap Kahfi ket
Aku berjalan gontai keluar dari Rumah Sakit. Pembicaraan dengan dokter Satya bagai suatu hal yang tak masuk di akal bagiku. Apa dia sudah tahu selama ini, jika Elena telah mengalami gangguan. Itukah yang ia dapat dari konsultasi mereka beberapa waktu yang lalu?Kupikir semua baik-baik saja, dan berjalan dengan lancar. Tanpa kutahu, Dokter muda itu telah menangkap gelagat aneh dari dirinya. Ditambah lagi dengan pengakuanku yang tak sengaja didengarnya waktu itu.Oh my God, ini benar-benar gila. Si jalang itu benar-benar gila telah berani merayu suami orang, dan tak ingin melepaskannya begitu saja.Bitchi!Aku terduduk lemas begitu sampai di balik kemudi mobil. Menyandarkan punggung demi merenggangkan urat syarafku yang dari tadi menegang. Teringat apa yang dikatakan Dokter Satya di ruangan tadi."Awalnya memang benar ini soal hutang piutang. Papaku menangguhkan pinjaman karena Elena memohon. Papa tak tega melihatnya,
"Yes, Dokter?" jawabku tanpa berbasa-basi."Bisa kita bertemu?" pintanya dari kejauhan.Oh, shit. Kenapa dia harus memanggilku di saat yang tidak tepat. Membuatku merasa dilema, antara mengantarkan makan siang Kahfi atau mengurus Elena.Aku segera mengganti pakaian dan mengambil tasku. Aku harus tahu bagaimana nasib Elena selanjutnya. Jika Dokter itu tak bisa mengatasi bajingan itu, aku sendiri yang akan datang mengancamnya.Baru saja aku hendak keluar menuju teras depan, saat kulihat Kahfi sudah masuk dan kembali menutup pintu. Sudah hampir jam dua. Dan ini terlalu lambat untuk makan siang.Kedua mata kami saling bertemu. Membuatku rindu dan ingin sekali memeluknya. Lalu bagaimana jika tiba-tiba ia menolak dan mendorongku? Tidakkah hal itu sangat memalukan untuk wanita sepertiku?"Aku keluar sebentar," ucapku memberi tahu. "Hanya sebentar saja.""Bukankah sudah kubilang lakukan sesukamu?" s
"No, Kahfi. Kau tidak bisa bicara seperti itu padaku. Kau sudah berjanji. Kau tidak boleh memperlakukan aku seperti ini."Dia langsung membuang pandangan. Membuat hatiku terasa begitu perih. Tidak. Ini tidak nyata. Kahfi pasti sedang bercanda."Pulanglah! Aku tak ingin kita saling menyakiti lagi," ucapnya tanpa berbalik."Aku tidak mau. Itu rumahku. Kau tidak punya hak mengusirku," ucapku dengan bibir bergetar.Dia kemudian berbalik dan memandangku. Menatapku dengan tatapan kosong."Jangan lagi bohongi dirimu sendiri, Key. Sandiwara ini tak akan pernah berhasil. Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan. Pulanglah, aku melepasmu.""Tutup mulutmu, sialan! Aku tak mau mendengar kata-kata itu lagi. Kau jahat. Aku membencimu. Kalau kau tak ingin bersamaku lagi, kau saja yang pergi. Aku akan tetap tinggal di rumah itu." Dadaku kembang kempis menahan sesak."Hentikan omong kosongmu, Key. Untuk apa kau
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen