Semua Bab AKIBAT PELIT PADA ANAK ISTRI: Bab 11 - Bab 20
105 Bab
Bab 11 Pertemuan Tak Terduga
"Kamu nggak mau pakai gamis yang aku beli?" tanya Mas Aris tiba-tiba saat aku masih mematut diri di depan kaca.  Zahra sudah tampil cantik dan sederhana dengan balutan gamis yang kubeli beberapa waktu lalu serta sandal berwarna senada. Meski murah tetap saja cantik untuk anakku, yang penting dia bahagia. Tak dihitung berapa nominalnya.   "Aku sudah beli gamis sendiri, Mas. Terima kasih," balasku singkat sembari membenarkan hijab yang sedikit kurang pas di dahi. Mas Aris menatapku beberapa saat lamanya lalu menghembuskan napas panjang.  "Terserah. Yang penting aku sudah berusaha membelikannya," balasnya singkat. Aku hanya mengangkat alis cepat lalu kembali ke depan kaca dengan memoles sedikit lip blam ke bibir.  'Kamu cantik, Wita. Hanya saja nasibmu yang belum secantik wajahmu' Batinku memuji diri sendiri. Tak apalah, daripada nggak ada yang memuji sama sekali.  "Ibu, hari ini ibu terlihat sangat cantik dengan gam
Baca selengkapnya
Bab 12 Bukti
Jam lima sore aku dan Mas Aris juga Zahra sudah sampai di halaman rumah setelah seharian bermain pasir di Ancol. Sejak pertemuan dengan Mas Hanan tadi siang, Mas Aris mendadak diam. Apalagi saat Mas Hanan bilang sangat bersyukur bisa bertemu denganku lagi di kota ini setelah sepuluh tahun tak bertemu karena suatu hal, wajah Mas Aris berubah seketika.  Dia benar-benar tak suka. Tampak jelas dari sorot mata dan aura wajahnya yang tak bersahabat, meski Mas Hanan sering kali mengajaknya bicara dan bercanda layaknya karyawan yang lain. Namun Mas Aris terlalu menjaga jarak bahkan begitu terlihat malas saat Mas Hanan memperkenalkan pada semua karyawan bahwa dia lah direktur baru di kantor dan akan membuat terobosan baru untuk memajukan perusahaan. Tepuk tangan terdengar riuh, namun Mas Aris seolah enggan untuk ikut bertepuk tangan apalagi melayangkan sebuah senyuman. Aku pun tak tahu mengapa Mas Aris mendadak tak ingin kuajak bicara juga. Selalu
Baca selengkapnya
Bab 13 Rencana Berhasil
"Assalamu'alaikum, Bu. Gimana kabarnya? Ibu sudah sehat, kan?" tanyaku pada ibu via telepon.  Sejak mudik tiga minggu lalu aku memang sering menelepon ibu, menanyakan kabarnya sudah membaik atau belum. Rasanya aku sudah cukup lelah, menunggu perubahan Mas Aris, namun nyatanya sia-sia belaka.  Akhir-akhir ini dia justru semakin beringas, nggak jelas. Dia selalu menyindir hubunganku dengan Mas Hanan. Padahal pasca family gathering waktu itu sampai sekarang pun aku nggak pernah bertemu dengannya.  Jangankan bertemu, sekadar berhubungan via maya aja nggak pernah. Namun sepertinya Mas Aris tak percaya, sering kali curi-curi pandang saat aku menelepon atau kirim pesan dengan seseorang.  "W*'alaikumsalam, Wit. Alhamdulillah ibu sudah sehat. Justru ibu mengkhawatirkan kamu," jawab ibu lirih. Seperti ada beban yang dia pikirkan, entah apa. "Khawatir soal apa, Bu? Wita baik-baik saja kok. Zahra juga," ucapku lagi. Kudengar hembusan
Baca selengkapnya
Bab 14 Dia Shock
"Kamu nelepon siapa, Wit? Ibu? Ngomong apa kamu sama ibu?" tanya Mas Aris tiba-tiba dari ambang pintu. Dia menatapku begitu tajam dengan tatapan tak bersahabat. Aku hanya menghembuskan napas panjang lalu menggelengkan kepala. Tak mungkin aku jujur pada Mas Aris tentang obrolanku dengan ibu. Biar saja menjadi kejutan buat dia nanti jika tiba-tiba ada panggilan sidang atas namanya. "Wita! Ngobrol apa kamu sama ibu?" tanya Mas Aris lagi. Sepertinya dia begitu ingin tahu atau justru hanya ingin mengorek kejujuranku? Aku tak tahu sejak kapan dia berada di ambang pintu.Sejak aku menelepon ibu atau baru saja dia ke luar saat aku sudah mengakhiri obrolan dengan ibu. Ah entah lah.  "Ngobrol seperti biasanya, Mas. Memangnya kenapa? Kamu juga nggak pernah mau ngobrol dengan ibu, kan?" tanyaku asal. Mas Aris hanya menatapku beberapa saat lalu kembali masuk ke kamar. Gegas kusiapkan makan untuk Zahra, tadi dia minta dibikinkan orak-arik telur pada
Baca selengkapnya
Bab 15 Rencana Aris
Adzan subuh sudah berkumandang sejak beberapa menit lalu. Gegas kulakukan kewajiban untuk sujud padaNya, tak lupa membangunkan Zahra untuk ikut serta. Dia memang terbiasa bangun subuh seperti yang kulakukan, lebih tepatnya memaksakan dan membiasakan hingga dia menjadi terbiasa tanpa paksaan.  Setelah selesai salat subuh, dia membaca buku-buku pelajaran di kamar, sedangkan aku mulai sibuk di dapur sembari memutar pakaian di mesin cuci. Ada banyak agenda yang harus kukerjakan hari ini, jadi sebisa mungkin urusan rumah selesai sebelum mengantar Zahra sekolah. Sudah kusiapkan beberapa berkas untuk gugatan ke pengadilan. Surat nikah asli dan kartu keluarga sudah kusimpan rapi. Aku nggak akan membiarkan Mbak Yuli mengambilnya dariku, apalagi menggagalkan rencanaku ini.  Beruntung aku mendengar percakapan Mbak Yuli dan Mas Aris via telepon kemarin. Jadi aku bisa gerak cepat sebelum terlambat.  "Ngapain sih kamu bucin b
Baca selengkapnya
Bab 16 Kena Mental
Aku menjemput Zahra di sekolahnya beberapa menit sebelum jam pulang. Kulihat Mbak Yuli bersungut-sungut kesal sembari memarkirkan motor maticnya.Aku pura-pura tak melihat saat dia sibuk ngobrol dengan Bu Indah dan Bu Sila di tempat parkir, sesekali melirik ke arahku. Entah apa yang mereka gunjingkan. "Ada loh Bu-Ibu yang suaminya sakit tapi malah mau gugat cerai."Suara seseorang membuatku sedikit tersentak. Aku masih diam saja pura-pura tak mendengar.Biar si julid itu puas berteriak terlebih dahulu baru nanti kubalas dengan sindiran tajam. Setajam silet pokoknya!"Masa sih, Jeng? Siapa memangnya tega banget suami lagi sakit malah urus gugatan," ucap Bu Indah sedikit keras sembari melirikku.Sindiran dan lirikan mereka jelas-jelas tertuju padaku. Aku tahu itu tapi masih pura-pura tak mendengar pun tak melihat.Biar saja. Masih mencoba untuk santai, sejauh mana mereka terus menyindirku. "Beneran ada kok perempuan b
Baca selengkapnya
Bab 17 Membalas Fitnah
Mulutku ternganga saat melihat fotoku bersama Zahra dan Mas Hanan di depan tempat parkir rumah sakit tadi sudah mampir di grup whatsapp keluarga besar, menjadi topik pembahasan yang seru sepertinya. Tak peduli benar atau tidak yang penting ghibah aja dulu.  Foto yang seharusnya bertiga dengan Zahra entah mengapa hanya tinggal aku dan Mas Hanan saja. Iya, berdua!Sengaja dipotong sedemikian rupa dengan menghilangkan jejak Zahra di sana. Seolah-olah memang hanya ada aku dan Mas Hanan sengaja meluangkan waktu untuk bertemu tanpa ada yang mengganggu. Mereka memang kurang kerjaan. Setelah aku telusuri sampai chat teratas, Mbak Aruna lah yang mengirimkan fotoku di depan rumah sakit itu dengan pesan yang menyakitkan. |Apa gara-gara laki-laki ini si Wita melakukan gugatan? Emang ganteng sih dan sepertinya berduit. Tapi harusnya ngerti sikon lah ya, suami masih rawat inap bisa-bisanya kencan dengan laki-laki lain. Minta cerai pula, entah di
Baca selengkapnya
Bab 18 Perempuan Itu
|Wit, kalau kamu sama Aris jadi pisah, nanti pulang ke Solo saja, ya? Daripada di sana nanti gimana hidup kamu sama Zahra? Ibu nggak tega lihat kalian menderita|Kulihat pesan dari ibu yang terkirim beberapa menit lalu. Ibu pasti sangat mengkhawatirkanku dan Zahra saat ini.Takut jika kami terlantar atau kekurangan. Tapi aku sudah pikirkan dan putuskan untuk tetap tinggal di sini setelah perceraian nanti.Entah mengapa aku yakin akan sukses di kota ini nanti. Sekalian membuktikan pada Mas Aris, Mbak Yuli dan keluarga besarnya bahwa aku bisa mandiri dan tak mati terlantar hanya karena pisah dengan Mas Aris! Sudah tiga minggu belakangan aku mulai menjual kerajinan tangan yang aku buat, membuat contoh satu biji untuk konten youtube lalu memotretnya guna promosi di media sosial.Tak menyangka jika responnya benar-benar positif bahkan sudah seminggu ini aku dikejar-kejar orderan online, bros hijab atau tuspin hijab puluhan lusin. Usah
Baca selengkapnya
Bab 19 Mati Kutu
"Kamu masih di sini, Wit?" tanya Mbak Yuli saat memarkirkan motornya di halaman. Aku masih sibuk mencabuti rumput yang tumbuh di sela-sela tanaman pot di teras. "Maksudmu apa, Mbak?" tanyaku singkat tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. "Kalau kamu gugat Aris, harusnya kamu tahu diri dong, Wit!" Bentak Mbak Yuli tiba-tiba.Astaghfirullah itu orang, pagi-pagi sudah cari gara-gara aja. Maunya apa coba? Aku berdiri tegak menghadapnya yang mulai melangkah ke teras sembari membawa sekantong kresek entah apa. "Maksudmu apalagi nih, Mbak? Pagi-pagi mau cari gara-gara, ya?" balasku cepat.Mbak Yuli tampak bersungut kesal sembari menjatuhkan bobotnya ke kursi kayu yang tertata di teras rumah. Dia letakkan kantong kresek di atas meja."Kalau kamu sudah nggak cinta sama adikku, harusnya tahu diri. Pergi dari sini. Bukannya enak-enakan di sini!" Bentaknya lagi.Gegas kucuci tangan lalu sengaja meladeni dia, maunya apa
Baca selengkapnya
Bab 20 Paket Misterius
Pagi-pagi sekali aku sudah siap-siap pindah kontrakan. Sederhana nggak apa-apa asalkan aku dan Zahra bahagia. Nggak tertekan seperti ini, apalagi dua hari lagi sidang perdana dimulai. Berulang kali Mas Aris memintaku untuk memikirkan lagi dan lagi soal gugatan itu. Tapi aku tak peduli. Keputusanku sudah bulat untuk berpisah. Tak tahan hidup berdampingan dengan orang-orang toxic macam mereka. Sudah cukup lama aku memberinya waktu. Berulang kali pula aku memberinya kesempatan. Namun diabaikan. Jikalaupun sekarang aku menunda, yang ada aku justru semakin diremehkan keluarga besarnya. Aku tak sudi.Belum tentu juga Mas Aris berubah jika kuberi kesempatan lagi. Iya, kan? Sudahlah. Jika memang nanti ditakdirkan kembali itu urusan lain. Yang penting sekarang keputusanku sudah bulat untuk bercerai. Baru jam delapan pagi, Mbak Yuli dan Annisa sudah datang. Aku yakin, mereka pasti mau merecoki lagi.Apa dia sengaja ingin memanas-manasiku so
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
11
DMCA.com Protection Status