Semua Bab Miskin Gara-gara Nikah Lagi: Bab 61 - Bab 70
199 Bab
Menata Hati
"Makasih lo, mbak. Aku seneng banget. Akhirnya keinginan dari lama tercapai juga."Aku membalas pelukannya. "Jangan terlalu ditanggapi. Salah sendiri tidak mau bilang sama aku. Sok tersakiti kamu.""Ih, apaan sih mas Haidar. Emang kalau bilang juga bakal di turutin? Palingan bilang; halah, males. Ribut. Ganggu istirahat. Ya kan?"Haidar tak menjawab. Aku tertawa menggelengkan kepala. Ternyata tidak sekaku yang aku kira. Haidar yang mudah memaafkan, dan Niswah yang mood booster."Sudah malam. Ayo, aku antar.""Sendiri-sendiri?""Yaiyalah. Memang bagaimana aku pulangnya nanti? Jalan?" aku tertawa. Mengangguk. Berpamitan dengan Niswah, lalu mengambil mobil. Zul dan Della sudah berpamitan sejak tadi. Bahkan sejak acara belum selesai. Emang gak ada akhlak mereka. Bukannya ikutan beberes malah kabur duluan. Aku menaiki mobil di depan, dan Haidar menyusul di belakang.Sampai di rumah, sudah sepi. Mas Angga sudah tidur, ibu juga. Syukurlah. Setidak
Baca selengkapnya
Haidar Jatuh Cinta?
Kejutan! Bang Aldi datang hari ini. Dengan naik taksi langsung dari bandara ke kantor. Perjalanan London-Indonesia yang memakan waktu hampir lima belas jam, tak membuatnya memperlihatkan letih. Justru tersenyum lebar dan memelukku. Aku membalasnya dengan senyum sekadar menghormatinya. Rasanya tak tega langsung memberondongnya dengan pertanyaan. Bang Aldi juga tidak menanyai alasan yang membuatnya harus kembali kesini lagi. Meski mungkin dia melihat kantor yang suram dan tidak berwarna seperti biasanya."Abang sudah dengar semuanya," tukasnya setelah beristirahat sejenak."Haidar yang menjelaskan. Tapi abang sempat mampir ke perusahaannya dulu sebelum kesini," jelasnya sebelum aku bertanya."Kenapa kamu tidak bilang sendiri, hmm?" Aku menggeleng."Sudah terlanjur juga. Susah untuk memperbaikinya lagi. Karena data-data kita dijebol oleh mereka.""Masih ada jalan. Sejak kapan adikku ini jadi pesimis, hmm?"Aku menyilangkan kaki, bersidekap. Memperlihat
Baca selengkapnya
Rahasia Haidar
"Seperti yang kita duga. Dia penipu ulung."Hari ini aku ikut rapat bang Aldi dan kedua temannya. Tentu karena aku penasaran dengan penyelidikan mereka. "Jadi?""Benar. Di Turki, dia adalah buron."Bang Aldi menyandarkan badannya ke sofa, bersidekap. Tapi sudut pandangnya mengarah ke arahku. Pasti dia sedang menyalahkanku karena bisa bekerja sama dengan orang itu. Lah, siapa yang bisa menebak coba? Kalau perusahaannya juga hasil dari menipu juga. Maybe tapi. Dan kalau tidak ada penyelidikan ini, siapa yang bakal sadar? Nyatanya dia juga menjalin hubungan baik dengan om Andre 'kan."Tapi, kenapa tidak ada yang mencarinya kalau dia buron?""Dia operasi wajah. Informanku bilang, dia merubah wajah dan menyogok petugas. Yah, tahu sendirilah bagaimana sistem di negara kita. Jauh dari kata amanah. Uang dari menipunya di Turki sana dia gunakan untuk membangun usaha. Dan, kebetulan sekali, putri dari pengusaha yang bekerja sama dengannya jatuh cin
Baca selengkapnya
Ancaman Riri
Aku yang sedang melihat-lihat aksesoris menoleh. Mendapati Riri yang menatapku mengejek. Dengan kedua tangannya bersidekap di dada, jumawa."Ck .... Ck... Kasihan sekali. Udah jatuh miskin Ya? Sampek beli gantungan kunci murahan kayak gitu. Gak kuat beli yang branded? Haha.""Lo kenapa Sih? Ngoceh mulu," sahutku kesal."Ooo... Iya dong. Harus.""Kenapa? Bangga jadi penipu? Berapa orang yang sudah kamu porotin? Mas Angga? Lalu siapa Lagi?"Tawa memekakkan itu terdengar menyebalkan."Sudah aku katakan. Mas Anggamu itu cuma korban kejahatan keluargamu. Kalau saja Angga tidak menikah denganmu, aku pastikan dia baik-baik saja. Sayang sekali, dia harus masuk ke keluarga bejatmu itu."Tanganku mengepal. Ingin segera melayangkan bogem mentah ke wajah menyebalkannya itu."Jaga omongan Lo, ya. Bang Aldi bahkan gak pernah suka sama Lo. Soksok an banget Lo fitnah abang gue. Kalau emang melacur karena masalah keluarga bobrok lo, gak usah deh bawa-bawa abang gue, s
Baca selengkapnya
Kejahatan Riri
Sejenak kutatap raut sendunya itu, lalu mengangguk. Tak menunggu lama, tangan kekar itu memeluk tubuhku. Aku diam tanpa reaksi. Hanya yang aku tahu, jantungku tidak lagi berdetak untuknya."Maafkan aku. Aku janji, aku akan hidup baik-baik tanpamu. Dan aku juga janji, setelah ingatanku kembali, akan aku turuti permintaanmu. Meskipun itu menyakitkan ku, karena sebenarnya, aku belum ikhlas dengan perpisahan ini."Kutepuk punggungnya, mas Angga melepas pelukan. Dapat kulihat embun di matanya itu.Hari ini, mas Angga pergi dari rumah. Tak ada permusuhan, tak ada barang pecah ataupun piring terbang. Nyatanya, kami berpisah secara baik-baik. Dan saat bang Aldi pulang, dia bertanya mengenai kepergian mas Angga. Dia pun manggut-manggut demi mendengar penjelasanku.***Semenjak Haidar mengalokasikan dananya ke perusahaan, kini perusahaan mulai stabil. Impactnya memang besar. Ditambah bang Aldi membantu mencarikan investor. Dan kudengar, Zul sudah mendapatkan
Baca selengkapnya
Ruang Sandera
Ruangan mulai terlihat jelas. Meski tetap saja tidak seterang di luar. Semalaman aku tidak tidur. Begitu pria itu keluar, aku berusaha keras mencari cara untuk kabur. Tapi, dengan kondisi kaki dan tangan diikat, ditambah posisi yang menyulitkanku, membuatku makin sulit bergerak."Uh! Uh!"Kugeser tubuhku dari posisi ini. Pegal dan kotor sudah tidak kupedulikan. Padahal masih pagi, tapi keringat sudah membasahi pelipisku. Bayangkan saja rasanya bagaimana. Sungguh, tidak nyaman. Aku yang tak terbiasa tanpa sentuhan air mandi, kini justru sama sekali belum menyentuh air dari kemarin. Air mataku berlinang. Membayangkan nasib yang akan menimpaku nanti. Merutuki nasib tidak akan mengubah apapun, aku harus berusaha. Meski kemungkinan sekecil zarrah, tapi tak ada salahnya berusaha lebih dulu. Kulihat di dekat jendela sana, ada bekas retakan dinding yang agak kasar. Entah bisa atau tidak, tapi aku seperti melihat kemungkinan. Tubuhku berguling-guling hingga mencap
Baca selengkapnya
Penolong Tak Terduga
Posisi nampan masih sama. Sama sekali aku tidak sudi menyehtuhnya. Membayangkan kejadian tadi saja sudah membuatku ingin muntah. Menjijikkan. Siapa tahu pria tadi menaruh sesuatu di makanan, atau bisa jadi di ludahi terlebih dahulu? Bisa saja kan. Mereka orang jahat. Dan yang aku pikirkan sekarang adalah, bagaimana nasib orang-orang sekarang. Aku harus bisa menghentikannya. Mereka tidak boleh menyetujui rencana licik Riri. Wanita itu terlalu busuk. Dugaanku jendela ini bisa dijebol. Nyatanya, sama sekali tidak. Ikatanku sudah lepas semua padahal. Dan ternyata, setelah aku lihat dari jendela, bangunan ini mepet lembah. Sialan. Mereka sengaja membawaku ke tempat asing dan mengerikan seperti ini. Tubuhku sudah lemah untuk dapat menghancurkan pintu. Lagi-lagi suara derit pintu membuat adrenalinku naik. Reflek menoleh. Dan kali ini, seringai yang kudapat dari dua manusia busuk itu."Apa kabar istri pertama yang terhormat."Rahangku mengeras. Riri ben
Baca selengkapnya
Kabur
"Bagaimana kamu ada disini, Mas?"Aku menatapnya was-was. Mas Angga membawaku ke sudut area lokasi ini, dekat tembok pagar bagian belakang."Aku membuntuti Riri.""Kamu sudah ingat?" Maksuduku, ingatannya sudah pulihkah? Pria itu mengangguk."Maaf, aku tidak tahu Riri sejahat itu." Kuhela napas panjang. Bekas merah si dahinya makin terlihat meski di pencahayaan yang samar. Aku salah sasaran. Kupikir yang masuk tadi si pria jahat itu."Kok, kamu bisa masuk? Jangan-jangan kamu bersekongkol dengan mereka," tatapku curiga, menjaga jarak seandainya dia bagian dari Riri dan komplotannya."Aku menyamar, Din. Kamu tidak lupa kan? Rumahku di desa. Aku dan ibu memutuskan pulang ke desa. Dan, kebetulan satu-satunya jalan menuju puncak hanyalah jalan yang dilewati desaku. Aku melihat wajah Riri dibalik kaca mobil yang melintas. Dan, aku curiga, memutuskan mengikutinya dengan sepeda motor. Ternyata benar, lokasi yag dituju adalah rumah ini. Rumah puncak bukti ta
Baca selengkapnya
Teman Lama
Pria itu masih menatapku curiga. Ayolah, tubuhku benar-benar butuh pertolongan. Dan lagi, terbayang nasib mas Angga yang butuh segera pertolongan."Tolong saya, aku mohon..." pintaku memelas."Oke. Tapi, sebelumnya aku harus memastikan sesuatu."Pasrah saja saat pria itu memfotoku. Mungkin untuk berjaga jika aku berani menipunya. "Ayo."Aku menaiki boncengan. Motor kembali melaju. Selanjutnya, aku pasrah, tubuhku benar-benar lemas.Aku tidak faham jalan ini. Yang aku tahu, sepanjang jalan hanyalah pepohonan yang terlihat. Gelap dan menakutkan. Hanya sorot lampu inilah satu-satunya sumber cahaya. Jika di situasi normal, mungkin aku sudah memilih balik kanan saja. Tapi, ini situasi mendesak. Kurebahkan kepalaku di pundaknya dengan mata terpejam, lemas. Berharap dia tidak berfikiran buruk padaku. Namun, tiba-tiba motor berhenti. Sontak aku membuka mata. Menatap sekitar yang masih hutan gelap."Ke-kenapa berhenti? Kita belum sampai kan?"
Baca selengkapnya
Jurang Menganga
Sebuah jurang menganga, dengan lahar panas di bawahnya. Beberapa pria bertudung hitam mencengkram kedua tanganku. Mereka hendak melemparku. Aku menangis berontak. Namun, sama sekali mereka tidak menghiraukannya. Aku belum ingin mati!Tidak! Bukankah tadi Robi yang membawaku? Kenapa aku berpindah tempat disini? Apakah aku berada di alam mimpi? Dan, apakah saat ini dia tengah merusakku? Air mataku mengalir semakin deras. Aku sudah kotor! Aku benci diriku!"Dinda, bangunlah."Suara lembut menyapa indera pendengarku. Tunggu, kenapa suara itu tidak asing? Perlahan kubuka mataku. Samar-samar siluet seseorang berada di sampingku. "Aarrgh! Jangan! Lepaskan aku!"Aku memberontak saat tangan itu menyentuhku. Tidak! Jangan lagi. Tanganku melempar apa saja yang berada di dekatku. Termasuk memaksa mencabut selang yang menancap di tanganku."Dinda... Tolong tenang. Ini aku, Haidar...""Tidak.... Jangan.... Hiks..."Kurasakan pria itu
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
56789
...
20
DMCA.com Protection Status