All Chapters of Murid Kesayangan: Chapter 51 - Chapter 60
135 Chapters
Bab 51. Laporan Resti
Bang Edo memandangiku. Dia tidak mengatakan apapun. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Untuk beberapa waktu, kami hanya saling diam. "Hai! Duduk berdua, sunyi senyap gini. Kayak pacaran tapi lagi marahan." Kak Lili muncul. Tangannya membawa sepiring pisang goreng. Aromanya khas. Aku suka pisang goreng Kak Lili. Persis seperti kalau mama yang buat. Kak Lili meletakkan piring di meja di depanku dan Bang Edo. "Aku lagi galau. Tapi kenapa tergoda kalau masakan Kak Lili nongol?" Tanganku mencomot sepotong pisang goreng. Langsung aku gigit ujungnya. Hm, emang lezat. "Galau kenapa? Bang Edo bikin kamu galau?" tanya Kak Lili. "Tanya aja, tuh. Manusianya masih di sini." Aku mencibir. Satu potong lagi aku ambil. Lalu aku berdiri dan membawa pisang beserta tasku ke dalam kamar. Aku bisa menebak, terjadi perbincangan serius di antara mereka. Masuk ke kamar, aku segera mandi. Dengan badan segar, aku kemudian duduk di atas kasur, memindahkan isi kamera hasil perjalanan hari itu ke laptop.
Read more
Bab 52. Sentakan Bertubi-tubi
Resti berbalik, menghentikan langkahnya. "Josie cari aku." "Josie? Dia kenapa?" tanyaku dengan cepat. Pikiranku segera saja merayap, ada rasa kuatir lagi. Resti mengerling. "Josie ... Nanti aku kabari. Aku sampaikan kalau Pak Avin kangen sama dia!" "Resti!" Aku tersentak. Kalimat itu, yang terakhir, berarti Resti sadar, aku punya hati buat Josie. "Tenang, Pak, kalau ada apa-apa, aku akan cepat lapor! Don't worry, soal hati, aku ga ember!" Resti melambai. Langkahnya ringan keluar kelas, meninggalkan aku termangu di tempatku, melihat ke arah pintu. Aku harus bersiap. Kalau satu orang tanpa sengaja melihat aku dan Josie berdua, entah di mana itu, hanya dalam hitungan jam, maka penduduk sekolah akan tahu, ada sesuatu antara aku dan Josie. Oh, no ... Aku makin cemas. Bukan soal aku cinta Josie, tapi apa Josie siap dengan semua yang akan menerjang di depan? Aku harus berpikir dan bertindak. Tidak boleh salah langkah! Ponsel yang masih di saku ransel aku keluarkan. Lebih baik aku mengh
Read more
Bab 53. Tetapkan Hati, Melangkahlah Yakin
Mataku masih tertuju pada Josie. Aku mencari ke kedalaman tatapan itu, apa yang muncul di sana? Sedih? Marah? Atau apa? Tidak terlalu bisa kugambarkan. Resti menyentuh pundak Josie dari arah belakang. Josie berbalik. Lalu kedua gadis itu meninggalkan ruangan. Ada sendu merayap di hatiku. Aku ingin sekali mendatangi Josie dan bicara dengannya. Aku ingin sekali bilang apa yang kurasa di hati dan ingin balik tahu, apa yang Josie rasa tentangku. "Makasih, Pak Avin! Sampai besok!" Muridku yang lain menegurku. Aku menoleh dan melambai padanya. Ruangan makin sepi. Aku pun memilih meninggalkan hall. Tujuanku berikutnya adalah tempat les. Sebenarnya dengan hati berat begini, sangat tidak nyaman mengajar. Namun, tanggung jawab adalah tanggung jawab. Aku tidak bisa menuruti emosi saja. Kelas kubuat ringan dan lebih banyak santai. Karena aku tidak mood mengajar yang cukup serius. Lumayan renyah dan aku bisa tertawa di antara bocah-bocah yang baru akan beranjak besar itu. Usai kelas, aku duduk
Read more
Bab 54. Memaafkan, Haruskah?
Aku meluruskan posisi duduk, menajamkan telinga untuk bersiap mendengar Josie. “Oke. Beritahu aku, ada apa?” tanyaku dengan cemas mencuat di dada. “Ga bisa … aku ga bisa ngomong.” Josie bicara dengan nada seperti berat. “Lalu …?” ucapku lirih. “Papa … aku mau papa di sini … Papa …” Tangis Josie terdengar pilu di telingaku. “Josie …” Hatiku terasa perih. Aku memang tidak tahu apa yang terjadi, tapi tangisan Josie … Kalau saja Josie tidak di asrama. Kalau saja aku bisa datang dan memeluknya, memberi kehangatan seorang papa yang dia perlukan. “Uuhhhmmm …” Josie memaksa diri menahan agar tangisnya berhenti. Isakan masih tak bisa dia hentikan, tetapi tangisannya tidak sederas sebelumnya. “Pejamkan mata kamu, pikirkan papa ada di depanmu. Kira-kira apa yang papa akan katakan atau akan lakukan?” Aku mencoba menenangkan Josie. Tidak lagi terdengar tangisan. Isakan kecil sesekali masih menyapa hatiku. Tarikan napas panjang, juga menyapa di telingaku. “Josie?” panggilku setelah cukup l
Read more
Bab 55. Pergi Jauh
Aku cukup terkejut mendengar pengakuan Ertie. Benarkah begitu cepat tante yang sekian tahun berbuat semau gue, tiba-tiba berbalik arah dan menyatakan penyesalan? “Bu Ferin yang membuka pikiranku. Bu Ferin membuat aku melihat banyak hal berbeda.” Ertie melanjutkan. “Awalnya aku ga nyangka, Bu Ferin malah mengajak aku tinggal di rumahnya. Aneh saja. Baru kenal denganku yang datang membuat masalah di sekolah ini, dia minta aku tinggal di rumahnya.“Tapi aku ga punya pilihan, karena aku ga tahu mau ke mana. Setidaknya aku punya tempat untuk tidur. Lalu, dia bilang dia harus melakukan sesuatu. Aku, mengingatkan dia pada putrinya yang telah meninggal. Karena, namaku sama dengan nama putri Bu Ferin.” Aku memandang Ertie. Jadi itu alasan utama Ibu Ferinda mau menolong Ertie? Hampir tak bisa kupercaya. Tapi karena aku mengenal Ibu Ferinda memang orang yang baik, maka aku bisa memahaminya. “Bu Ferin meminta saudaranya yang seorang pengacara mengurus semua masalahku. Rumah ga mungkin dipertaha
Read more
Bab 56. It Is Okay
Josie masih dalam pelukanku. Getaran di hatiku pun belum mereda. Aku, jujur saja, bingung dengan kejadian tiba-tiba ini. “Papa … Tante Ertie pergi. Dia tidak akan menggangguku lagi … Tapi … tapi kenapa … hatiku masih sakit? … Bu Ferin bicara banyak soal Tante Ertie. Kenapa … kenapa aku ga rela Bu Ferin baik kayak gitu sama Tante Ertie? … Apa aku salah, Pa?” Suara Josie begitu pilu terdengar. Kesedihan bercampur marah yang kurasakan dari suaranya. Dan kata ‘papa’ yang dia ucapkan, aku mengerti, Josie membayangkan aku adalah papanya. Ingatanku dengan cepat lari kepada Ertie. Josie merasa aku mirip papanya, aku bisa memenuhi kerinduan Josie pada papanya. “Kalau Papa … apa Papa akan maafkan Tante Ertie?” Josie melepas pelukannya dan mengangkat wajahnya. Derai air mata banjir di wajah Josie. Tanganku refleks bergerak dan mengusap kedua pipinya. “Ingin sekali aku ga usah memaafkan. Karena akan impas rasanya, kalau aku tetap marah dan benci pada Ertie yang melukai kamu.” Aku merasa debara
Read more
Bab 57. Lola di Sekolah?
Kak Lili berdiri dengan sebelah tangan berkacak pinggang. Matanya menatap padaku, lalu melihat Josie. Dari sorotan matanya aku tahu, Kak Lili bertanya, ada rasa heran, dan tidak suka, mungkin. "Kak Lili, maafkan aku. Aku ga bermaksud lancang dan mengganggu." Josie berjalan maju mendekati Kak Lili. Tangannya masih memegang sendok sayur. Matanya memelas memandang pada Kak Lili. Kak Lili menaikkan kedua alisnya, makin heran dia melihat sikap Josie. Aku melihat pada Kak Lili, memasang wajah nyengir dan menggeleng. Aku memberi isyarat agar Kak Lili tidak marah. "Hmm, sepertinya aku datang tepat waktu. Kamu masak apa? Harumnya sampai di depan." Kak Lili segera mengubah intonasi suaranya. Dia melangkah mendekati meja dan melihat hidangan yang sudah siap disantap di sana. "Ah, itu ... masakan kesukaanku. Aku sudah lama ga masak. Jadi ..." Ucapan Josie terhenti. Dia mencermati Kak Lili yang langsung mencicipi masakan Josie. Aku juga sama, memperhatikannya. Aku masih menunggu apakah Kak Li
Read more
Bab 58. Di Ruang Ibu Kepala
"Permisi ..." Aku menyapa dari pintu masuk. "Pak Avin, mari silakan. Dan Josie?" Ibu Ferinda melihat ke arah belakangku. Aku tahu Josie ada di sana. "Masuklah, Josie. Duduk sini." Ibu Ferinda menepuk kuris di sampingnya. Aku merasa jantungku tidak karuan. Pasti ada yang tidak beres di sini. Aku masuk dan mengambil tempat di sisi kiri Lola, berjarak dua kursi. Josie duduk di sebalah Ibu Ferinda. Lola sibuk mengusap wajahnya dengan tisu, sesekali melirik padaku. Tatapannya tidak bisa kujelaskan. "Pak Avin, hari ini aku mendapat kunjungan yang sangat tidak terduga. Aku tidak tahu apakah Pak Avin bisa menduga hal apa yang membawa Nona Lola datang ke sekolah ini." Ibu Ferinda menatap tajam padaku. "Dia tidak akan mau mengakui, Bu. Avin sudah buta. Gara-gara muridnya itu, aku ... aku ... Avin meninggalkan aku ..." Lola menangis. Dia menutup wajahnya dengan dua tangan. Aku tersentak. Jadi Lola datang melapor ke sekolah kalau aku dan Josie punya hubungan khusus. Lebih parah lagi, aku mas
Read more
Bab 59. Aku Memang Sayang
Jam seperti berhenti. Waktu seperti enggan beralih. Aku terdiam. Pertanyaan yang Ibu Ferinda tanyakan, jika aku dengar dari kakakku, atau Bang Edo, atau teman-temanku, tidak begitu sulit aku memberi jawaban. Namun, di depan Ibu Ferinda, aku merasa sebuah batu besar yang tidak bisa aku peluk dengan kedua tanganku seolah akan menimpaku. Tatapanku sedikit bergeser pada Josie. Gadis itu masih menunduk. Aku bisa melihat dia sangat gelisah. Kakinya terus bergerak, pun jari-jarinya tidak berhenti saling bertaut kiri dan kanan bergantian. Kalau aku bisa bahasa telepati, aku ingin sekali tahu apa yang Josie rasa dan pikirkan. "Pak Avin, bisakah aku mendapat jawaban tanpa menunggu?" Ibu Ferinda menatapku. Sorotan tajam itu, aku ingat kepada almarhum ibuku. Jika dia mendapati ada yang tidak benar denganku, seperti ini cara Ibu menatapku. "Saya ..." Aku mengangkat wajahku, memandang Ibu Ferinda. Dia ibuku, itu yang aku pikirkan. Aku tidak akan mendustainya. "Saya sayang sama Josie, Bu." Ibu F
Read more
Bab 60. Kalau Soal Cinta ...
Aku merasa Ibu Ferinda tidak percaya padaku. Bisa jadi dia mengira aku mendustainya. Mungkin sekali yang dia pikir, aku tidak mau mengaku soal hubungan asmaraku dengan Josie, hanya berani mengatakan perasaanku terhadap Josie. "Ibu ..." Aku harus menjelaskan semuanya. Tidak ada gunanya aku tutupi. Kalau memang aku harus keluar dari sekolah ini, apa dayaku. Tapi aku tidak akan membiarkan Josie harus kena imbasnya. "Saya mengatakan yang sebenarnya. Saya sadar, perasaan saya seharusnya tidak begini. Josie masih belia, murid saya. Saya bergumul begitu dalam, berusaha menyingkirkan rasa sayang yang terus saja makin kuat di hati saya buat Josie. Tapi, saya tidak bisa. "Saya akan mundur, tetapi saya mohon, biarkan Josie menyelesaikan sekolahnya. Tinggal satu semester lagi. Dia akan punya ijazah SMA, dan itu langkah awal dia berjuang mendapatkan pekerjaan, meskipun pasti tidak seberapa," kataku dengan hati perih. Aku tidak puya pilihan lagi. Menurutku pilihan ini yang paling baik untuk diam
Read more
PREV
1
...
45678
...
14
DMCA.com Protection Status