Semua Bab Istri Nakal Mas Petani: Bab 21 - Bab 30
281 Bab
21. Lirikan
Rasanya Sully baru tertidur beberapa menit saja, pintu kamar kembali dibuka. Ia tak mau membuka mata karena mengira yang masuk adalah Wira. Lalu dirasanya sebuah tangan meraba kepala, memijat lengan, mengusap punggung dan perutnya dengan gerakan cepat. Sully mendelik. Hampir saja mengempaskan tangan itu karena mengira Wira yang terlampau berani.Ternyata wanita tua yang seingatnya mungkin adalah tukang urut yang dikirim Wira. Tak ingin bersikap kasar dengan wanita tua yang terlihat khawatir setelah meraba tubuhnya, Sully mengikuti perkataan wanita itu. Tak ada siapa-siapa di sana. Wira pasti tak akan begitu saja masuk ke kamar karena memanggil tukang urut merupakan inisiasinya.Sully mengerling jendela kamar yang tertutup. Tirainya pun masih tertutup rapat. Setelah melapisi tubuhnya dengan selembar kain sarung, Sully mencampakkan pakaiannya ke ranjang begitu saja. Kedua tangannya memeluk lengan dan tubuhnya menggigil.Dalam bayangannya yang akan menerima pijatan di atas ranjang baru,
Baca selengkapnya
22. Malam Kedua
Wira sedang memindahkan ranting kayu yang biasa dijadikan bahan bakar tambahan di dapur luar saat mendengar suara Mbah Urut memanggilnya. Wira meletakkan sisa kayu terakhir dan menutupnya dengan terpal agar kayu itu tak kena air cucuran atap saat hujan.“Ada apa, Mbah? Sudah selesai?” Wira menemui Mbah Urut di depan kamar.“Buat teh manis hangat dengan irisan jahe, Gus. Selesai diurut istrimu biar langsung minum teh. Sebentar lagi selesai. Nanti Mbah panggil,” kata wanita tua itu.Wira mengangguk dan meninggalkan Mbah Urut. Pintu kamar berdebum dan wanita tua itu pasti sedang menyelesaikan pekerjaannya. Di dapur Wira menoleh pisang goreng buatan Sully yang baru dimakan sepotong. Tidak benar-benar hangus. Hanya digoreng asal-asalan. Merasa kasihan dengan pisang itu, Wira kembali menyambarnya sepotong dan memasukkannya ke mulut. Matanya sempat membelalak sedetik menyadari ia belum mencuci tangan seusai mengangkangi ranting kayu.Saat ke luar rumah, ia menyadari kalau ember yang biasanya
Baca selengkapnya
23. Gelisah
Sully melanjutkan tidur di antara berisiknya suara dua orang wanita yang sedang menghias kamar pengantin. Suara pintu kamar yang dibuka tutup berkali-kali mewarnai pendengarannya. Meski begitu ia tak peduli. Sempat dirasanya juga suara Oky berbicara di dekatnya, lalu tangan wanita itu meraba dahinya sambil mengatakan, “Demamnya sudah turun.” Tak tahu pada siapa Oky berbicara. Sully baru terbangun malam hari dengan keringat yang membasahi sekujur tubuhnya. Mimpinya beberapa kali berganti dengan sangat acak. Mimpi hari di mana ia pergi dari rumah, mimpi bertemu Rino pria yang sedang dekat dengannya, mimpi Kokom si distributor tas yang menipunya, lalu polisi yang datang ke apartemen dan terakhir memimpikan seorang pria yang sedang memunggunginya. Dalam mimpi terakhir Sully hanya melihat bahu yang lebar berdiri tak jauh darinya. Pria itu berbalik dan mengulurkan tangan. Tak jelas siapa pria itu, Sully menyambut uluran tangannya. Sully tersentak. “Udah jam berapa?” Pertanyaan yang tidak
Baca selengkapnya
24. H-1
Sully sedikit malu karena mengumpat Wira barusan. Mulutnya mengatup sebentar, lalu mencibir. “Ck, pasti ini ada maunya. Biar enggak diawasi mau telfonan sama gadis sederhana? Mungkin sekarang lagi sembunyi-sembunyi biar enggak diganggu.”Seperti baru menemukan air hangat pertama kali dalam hidupnya, Sully menghabiskan seember besar air itu dalam waktu sekejab. Tak peduli kalau ia baru saja sembuh dari demam masuk angin. Pagi itu ia mencuci rambut dan menggosok tubuhnya yang masih beraroma minyak kelapa dengan sabun yang dibelikan Wira kemarin. Usai mengeringkan tubuh dan berganti pakaian, Sully mencuci pakaian bekasnya. Lalu semua pakaian itu, termasuk jaket Wira yang dikenakannya kemarin malam, ia jemur di kawat-kawat yang dipakukan ke dinding kamar mandi dan pohon nangka.“Beres semuanya. Saatnya makan,” gumam Sully.Kalau ada yang mengatakan dirinya tak tahu malu, Sully sudah tidak peduli lagi. Di desa itu ia sudah bersedia menikah dengan Wira dan mendapatkan privelege sebagai mena
Baca selengkapnya
25. Emosi
Wira berdiri begitu dekat dengan Sully. Meski wajah mereka tidak sedekat kemarin saat ia meresletingkan jaket yang dipakai wanita itu. Tapi ia menangkap sorot berkilap di mata Sully. Ditambah dengan gerakan menelepon yang dibuat Sully, ia paham kalau wanita itu sedang mengancam sekaligus mengolok-oloknya. Sungguh kekanakan. Wira ber-cih dalam hati.“Bapak mau ke rumah Ajeng. Mau lihat kualitas kayu bakar yang diantar tetangganya. Kalau enggak diperhatikan, mereka kadang menyisipkan kayu-kayu bagus yang mereka tebang. Penipu itu selalu ada di mana aja.”Perkataan Pak Gagah sontak membuat tatapan saling mengintimidasi antara Sully dan Wira terputus. Keduanya tersadar karena merasa tersindir. Tatapan keduanya berpindah untuk mengawasi Pak Gagah yang bangkit dari kursi dan meninggalkan dapur.“Bukan cuma soal Mbak Sulis aja atau soal pernikahan ini. Siapa pun yang saya jahati, bisa ngelapor ke Bapak saya. Dari dulu beliau terkenal tidak pandang bulu meski saya adalah anaknya. Saya tetap d
Baca selengkapnya
26. Perawan Kota
Wira tersentak saat Sully mengucapkan kata ‘perawan’ dengan begitu lugasnya. Terlebih ada Oky di tempat itu. Padahal niatnya menghampiri tadi hanya ingin menahan Sully agar tidak pergi dari rumahnya. Tapi semua hal yang ia katakan malah membuat Sully semakin berang.“Maksud saya bukan seperti itu, Mbak. Bukan dalam soal itu. Tapi....”“Dalam soal apa lagi laki-laki membandingkan perempuan kota dan perempuan desa selain soal itu? Soal pergaulan bebas, kan? Wanita yang tinggal di kota pasti bebas ke sana kemari dan bermalam sama pacarnya di hotel-hotel? Atau yang tinggal di apartemen bareng? Itu, kan?” Sully kembali maju selangkah mendekati Wira. Kini jarak mereka tak lebih dari setengah meter. Sully harus mendongak untuk melihat wajah Wira yang tak menyiratkan emosi apa pun.“Saya enggak ada maksud ke sana. Saya hanya mencari istri yang pasti bisa tinggal bersama bapak saya yang bawel, Mbak. Mbak Sulis lihat sendiri bagaimana rumah saya. Semuanya masih ketinggalan zaman. Dengan sikap k
Baca selengkapnya
27. Celana Dalam Kucing
“Maksud saya ... nanti dilihat Bapak,” kata Wira, memperbaiki kalimatnya. “Aku menantunya,” jawab Sully. “Dilihat tetangga enggak enak.” Wira menoleh sekeliling mereka. “Kalau enggak dilihat tetangga, enak? Gitu?” Sully semakin mengeratkan pelukannya. “Badan Mas ternyata sekeras ini, ya. Mas masih perjaka, ya?” Sully menggaruk-garuk pelan pinggang Wira. Wira berdiri kaku dengan kedua tangan yang tergantung canggung di kedua sisi tubuhnya. “Jangan ngomong yang aneh-aneh,” tegur Wira, menoleh kanan-kirinya gelisah. “Ehem!” Suara deham Pak Gagah yang disengaja, membuat Sully seketika melepaskan tangannya dari Wira. “Bidan pengantin datang bawa perlengkapan buat besok pagi.” “Iya, Pak. Sebentar lagi kami ke kamar,” sahut Wira. Sully mengalihkan perhatian pada jemuran pakaian yang hendak diambilnya tadi. “Masih basah,” gumamnya. Tapi kalau menjemurkan pakaian lagi, itu berarti ia mengurungkan niat pergi dari sana. Sully meraup semua pakaiannya dan menyisakan jaket Wira di jemuran. “
Baca selengkapnya
28. Adegan Pohon Nangka
Melihat Wira selesai dengan jemuran dan berjalan ke arah rumah, Sully berbalik dan kembali ke halaman depan. Dekorasi sederhana yang dikatakan Pak Gagah tadi ternyata memiliki arti yang sesungguhnya. Memang benar-benar sederhana. Beda dengan arti kata sederhana yang sering diucapkan para selebriti ibukota. ‘Sederhana’ selalu berarti elegan, tanpa endorse dan menghabiskan banyak uang. “Ini istri Bagus, kan?” Ajeng mendekati Sully. Ia baru kembali tiba ke rumah Pak Gagah berboncengan dengan suaminya. Ajeng membawa rantang berisi lauk-pauk untuk makan hari itu. Sully berdiri dari kursi yang baru didudukinya. Dia juga baru bertemu dengan kakak perempuan Wira yang namanya sudah beberapa kali ia dengar. “Saya Sully, Mbak,” ucap Sully menyodorkan tangan untuk bersalaman. Ternyata sambutan dari kakak Wira berbeda. Ajeng mengabaikan tangan Sully dan langsung memeluknya. Pelukan itu cukup lama. Tangan wanita itu menepuk-nepuk pelan punggung Sully dan mengusapnya seakan sedang menumpahkan keri
Baca selengkapnya
29. Permintaan
Wira menggerakkan kepala, lalu mengangkat tangannya untuk meregangkan tubuh. Dari embusan napas Sully yang perlahan menjauh dari telinganya, itu berarti ia sudah bisa membuka mata. “Ada apa, Mbak?” Wira menyipitkan mata seakan baru terbangun. “Temani aku ambil jemuran, Mas. Oky enggak mau. Katanya udah ngantuk banget. Dari tadi kita bahas kerjaan buat besok.” Sully berdiri rapi dengan dua tangannya mengait di depan. Pekerjaan buat besok? Bukannya besok acara pernikahan? Apa itu termasuk pekerjaan bagi Sully? Wira memaklumi di dalam hati. Mungkin begitulah orang-orang di kota besar menyikapi semua hal. Harus profesional. Semuanya demi profesionalisme pekerjaan. Tanpa menjawab, Wira bangkit dari ranjang dan mendahului keluar kamar. “Maaf kalau aku ganggu tidur Mas Wira,” ucap Sully, menunduk memandangi kakinya yang mengikuti langkah Wira. “Enggak apa-apa,” sahut Wira. Wira berdiri tak jauh dari jemuran. Kedua tangannya masuk ke saku celana training olahraga yang digunakannya untuk
Baca selengkapnya
30. Pakai Kain
Malam itu Sully dan Wira berbaring saling memunggungi. Keduanya memikirkan hal yang berbeda. Sully memikirkan soal rencana kontennya esok hari. Berapa banyak viewers-nya, seberapa cantik tampilannya dalam makeup busana tradisional, juga bagaimana tanggapan para haters sesama beauty vlogger yang sudah mengendus soal pelariannya. Pikirannya menerawang. Perlahan meninggalkan kesadaran hari itu untuk beristirahat. Sebuah kain sarung ia gunakan sebagai penutup setengah tubuhnya ke kepala. Cahaya lampu kamar itu terlalu terang. Saat itulah Sully merasa tubuhnya yang meringkuk memeluk guling, pelan-pelan ditutupi selimut lembut dan hangat. Matanya tak sanggup lagi membuka. Mungkin itu Wira, pikirnya. Mungkin juga itu hanya mimpi. Wira berbaring membelakangi Sully. Jarang sekali ia tidur miring. Sejak kecil memiliki kamar sendiri, ia terbiasa dengan tidur telentang menghadap lampu yang terang. Semasa kecil, itulah cara ibunya membujuk agar ia mau tidur sendirian. Cahaya lampu harus terang
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
29
DMCA.com Protection Status