All Chapters of Sepiring Tumis Pepaya Muda: Chapter 51 - Chapter 60
70 Chapters
Bab 51
Aku merebahkan tubuhku pelan pelan, rasa perih masih terasa dari luka dikepalaku, perlahan kupejamkan mata, beristirahat. "Entah siapa yang berniat buruk padaku. Semoga saja, pelaku itu segera ditemukan," doaku dalam hati. **** rira_faradina****Kicauan burung murai batu milik papa seolah menjadi instrumen musik pembuka hari ini, sisa sisa hujan semalam masih menyisakan titik titik air di dedaunan dan genangan air di halaman. Hembusan angin masih sejuk terasa ketika membelai lembut wajahku, membuat perasaan menjadi sedikit lebih nyaman. Selepas sarapan tadi, aku memilih duduk di halaman samping rumah, menikmati udara pagi yang masih segar, sekaligus menikmati keindahan dan keharuman bunga mawar yang dirawat Bi Ijah di sini. "Ah, Nikmat mana lagi yang bisa hamba-Mu dustakan, Tuhan." Aku berucap syukur.Sudah seminggu berlalu sejak kejadian di villa itu, kondisiku juga mulai semakin membaik, hanya sesekali masih terasa berdenyut jika obatnya telat kuminum. Sebenarnya, tiga hari y
Read more
Bab 52
Perkataannya langsung membuatku menatap Mas Rangga, mungkinkah yang sedang berbicara ditelepon saat ini denganku adalah .... [A-apa kau Kinanti?] Tanyaku dengan suara gemetar Tak ada jawaban darinya, lalu sekian detik kemudian, ia memutuskan sambungan teleponnya. ****Aku terdiam sesaat sambil menatap layar ponselku. Ponsel berwarna hitam ini adalah ponsel hadiah yang dibelikan Mas Rangga beberapa hari sebelum resepsi pernikahan kami, ponsel dengan logo apel tergigit separuh ini juga dibeli bersama dengan sebuah SIM card yang baru. Sepanjang yang kutahu, selain penghuni rumah ini, Tyas, Bagian Administrasi Kampus, dan Bu Aliyah, Psikologku saja yang mengetahui nomer ponselku yang baru. Lalu, darimana Kinanti mengetahuinya? "Apa benar itu telepon dari teman kuliahmu, Zia?" Tanya Mas Rangga tiba tiba, membuatku terkejut dan membuyarkan lamunanku. "I-iya mas," Jawabku gugup. Bagaimana jika Mas Rangga tahu bahwa yang meneleponku tadi adalah Kinanti? Haduh, memikirkannya saja sudah
Read more
Bab 53
"Aku belum membuat janji apapun dengannya. Katakan saja padanya jika Zivara, ingin bertemu dengannya. Ah, tidak, katakan jika aku harus bertemu dengannya." Tegasku sambil memandang seorang wanita yang menatap tajam kearahku dibalik pagar rumah ini.****Aku mengumpulkan segenap keberanian, berbicara dengan Kinanti harus hati hati, karena wanita itu sangat pandai memainkan kata kata. Sejujurnya, perasaanku mulai gelisah dan cemas. Datang kesini seperti masuk ke kandang singa. Namun, aku terus menepis semuanya. Aku sangat yakin ia tak akan berani mencelakaiku di rumahnya sendiri. "Baik bu, sebentar akan saya sampaikan pada non Kinanti." Jawabnya, lalu berbalik membelakangiku. Wanita dibalik pagar itu terus menatapku, tak berselang lama, wanita itu, diiringi satpam penjaga yang tadi bicara denganku, berjalan mendekat, menghampiri kami. "Kau ... untuk apa kau datang kerumahku?" Ia menatapku penuh tanya. "Aku sengaja datang kesini untuk mencarimu! Aku ingin bicara, apa kau punya waktu?
Read more
Bab 54
Aku masih diam, tanpa kusadari aku berjalan meninggalkan gazebo ini, meninggalkan ia yang masih menertawakanku. Kuseka air mataku yang jatuh tanpa dicegah. Aku terus berjalan menuju jalan keluar rumah ini, tak kugubris Mbak Dian yang menyapa dan menanyakan kondisiku. Yang kuinginkan saat ini adalah secepatnya pulang kerumah. **** Sudah lima hari berlalu sejak pembicaraanku dengan Kinanti, selama itu aku hanya diam. Lebih banyak menghabiskan waktu sendiri di kamar. Aku bahkan tidak mendatangi jadwal sesi konselingku kemarin, meskipun begitu aku tetap pergi ke kampus, mengikuti kuliah seperti biasa. Aku tak ingin membuat papa khawatir. Aku selalu menghindari pembicaraan apapun dengan Mas Rangga, aku juga selalu berusaha tidur lebih awal dan bangun lebih pagi demi menghindari bertatap muka dengannya dikamar. Mas Rangga selama ini telah berbohong padaku. Aku masih ingat jika ia pernah mengatakan bahwa ia sudah memblokir nomor telepon Kinanti, dan tak lagi berhubungan dengan rubah beti
Read more
Bab 55
Kita berdiri di sini saja, diluar panas, aku tak tahan" ucapnya sembari mengibaskan tangan ke wajahnya."Zia, lihat! Apa itu suami gantengmu?" Tanya Tyas menepuk bahuku. "Dimana?" Aku mencari arah yang ditunjukkan Tyas. **** "Di sana," Tyas menunjuk seorang pria berjas hitam yang tengah menelepon tak begitu jauh dari tempat kami berdiri. Aku memandang ke arah yang ditunjukkan Tyas. Mataku tak berkedip melihatnya. Itu memang Mas Rangga, kulihat ia sedang berjalan ke arah eskalator sambil terus memegang ponselnya. "Mau kemana ia?" "Apa kau mau mengikutinya?" Tanya Tyas memancingku. Aku menoleh padanya, segores senyum manis kuberikan padanya, pertanda ucapannya adalah benar. "Ya sudah, ayo. Nanti kita bisa kehilangan jejaknya." Tyas menarik lenganku, kami berjalan sedikit tergesa karena takut kehilangan target. Para pengunjung Mall ini cukup ramai, beberapa kali aku dan Tyas hampir kehilangannya, karena kulihat Mas Rangga sempat berbelok ke arah toilet pria, untuk beberapa saat ka
Read more
Bab 56
Suara bariton yang khas itu terdengar lebih dulu, tak lama sosok pria paruh baya itu menampakkan wajahnya dihadapan kami. "Papa!" Sebut Mas Rangga dengan raut wajah terkejut. Aku diam terpaku melihatnya kini melangkah masuk ke dalam kamar. Ya tuhan, mungkinkah papa mendengar semua pertengkaran kami tadi? ****Papa mendelik tajam kearah kami berdua. Aku menundukan kepala, tak berani membalas tatapan matanya. jantungku kini berdegup kencang, tak lama, beliau lalu melangkah menghampiriku. "Apakah semua yang kau katakan itu benar, Zia?" Tanya papa dengan suara keras, membuatku semakin menunduk dan gugup."A-aku ... tadi hanya asal bicara saja pa. Itu hanya gurauan saja," kilahku mencari alasan. Aku memberanikan diri melirik ke arah papa, terlihat beliau menggeleng pelan, sepertinya kecewa dengan Jawaban baru saja yang kuberikan. "Jangan berusaha menutupinya, Zia. Papa sudah mendengar semua pertengkaran kalian tadi." Tegasnya. "Aku bisa menjelaskan ini semua, papa hanya salah paham
Read more
Bab 57
"Jangan khawatirkan mereka, mereka berdua bukan anak kecil. Aku yakin, semua akan baik baik saja." Jelas terdengar pembicaraan papa dan Mbak Soraya, aku senang usaha Mbak Soraya untuk meyakinkan papa agar tak lagi mencemaskan kami, berhasil. Aku memandang mobil yang membawa papa dan Mbak Soraya kini sudah berbelok meninggal kompleks perumahan elite ini. Sungguh, ada rasa sesak di dada saat melihat kesedihan di wajah papa. ****Aku menatap kalender meja yang ada di dalam kamar, tinggal seminggu lagi rencana kepergian Mas Rangga dan Kinanti ke Singapura. Jujur saja perasaanku kini sangat gelisah. Sejak kepergian papa ke Singapura seminggu yang lalu, aku memutuskan untuk tinggal di kamar tamu. Keputusan itu membuatku dan Mas Rangga kini semakin jarang bertemu, meskipun itu sekedar sarapan pagi bersama. Hubungan kami tak membaik pasca papa mengetahui semuanya. Kami berdua lebih memilih diam, tak saling bicara. Hingga akhirnya keadaan ini membuatku jengah, dan besok kuputuskan untuk p
Read more
Bab 58
Mengapa harus seperti ini, tak bisakah kau membicarakan ini baik baik denganku. Mengapa harus bertemu dibelakangku jika kalian memang sedang menjalin hubungan? Aku sudah lelah, mungkin akan lebih baik bagiku untuk mengakhiri saja pernikahan hambar ini. Maaf mas, aku menyerah. ****Malam ini rasanya terasa gelap dan mencekam. Senada dengan suasana hatiku saat ini yang hitam sekelam malam. Aku tak mengerti mengapa bisa terjebak dalam suasana ini. Andai saja Mas Rangga bisa berkata jujur padaku. Tentu hatiku rasanya tak sesakit ini.Kejadian tadi siang terus mengusikku, wajah Kinanti yang melirikku sambil tersenyum puas terus menari di pelupuk mataku, sikap Kinanti yang seakan mengejekku, membuatku bertambah kesal. Setelah makan malam tadi, aku langsung masuk kekamar, sengaja menghindar agar tak bertemu muka dengan Mas Rangga, terpaksa hal itu aku lakukan karena tak ingin ia membuatku lebih kecewa lagi. Tok ... tok ...! Terdengar suara seseorang dari luar mengetuk pintu. Entah menga
Read more
Bab 59
Aku berjalan menuju halaman rumahku. Kutatap rumah sederhana milik Alm. Bapak ini. Membuatku terkenang kembali masa masa bersama ke-dua orang tuaku dulu. Kulangkahkan kaki masuk ke dalam, rumah ini berdebu karena kosong cukup lama. Kurebahkan sebentar tubuhku lalu mulai membersihkan rumah ini. Setidaknya dengan menyibukkan diri seperti ini membuatku sedikit melupakan masalahku. *** Azan Maghrib sudah berkumandang, aku mengambil wudhu untuk menunaikan kewajibanku, sekaligus melangitkan banyak doa kepada Sang Pemilik Kehidupan. Ku adukan masalahku kepada-Nya berharap Dia segera memberikan jawaban atas semua masalah ini. Setelah menyelesaikan kewajiban pada Sang Khalik, aku mengecek ponselku yang sedari tadi sengaja kumatikan, karena tak ingin Kinanti merusak suasana hatiku lagi. Sebuah pesan singkat dari Mas Rangga membuatku tercekat. Dalam pesan yang dikirimnya, Mas Rangga memintaku untuk pulang. Jujur dalam hati, aku masih kesal. Terasa sesak sekali, aku seperti sulit bernapas, en
Read more
Bab 60
"Kau benar benar ingin bercerai, Zia. Haruskah itu?" Pertanyaannya membuatku akhirnya tersenyum. "Iya, mas. Karena aku mulai jatuh cinta padamu, aku takut tak bisa melepaskanmu ketika perasaanku nanti semakin dalam padamu, akan lebih baik bagiku jika kita berpisah saja," ucapku sambil menyeka airmata. ****Aku gugup tak menyangka akhirnya kalimat itu keluar dari bibirku. Aku berdecak kesal ketika menyadari kebodohanku. Kulirik Mas Rangga yang menundukkan kepalanya sejenak lalu, kemudian menatapku sambil mengulas senyum tipis. "Aku senang mendengarnya, Zia!" "Tadinya aku sempat ragu untuk pergi kesana, tapi kata katamu barusan, membuatku tak bisa menundanya. Aku harus pergi!" "Beri aku waktu, Zia. Setelah itu aku berjanji tak akan pernah membohongimu lagi," jelas Mas Rangga. Aku menghela nafas panjang, dadaku kini naik turun, kucoba untuk mengatur emosiku saat ini, aku tak ingin membuat keadaan ini lebih buruk lagi. Tatapan mata Mas Rangga masih bisa kurasakan, entah mengapa memb
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status