Semua Bab Batas kesabaran seorang istri!: Bab 31 - Bab 40
153 Bab
31. Kedatangan seorang bocah.
Hari udah hampir siang, Alhamdulillah toko sembako ku semakin hari semakin maju. Sesuai permintaan Mas Hadi kemaren, aku mengirimkan uang yang ia pinjam ke dalam rekening Afifah adiknya. Jika ditanya, apa aku percaya? Tentu aku percaya, karena selama ini Mas Hadi selalu bersikap baik, dan Afifah juga adalah anak yang manis dan jujur."Mbak nggak makan siang? Kini sudah hampir jam dua Mbak. Nanti Mbak sakit, Lo!" ujar Neneng, membuyarkan lamunanku. Gadis ini begitu perhatian padaku. Aku jadi merasa memiliki seorang adik di toko ini.Aku tersenyum. "Kamu sudah makan, Neng?" "Sudah Mbak," jawabnya."Ya sudah, kamu jaga toko sebentar, ya! Mbak masuk dulu," "Siap Mbak," jawab Neneng.Aku beranjak dari meja kasir, berjalan ke dalam. Membuka rantang, menikmati menu makan siang yang aku siapkan dari rumah. Sambil makan aku masih meikirkan kejadian semalam. Aku tak menyangka jika kakakku bisa berubah saampai seperti itu. Tak sadarkah ia, harta hanyalah titipan. Jiak sewaktu-waktu tuhan berk
Baca selengkapnya
32. Kabar tentang Zalia.
Pov. Yudha"Yudha ... bangun! Dasar pemalas!" teriak ibuku memekakkan telinga. Aku yang sedang bergulung di dalam selimut, tak memperdulikan teriakan sumbangannya itu.Byurr!"Banjir!" teriakku tercekat saat merasakan dingin mengguyur wajah serta kepalaku. Seketika aku terbangun, memandang ke arah ibu yang menatapku marah dengan ember kosong di tangannya."Bangun pemalas! Apa kamu nggak lihat hari sudah siang!" teriak Ibu. Aku mengusap wajahku yang basah. "Iya ... ini Yudha sudah bangun. Bangunin anak nggak ada manis-manisnya sih, Bu. Udah seperti Ibu tiri aja," gerutuku. Namun bukannya kasihan, Ibu justru menjewer telingaku. "Aduh Bu ... aduh, sakit," aku meringis. Ibu melepas tangannya dari telingaku. Ku usap daun telingaku yang pasti memerah. "Sakit? Kalau tahu sakit, makanya bangun! Cepat kamu bangun, lalu pergi cari kerja sana!" perintah Ibu. Ibu menghentakkan kakinya dan pergi keluar meninggalkanku yang basah kuyup di atas kasur. Untung saja seprai yang kugunakan adalah sep
Baca selengkapnya
33. Rencana menjemput Zalia.
"Mukamu kenapa, Yud? Asem banget seperti jeruk purut gitu," ledek Anton padaku. Aku meliriknya tajam. Sekarang aku duduk di pos kamling yang berada di dekat lapangan di ujung gang. Duduk bersila sambil menikmati sepiring siomay. Untung saja di saku celanaku ada uang sepuluh ribu, sisa membeli rokok kemaren.Walau tidak bisa membuatku kenyang, tapi setidaknya mampu mengganjal rasa laparku untuk sementara waktu. Membuat pikiranku kembali jernih."Kesal aku," jawabku singkat. Aku mengarahkan suapan terakhir ke mulutku. Lalu menyerahkan piring kosong yang bersih hingga tetes terakhir pada penjual siomay, kemudian meminum air putih di gelas itu hingga habis. Kenyang yang aku rasa nanggung, tapi apa boleh buat. Seberapa nian porsi sepuluh ribu. "Kesal kenapa?" tanya Anton kembali. Sedangkan Udin justru asik main game online di ponsel pintarnya. "Bagi rokok, Ton. Kecut mulutku habis makan, nggak ngerokok." Pintaku. Namun lebih tepatnya menodong. Tanpa ia kasih pun bakal aku rampas dari ta
Baca selengkapnya
34. Meminjam BPKB.
"Yang benar kamu, Yud? Nanti temanmu itu cuma bohong saja padamu," ujar Ibu seakan tak percaya. Sore hari aku duduk bersama Ibu dan Mbak Intan di ruang tamu. Aku menceritakan semua yang aku dengar dari teman-temanku tentang Zalia. Ibu dan Mbak Intan terlihat begitu terkejut."Benar, Bu. Nggak mungkin Anton berbohong padaku. Apalagi mertuanya kan tinggal satu kampung dengan mertuaku. Tentu dia tahu pasti tentang Zalia," jawabku. Aku menghidupkan sebatang rokok, menghisapnya dalam dan menghembuskan asap itu hingga mengepul."Wah ... kalau Zalia punya toko sembako besar, berarti sekarang ia sudah punya banyak duit dong. Lumayan itu, Yud. Jika kamu dan dia balikan. Hitung-hitung ada tempat kita untuk meminta uang," sahut Mbak Intan. Aku mengangguk setuju, toh ... selama ini juga Zalia patuh dengan apa yang kami pinta."Jadi rencana kamu sekarang apa?" tanya Ibu. Aku menyipitkan mataku pada satu titik, memutar otak memikirkan cara apa yang pas, untuk alasan aku bisa datang ke sana. Namun m
Baca selengkapnya
35. Rencana Yudha.
"Yudha! Kamu meminjamnya lima juta sekalian. Yang tiga jutanya untuk Ibu dan Intan. Lagian nanti, Zalia juga yang akan membayarnya. Bukan kamu," pinta Ibu. Aku cuma bisa menggaruk pelipisku sambil nyengir kuda. Giliran uang saja cepat banget responsnya. "Tapi Bu, iya kalau Zalia mau membayarnya, kalau tidak?" sahut Mbak Intan. Ia seperti ragu dengan usul yang diberikan Ibu. Tentu saja ia khawatir karena yang menjadi taruhan adalah harta miliknya. Kalau aku mah ... bodoh amat. Ketebus syukur, nggak ketebus ya sudah. Lagi pula selama ini semua hutang ayang aku buat, Zalia yang melunasi. Mengingat kehidupanku yang dulu membuatku semakin tak sabar untuk menjemputnya kembali. Semenjak tak ada dirinya, hidupku luntang-lantung tak jelas. Makan tak teratur dan kebutuhan biologisku tak terpenuhi. Sebenarnya wanita banyak di luaran sana. Tapi uangnya yang tak ada. Mana mau wanita cantik dengan aku yang pengangguran ini. Walau wajahku masih masuk kategori tampan sebenarnya."Pasti mau! Lagi
Baca selengkapnya
36. Berkunjung rumah Paman.
"Iwan, tolong bantu Ibu nak. Tolong ambilkan mentega palm*a di gudang! Ajak Mas Budi, biar nggak berat mengangkatnya seorang diri!" pintaku pada bocah delapan tahun itu. Sebenarnya aku tak tega melihatnya di usia ini bekerja. Namun apa yang dapat aku perbuat. Iwan selain cekatan dia juga sangat rajin. Membuat semua yang ada di toko ini menyukainya. Begitu pun aku. Entah kenapa setiap melihat wajahnya, aku menjadi begitu sayang padanya. Ada kedekatan diantara kami yang tak dapat aku artikan."Siap Bu'de," jawab Iwan ceria. Aku memang memintanya memanggilku dengan sebutan bu'de. Biar berasa dekat saja.Drett! Drett! Drett!Getar ponsel di saku gamisku mengagetkanku. Aku merogoh saku dan melihat nama siapa yang muncul di layar. "Ibu, tumben jam segini menelpon. Apa ada sesuatu yang terjadi di rumah? Apa Alia membuat ulah lagi?" gumamku pada diri sendiri. Sebab tak biasanya meneleponku di jam segini. Jam sepuluh pagi.Aku menekan tombol hijau di layar. "Assalamualaikum, ada apa Bu?" "Za
Baca selengkapnya
37. Kedatangan Mas Yudha.
Sesampainya di rumah dan mengucap salam. Aku melihat Ibu duduk di hadapan Mas Yudha. Sedangkan Alia tak tampak diantara mereka. Mungkin saja gadis kecilku itu main di kamarnya bersama pembantu di rumah ini.Alia memang tidak pernah dekat dengan Mas Yudha. Salah Mas Yudha sendiri, ia tidak pernah menyayangi anaknya. Ia kerap membentak dan memarahi anaknya, jika mereka bersama.Melihat kedatangan Mas Yudha, hati ini sedikit terenyuh. Tubuhnya yang dulu berisi kini mulai kurus. Namun aku tahu betul bagaimana sifat Mas Yudha. Dia tidak mungkin datang menjemputmu jika tidak ada sesuatu yang ia inginkan dariku." Dek, apa kabar?" sapa Mas Yudha saat melihatku. Aku memilih duduk di samping Ibu. Sedangkan Paman duduk di kursi singgle, tentunya paman menolak bersalaman dengan Mas Yudha. Setiap melihat Mas Yudha paman seolah ingin menelannya hidup-hidup. Sebegitu bencinya paman pada lelaki yang pernah menjadi suamiku itu."Seperti yang kamu lihat, Mas. Sangat baik," jawabku dingin. Aku memang t
Baca selengkapnya
38. Suami bermuka dua.
"Loh ... memang kenyataannya seperti itu, kan, Dek. Kamu marah dan merajuk pulang kerumah Ibu. Karena Mas marah padamu. Karena kamu melalaikan tugasmu sebagai seorang istri! Menyiapkan makan dan kebutuhan suami itu adalah tugas istri, Dek!" kilah Mas Yudha cepat. Ibu dan paman terkejut.Sungguh sangat pintar lelaki ini memutar balikkan omongan. Ingin sekali aku bertepuk tangan, atas kepiawaiannya berekting. Jika ia seorang aktor mungkin sudah banyak piala Oscar yang ia dapatkan."Jika mengurus rumah, menyiapkan makan suami dan kebutuhan suami adalah kewajibanku. Lalu apa kewajibanmu sebagai suami, Mas? Makan, tidur dan bermain game! Apa kamu memberikan nafkah yang layak padaku? Tidakkan!" sungutku. Aku mulai terpancing emosi dengan apa yang Mas Yudha katakan. Selama ini aku selalu diam di depan keluargaku untuk menghindari keributan dan menjaga marwahnya sebagai suami. Tapi kali ini tidak lagi. Begitu entengnya ia membahas tentang kewajibanku. Padahal kewajibannya sebagai suami saja
Baca selengkapnya
39. Lelaki egois.
"Mas benar-benar tidak mengerti Zalia. Jika kamu masih mau di rumah ibumu, Mas mengerti. Mas akan menemani kamu di sini. Tapi Mas mohon kita kembali lagi seperti dulu. Menjadi keluarga yang utuh!" pinta Mas Yudha. Mencoba merayu. Mencoba mengambil simpati Ibu dan paman Ja'far."Tidak Mas. Aku sudah tak sanggup lagi hidup bersamamu. Aku sudah lelah dengan pernikahan ini, hatiku sakit, Mas." balasku. Karena memang begitu lah kenyataannya. Aku sudah tak ada gairah lagi untuk melanjutkan pernikahan kami."Tidak sayang. Mas Janji, Mas akan berubah. Mas akan giat bekerja untuk kamu dan Alia. Beri Mas Kesempatan untuk berubah! Mas Mohon!" ucapnya berusaha meyakinkanku. Namun sayang, hatiku ini sudah dingin. Mati rasa."Maaf Mas. Aku sudah tak sanggup lagi. Rasa ini juga sudah tak ada lagi untukmu, tertutup rapat oleh rasa sakit yang kamu ciptakan untukku." Aku melihat raut wajah Mas Yudha gelisah. Keringat dingin muncul di pelipisnya. Sepertinya ada yang menjadi beban berat untuknya. Apa se
Baca selengkapnya
40. Kenapa dia tidak pergi.
"Jika begini kenyataannya. Kenapa Mbak meminta anak itu untuk istirahat di kamar? Bagaimana jika dia berniat jahat pada Zalia?" ujar paman Ja'far khawatir. Kami kini berpindah ke teras samping mengobrol secara enam mata. Aku menceritakan pada paman semua yang telah Mas Yudha lakukan padaku, yang selama ini tidak pernah aku ceritakan. Dulu aku memilih memendamnya sendiri, dengan harapan suamiku mau berubah. Tapi nyatanya justru semakin menjadi."Mbak harus bagaimana Ja'far. Kamu lihat sendiri bagaimana sikap Yudha tadi. Ia merengek seperti anak kecil. Mbak tak mungkin mengusir anak orang begitu saja. Walau bagaimanapun ia pernah menjadi bagian dari keluarga kita!" jawab Ibu. Ibu memang wanita lembut dan berbelas kasih. Ibu orangnya memang gak enakkan. Beliau juga jarang marah apa lagi membentak. Aku memijat pelipisku yang terasa sakit. Memikirkan apa yang akan kulakukan selanjutnya. Aku menyesal mengulur-ngulur waktu perceraian kami. Hingga ini lah akibatnya."Jadi menurut paman bag
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
16
DMCA.com Protection Status