All Chapters of Batas kesabaran seorang istri!: Chapter 21 - Chapter 30
153 Chapters
21. Amarah Zahra.
Mbak Zahra tersenyum mengejek. "Kamu memang wanita berwajah tebal, makanya tak tahu malu kalau orang-orang tahu jika kamu itu anak durhaka. Saat orang tua sakit jangankan merawat datang saja tidak, sekarang malah minta modal untuk buka toko! Sudah berapa banyak uang Ibu yang kamu habiskan untuk modal tokomu ini, hah!" bentak Mbak Zahra. "Jangan berkata sembarangan Mbak! Jika ucapan itu tidak benar, maka akan jadi fitnah!" sentakku. Aku tentu tak mau diam saja."Fitnah apa? Memang itu kenyataannya kan, kamu membuka toko ini dengan tabungan Ibuku!" sungut Mbak Zahra kembali. Sepertinya ia sengaja meninggikan intonasi suaranya agar orang-orang bisa mendengarnya. Aku mengerti sekarang, apa tujuan ia ke sini. Ia hanya ingin mempermalukan aku."Benar atau tidak benar, kamu tidak patut mengungkitnya di depan orang banyak seperti ini, Mbak! Walau bagaimanapun kita adalah saudara. Selesaikan semua ini secara baik-baik tanpa di dengar orang lain." tegurku. Tapi tampaknya Mbak Zahra tidak terim
Read more
22. Kisah 8 tahun silam.
FlashbackHujan rintik-rintik jatuh membasahi bumi, aku turun dari taksi lalu berjalan tergepoh-gepoh menyusuri gang kecil yang terdapat banyak bedengan, dengan cepat aku berjalan ke pintu bedengan nomor empat dari gerbang.Di sekitar sini banyak kontrakan serta kost-kosan. Baik kost putri ataupun putra. Karena letaknya memang strategi, tidak jauh dari universitas juga tidak terlalu dekat.Tampilanku saat ini mungkin sudah seperti orang gila. Aku yang sedang tidur nyenyak harus terbangun dan terburu-buru ke sini, saat mendapatkan kabar dari Mbak Zahra beberapa jam yang lalu. Siapa yang tidak panik, saat Mbak ku menelepon dengan suara meringis menahan sakit, tapi saat di tanya dia kenapa? Ia justru tidak menjawab. Hanya mengatakan 'datang ke sini cepat, aku butuh bantuanmu! Jangan sampai Ayah dan Ibu tahu!'Untung saja, tadi pagi Ibu pergi ke Bandung, menjaga eyang putri yang sedang sakit keras dan dirawat di rumah sakit. Sedangkan Ayah, selama sebulan ini telah pergi tugas di luar kot
Read more
23. Kisah masa lalu.
Kenapa bengong Zalia? Cepat bantu Mbak turun!" sentaknya padaku membuat aku tersadar."Ahh ... iya, Mbak. Maaf!" Aku bergerak dari dudukku dan langsung keluar dari dalam mobil. Memutari mobil dari belakang menuju pintu satu lagi, pintu dimana Mbak Zahra duduk. Baru saja aku membuka pintu mobil, aku langsung mencium aroma yang begitu asing menyeruak di hidungku, mataku menyipit melihat celana kain yang di gunakan mbak Zahra basah. Aku yang menghalangi cahaya lampu menggeser tubuhku sedikit, betapa terkejutnya aku melihat adanya genangan air di bawah kaki Mbak Zahra.Dengan mata yang melebar sempurna, aku kembali menatap ke arah perut Mbak Zahra. Berbagai spekulasi muncul di kepalaku."Cepat Zalia! Mbak sudah tak tahan lagi, apa kamu mau membunuh, Mbak!" bentaknya lagi padaku. Tak terhitung sudah berapa kali ia membentakku malam ini.Dengan hati-hati aku membantu Mbak Zahra keluar dari dalam mobil, membiarkan mobil itu pergi meninggalkan kami. Aku menarik napas panjang, udara pagi yang
Read more
24. Kisah masa lalu 2.
"Tarik napas lagi, lalu hembuskan ... sedikit lagi! Dorong lagi," ujar wanita tua itu. Melihat dari caranya menangani. Sepertinya ia seorang dukun beranak. Hatiku mulai bertanya-tanya, dimana Mbak Zahra menemukan tempat terpencil ini."Sakit, Mbah!" teriak Mbak Zahra. Ia merintih dan menjerit, kedua tangannya menarik ujung kasur di sisi kiri dan kanannya dengan erat. Peluh serta air mata bercucuran menjadi satu.Aku tak tahu harus mengatakan apa, aku hanya bisa berdiri tegak sambil melihat ke arah wanita tua itu dengan takut. Seumur hidupku, baru kali ini aku menghadapi prosesi melahirkan secara langsung."Ayo! Dikit lagi! Itu kepalanya sudah nampak!" ujar Wanita tua itu lagi. Mbak Zahra kembali mengejan, mengikuti perintah sang dukun beranak."Arhkkkk ...,"Oek ... Oek ... Oek ...Suara bayi menggema begitu nyaring di kamar ini, kamar yang kata Nenek tua itu bilang kedap suara. Bersamaan dengan bayi itu lahir, aku terjerembab ke lantai. Kakiku seolah tak kuat menopang tubuhku. Air ma
Read more
25. Ibu yang kejam.
Kamu seperti wanita berhati iblis di mataku, kamu tidak seperti Mbak Zahra yang aku kenal! Aku tidak akan memberikan bayi ini pada kalian, jika kalian memaksa. Maka aku akan mati di sini bersama bayi ini, biar Ayah nanti mengusut kematianku dan menemukan kebenaran akan semua ini!" ancamku. Pria itu dan Mbah Dami terkejut dan terdiam, sedangkan Mbah Zahra wajahnya tampak ketakutan."Se-sekarang a-apa maumu, Zalia? Apa kamu mau kedua orang tua kita tahu, dan membuat a-ayah membunuhku?" ujar Mbah Zahra terbata dengan nada suara yang bergetar. Aku menutup mataku sejenak, bulir-bulir air mata kembali jatuh di pipiku. Membuka mataku, menatap wajah kecil yang begitu sembab. Suara kecilnya yang begitu nyaring kini sudah perlahan mereda. Tampaknya bayi ini sudah mulai kelelahan menangis. Bibir kecil itu mengemut punggung tangannya sendiri dengan lahap. Sengguh terenyuh hatiku melihatnya.Aku kembali menarik napas lelah sebelum kembali berucap pada Mbak Zahra.Kamu seperti wanita berhati iblis
Read more
26. Rasa kesal Zahra pada Zalia.
Pov. Zahra"Kurang ajar Zalia. Berani-beraninya ia mengancamku dengan kejadian delapan tahun yang lalu. Sialan!" gerutuku.Aku mengemudikan mobil membelah keramaian, menuju ke rumah dengan rasa jengkel. Aku tak berhenti mengumpat dan memaki Zalia di dalam hati. Setelah sekian lama, baru kali ini wanita itu mengeluarkan kelemahanku. Mengingatkanku kembali, akan aib yang kututupi selama bertahun-tahun. Dari dulu, ya ... dari dulu aku memang tak pernah menyukai Zalia. Walau kami terlahir dari Ibu dan Bapak yang sama. Aku tidak pernah menganggapnya sebagai adikku. Usiaku terpaut tiga tahun lebih tua darinya.Aku membenci perempuan itu, rasa benciku padanya mulai tumbuh saat ia mulai masuk taman kanak-kanak. Semua perhatian tertuju padanya. Ditambah semenjak Ibu yang sibuk mengelola toko serta Ayah yang sering dinas di luar kota. Membuat hari-hari kami lebih banyak pada pengasuh. Mbak Nana nama pengasuh kami itu. Saat itu umur Mbak Nana sekitar dua puluh tiga tahun, saat sudah menikah p
Read more
27. Siapa anak itu.
Jam dinding menunjukkan pukul tiga sore, udara yang panas membuat komplek perumahan ini menjadi sepi. Mereka mungkin lebih memilih berdiam diri di dalam rumah dari pada beraktifitas di luaran.Para penghuni komplek ini kebanyakan adalah para pegawai dan pejabat. Komplek perumahan ini bukan lah komplek perumahan bersubsidi. Melainkan tanah kaplingan yang di jual secara cast, lalu di bangun sendiri oleh para pembeli. Sedangkan rumahku berdiri di atas dua kapling tanah, sehingga ukuran tanah rumahku lebih besar dari pada ukuran tanah yang lain."Assalamualaikum," ujar Mas Hadi suamiku. "Waalaikum salam," jawabku. Aku yang duduk di sofa yang berada di depan tv. Mengerutkan dahi menatapnya bingung. Tidak biasanya suamiku ini pulang lebih awal."Mas kok, sudah pulang? Toko siapa yang jaga?" tanyaku."Hari ini Mas capek banget, dek. Jadi toko Mas tutup cepat," jawabnya. Mas Hadi membanting tubuhnya yang penuh peluh di sebelahku. Aku langsung menggeser tubuhku, menjauh darinya. "Jorok bang
Read more
28. Kekikiran Zahra.
Aku tersenyum melihat pembukuan di komputer yang ada di toko. Grafiknya menunjukkan peningkatan penjualan dalam bulan ini, itu artinya omset yang di dapat juga semakin banyak.Namun aku juga kesal, mengingat Zahra juga membuka toko di dekat pasar ini. Tadi aku sengaja lewat di depan tokonya, saat datang ke sini. Toko sembakonya tampak begitu ramai dan mulai berkembang.Aku tak suka melihat keadaan ekonominya semakin membaik. Di tengah rasa jengkelku. Aku melihat Mas Hadi mendekatiku dengan wajah yang sedikit masam. Membuatku bertambah jengkel saja. Pasalnya aku tahu betul apa yang membuat wajahnya berubah seperti itu."Zahra! Aku ingin bicara sebentar," ucapnya. "Kalau mau bicara hal pribadi di rumah saja, Mas. Di toko masih banyak orang!" jawabku. Aku mengunci laci, ikut membaur ke arah pembeli. Membantu karyawanku melayani pembeli hanya untuk menghindari Mas Hadi."Mbak Zahra, pesanan saya kemaren sudah masuk?" tanya wanita berkerudung tosca."Eh ... Mbak Widya. Sudah Mbak, tapi m
Read more
29. Meledaknya amarah Hadi.
"Aku memang menyetujui untuk membiayai Ibumu, tapi tidak dengan adikmu. Lagi pula aku juga tahu kamu sering mengirim ibu dan adikmu lebih dari yang aku jatah untuk mereka, iya, kan! Kamu bilang sama ibu dan adikmu itu, Mas. Jadi orang sadar diri, jangan nyusahin, karena kamu itu cuma pengangguran! Aku gak mau uang yang aku hasilkan dengan susah payah, justru di pakai ibu dan adikmu untuk senang-senang saja!" Jawabku dengan nada yang lantang.Mas Hadi berdiri di hadapanku, wajahnya terlihat sangat marah. Baru kali ini aku melihat Mas Hadi semarah ini padaku. Aku yakin, ibu dan adiknya pasti mengadu hal yang buruk-buruk tentangku."Kamu tahu, ibuku sekarang sedang sakit Zahra! Beliau membutuhkan uang untuk berobat, tapi kamu justru memangkas jatahnya!" bentak Mas Hadi tak kalah lantang. "Aku memutuskan memotong anggaran jatah bulanan Ibumu. Karena baru seminggu yang lalu aku melihat di instastory Afifah, ia pergi nongkrong dengan teman-temannya. Nongkrong di kafe. Enak sekali dia. Aku
Read more
30. Kedatangan Hadi meminjam uang.
"Assalamualaikum," sapa seseorang saat baru saja tokoku dibuka. "Waalaikum salam," jawabku. Aku yang berada di balik kasir langsung menghampiri. Mungkin saja itu adalah pelanggan pertamaku. Karena dua orang karyawanku sedang di gudang mengambil stok yang akan di pajang di rak. "Loh ... Mas Hadi. Tumben pagi-pagi begini mampir? Mbak Zahra mana, Mas?" tanyaku. Dahiku berkerut melihat Abang iparku datang ke toko. Tak seperti biasanya."Mbakmu nggak ikut, Za. Mas ada perlu denganmu sedikit, boleh Mas ganggu waktumu sebentar, Za?" tanya Mas Hadi ragu. "Boleh Mas, Silahkan masuk Mas!" aku mempersilahkan kakak Iparku masuk, untuk menghindari fitnah, aku mengajaknya duduk di dekat kasir. Lagi pula toko juga masih sepi, jadi menurutku tak masalah, walau ada hal yang penting sekalipun, orang juga nggak akan dengar."Zalia, hmm ... sebenarnya begini. Hmm ... Mas bingung harus memulainya dari mana," ucap Mas Hadi. Aku melipat dahiku kembali, ucapan Mas Hadi terdengar berbelit-belit. Sebenarnya
Read more
PREV
123456
...
16
DMCA.com Protection Status