All Chapters of Batas kesabaran seorang istri!: Chapter 51 - Chapter 60
153 Chapters
51. Terbebas dari penyakit kiriman.
"Lalu, bagaimana orang yang mengirimkan penyakit pada putriku, Pak? Apa dia akan sadar?" tanya Nenek Alia. Pak Imam menoleh, lalu tersenyum tipis pada Nenek Zalia."Siapa yang menabur, maka dia yang menuai. Ia akan memanen apa yang telah ia tanam!" jawabnya terdengar bijak. Tapi cukup mengerikan di telingaku.Guna-guna adalah ilmu hitam atau ilmu sihir yang begitu di benci oleh Allah. Itu sebabnya praktek ilmu sihir itu di larang oleh agama. Tapi masih banyak sebagian orang yang mengunakannya, hanya untuk melancarkan niat jahatnya pada orang lain. Pada dasarnya, sekecil apapun kejahatan. Maka akan berbalik pada pelaku itu sendiri. 🌼🌼Pov. ZaliaDua minggu telah berlalu dari kejadian mengerikan itu. Kejadian yang aku sendiri tak ingat apa yang terjadi padaku. Waktu itu, saat aku sadar. Aku hanya merasakan tubuhku lemas tak berdaya. Telinga dan pelipisku perih dengan luka bekas cakaran. Bik Inem bilang, itu luka bekas cakaran tanganku sendiri. Bahkan tidak sampai di situ saja kean
Read more
52. Siapa Iwan sebenarnya?
Aku datang ke toko sedikit terlambat, satu jam setelah toko buka. Tapi sepanjang penglihatanku. Semuanya aman terkendali. Memang mereka semua patut kuandalkan. Nanti pas gajian, tak ada salahnya aku memberikan bonus pada meraka. Anggap sebagai bentuk apresiasiku atas apa yang mereka lakukan saat aku sedang sakit."Oh ... ya, Iwan mana?" tanyaku. Aku memindai setiap sudut toko, tapi tak kutemui batang hidung bocah itu."Tadi ada Mbak. Mungkin dia ke gudang ngambil stok barang, mungkin?" jawab Neneng. Dan benar saja. Tak lama aku bertanya, sosok Iwan muncul dari balik pintu sambil mengangkat sekotak kardus minyak milomi isi jerigen 5L. "Pagi Bu Zalia. Bagaimana keadaannya, Bu. Sehat?" sapanya ramah. Iwan meletakkan kedua yang ia pegang ke lantai. Lalu mendekat ke arahku untuk memberi salam. Sungguh sopan sekali."Alhamdulilah sehat. Terima kasih atas bantuannya, ya, Wan! Berkat kamu saya bisa sembuh," ujarku. "Ahh ... Bu Zalia berlebihan. Saya nggak berbuat apa-apa, kok. Saya mah ...
Read more
53. Tabir masa lalu.
Aku duduk terpaku di sudut ranjang. Suasana yang sepi karena malam yang kian larut, membuat bunyi detik jarum jam dinding yang berputar, terdengar dengan jelas.Jarum pendek menunjuk ke angka satu malam. Namun tak sedikitpun, mataku ingin terpejam. Aku gelisah dengan ketakutan yang menggelayuti hatiku. Atas kejadian yang terjadi tadi sore.Flashback.Aku duduk gelisah di hadapan Iwan, sejak ia mengatakan tentang panti asuhan tadi. Entah kenapa, ingatanku selalu terbayang kejadian itu. Aku menatap Ibu yang tampak bahagia berbicara dengan Iwan. Iwan pun demikian. "Bunda! Nenek!" teriak Alia yang baru datang menghampiri kami. Tampaknya putri kecilku ini, baru saja bangun tidur.Alia duduk di pangkuan Ibu. Menatap ke arah Iwan dengan tatapan bingung. Karena ia baru pertama kali bertemu Iwan. Makanya Alia tampak asing."Halo adik manis. Kenalkan nama Abang, Iwan!" sapa Iwan. Namun namanya Alia masih kecil, bukannya membalas justru menoleh ke arah Ibu dan memeluk tubuh neneknya erat.Iwan
Read more
54. Kenyataan yang terungkap.
"Ada apa denganmu, Zalia? Ibu perhatikan kamu tampak aneh sejak kemarin sore. Saat kamu memeluk Iwan sambil menangis. Kamu juga belum memberi penjelasan pada Ibu tentang itu, Nduk?" cerca Ibu. Hari masih pagi, tapi Ibu sudah memberondongku dengan banyaknya pertanyaan. Bahkan aku sendiri masih bingung bagaimana menjelaskannya.Aku tidak mungkin langsung bilang begitu saja pada Ibu, jika Iwan adalah cucu pertamanya. Anak yang dilahirkan Mbak Zahra, delapan tahun yang lalu. Membuka aib yang di tutup rapat-rapat oleh Mbak Zahra hingga mati."Zalia tidak apa-apa, Bu. Oh ya Bu, sarapan yang Zalia pesan untuk di bungkus mana?" "Ini, sudah Ibu siapkan! Tumben kamu minta dibungkuskan sarapan? Apa lagi kamu sudah sarapan di rumah. Untuk siapa itu, Zal?" tanya Ibu kembali. Matanya menyipit memperhatikanku tajam. Menyelidik.Aku yang di tatap seperti itu pada Ibu menjadi gugup. Kalau tahu seperti ini. Seharusnya aku beli saja di luar."Bukan untuk siapa-siapa kok, Bu. Akhir-akhir ini, asam lamb
Read more
55. Kondisi yang memprihatinkan.
Mbak Zahra begitu memanjakan kedua anak yang ada dalam dekapannya. Memberikan semua yang terbaik, walau pun terkadang terkesan berlebihan. Sedangkan putra pertamanya hidup menderita di rumah ini. Bekerja membanting tulang hanya demi bertahan hidup."Iwan mana, Bu?" tanyaku. Aku memberanikan diri bertanya, karena sedari tadi aku tak melihat batang hidung anak itu."Iwan sedang di belakang, Bu. Menimba air. Maklum Bu, rumah ini tak memiliki kamar mandi, jadi harus mandi di sungai. Sedangkan saya yang sakit-sakitan tak mampu untuk ke sungai," jelas Ibu Iwan."Apa? Sungai?" "Ia sungai, Bu. Ada di belakang rumah Ini." jawabnya. Air mataku kembali berembun. Sesak rasa hatiku melihat kondisinya yang harus hidup di tempat seperti ini.Bertanya juga percuma, karena alasannya pun aku sudah mengetahuinya. Uang!. Namun, aku tak sanggup melihat keponakanku hidup di tempat seperti ini. Aku harus membawa mereka pindah dari sini."Ehh ... ada tamu. Bu Zalia, kok, bisa ada di sini, Bu?" Iwan masuk k
Read more
56. Memperjuangkan masa depan Iwan.
Setelah dari rumah Iwan, aku mengajak Iwan untuk berangkat ke toko bareng bersamaku. Sepanjang jalan bocah ini berceloteh banyak hal. Layaknya anak kecil seusianya. Sebenarnya Iwan adalah tipikal anak yang ceria. Namun karena beban hidup yang di hadapi saat usianya masih terlalu dini, membuat ia menjadi bocah yang sulit berbaur. Di toko saja ia lebih banyak berkutat dengan gudang dan stok barang. Iwan tampak jarang ingin melayani para pelanggan. Jika ada pelanggan yang belanja, bocah itu lebih sering meminta Neneng atau yoga untuk melayani. Ciiiit!Rem mobil yang ku injak secara mendadak membuatku dan Iwan sedikit terdorong kedepan. Semua ini karena mobil yang ada di depanku mengerem mendadak. Untung saja jarak kendaraan kami tidak terlalu dekat. Sehingga aku masih bisa mengontrol laju mobilku dan mengeremnya. Jika tidak? Mungkin sudah terjadi kecelakaan beruntun saat ini."Hoyyy ... orang gila! Kalau mau mati jangan di jalanan dong! Bikin susah orang saja!" maki pengendara mobil
Read more
57. Memberitahukan kebenaran tentang Iwan.
"Kenapa kamu tiba-tiba membahas masalah Itu Zalia?!" ujar Mbak Zahra dengan mata yang menatapku tajam. Setiba di toko Mbak Zahra. Aku memintanya berbicara empat mata. Penting! Lalu ia menyeretku ke bagian gudang atap toko.Aku belum menceritakan sampai di bagian kalau Iwan adalah anaknya. Aku baru menyinggung tentang kabar keberadaan anak itu saja, mata Mbak Zahra sudah memerah tajam. Sepertinya dia tak ingin lagi mengungkit kejadian delapan tahun silam itu. "Tapi Mbak. Bagaimana jika anak itu ada di sini? Apa Mbak tidak merindukannya?" "Jangan pernah kamu membahas semua itu lagi, Zalia! Bagaimana jika Mas Hadi tahu akan hal ini? Apa kamu mau menghancurkan rumah tangga Mbak! Oh ... atau jangan-jangan kamu iri dengan hidupku. Makanya kamu sengaja mengungkitnya, agar rumah tanggaku hancur seperti rumah tanggamu kini! iya, kan?" tuduhnya padaku. Berulang kali aku beristighfar di dalam hati. Sungguh sempit sekali pikirannya. "Kok jadi fitnah aku yang nggak-nggak sih, Mbak? Aku sedang
Read more
58. Penolakan Zahra.
Sepanjang yang aku ketahui, kasih sayang seorang ibu adalah kasih sayang yang tak bertepi dan tiada batas. Dulu aku tak pernah mengerti akan makna itu. Aku menganggap semua itu hanya kata kiasan saja. Namun setelah memiliki Alia, aku paham makna kasih sayang tulus tak bertepi dan tiada batas itu seperti apa.Seorang Ibu akan melakukan apa saja untuk kebahagian anaknya. Mereka sanggup mengorbankan nyawa demi hidup anaknya. Namun, apa yang ada di hadapanku ini justru membuatku ingin meringis pilu. Masih pantaskah Mbak Zahra di sebut sebagai seorang Ibu? Jika dengan tangannya sendiri, ia sanggup membayar orang untuk melenyapkan anaknya sendiri.Aku mengurut kepalaku yang terasa pusing. Sepulang dari tempat Mbak Zahra. Aku memutuskan pulang ke rumah. Menenangkan hati dan pikiranku. Kepalaku rasanya penuh dengan banyaknya masalah yang tak mampu aku pecahkan."Ada apa Zalia? Kenapa wajahmu sepertinya suntuk sekali, Nduk? Apa ada masalah?" tanya Ibu yang tiba-tiba menghampiriku. Beliau meng
Read more
59. Menagih hutang.
Mbak Intan menenggak es teh yang di buat Bik Ijah hingga tandas. Lalu meletakkan kembali gelas itu di atas meja. Sepertinya setelah berteriak dan bertegang urat denganku tadi membuat tenggorokannya kering. Aku sengaja meminta Buk Ijah untuk membuatkan minuman berupa es agar asap di kepala Mbak Intan bisa padam. Setidaknya dinginnya air es dapat meredakan hati kami yang sedang kusut.Terkadang aku berpikir, kapan hidupku bisa tengang. Belum lepas dari satu masalah. Kini sudah muncul masalah baru."Sekarang jelaskan. Kenapa kamu mencari Yudha di sini? Apa Yudha tak memberikan kabar pada keluarganya selama sebulan terakhir ini?" tanya Ibu. Ibu memang orang baik, walau Mbak Intan sudah tak sopan. Tapi Ibu tetap menyikapinya dengan sabar.Mbak Intan menggelengkan kepala. "Sebulan yang lalu Yudha hanya pamit pada kami untuk menjemput Zalia. Ia hanya memberi kabar satu kali, ia bilang bahwa ia akan rujuk kembali dengan Zalia. Setelah itu hingga kini, ponselnya tak dapat di hubungi kembali."
Read more
60. Pulang dengan tangan kosong.
"Benar apa yang dikatakan Zalia. Yudha yang berbuat, maka Yudha yang harus bertanggung jawab. Sudah cukup selama ini kalian mendzolimi putriku!" timpal Ibu semakin membuat raut wajah Mbak Intan tak suka.Mbak Intan berdiri dari duduknya, membuatku ikut berdiri. "Justru karena kami tak dapat menemui Yudha, makanya aku memintanya padamu. Walau bagaimanapun kamu masih istrinya. Kamu wajib membayar hutang suamimu itu. Pokoknya kamu harus tanggung jawab!" desaknya. Semakin membuatku terpancing emosi."Peraturan dari mana itu, hah? Memangnya selama ini adik kesayanganmu itu memberikan nafkah padaku. Dan satu lagi, aku tegaskan padamu Mbak! Sampai kapan pun, aku tak akan membayar hutang-hutang Mas Yudha. Kamu cari saja adikmu itu sampai dapat!" murkaku. Aku menatap tak kalah menantang. Menjalar rasa panas di hatiku sampai ke ubun-ubun."Kamu ..." "Silahkan kamu pergi dari rumahku, Mbak! Pintu keluar ada di sana!" potongku. Aku tak mau lagi mendengar omong kosong dari mulutnya. "Nggak! Aku
Read more
PREV
1
...
45678
...
16
DMCA.com Protection Status