Semua Bab Hadiah Madu Untuk Suamiku: Bab 21 - Bab 30
90 Bab
Bab 21: Pesan serius istriku
Tiba-tiba ia teringat, malam ini akan ada pertemuan untuk membahas keuangan dengan Naya. ‘hampir saja terlupa’ gumamnya. Ia langsung beranjak dan langsung melanjutkan perjalanannya. *** [Maafkan aku Sayang, aku tidak bermaksud untuk mengabaikanmu. Karena rapat siang tadi sungguh menyita waktuku, aku tidak bisa mengabarkanmu] balas Jiddan saat dirinya sudah bersantai dalam senggang waktu sebelum bertemu Naya. Pesan yang ia kirim masih belum berwarna biru, melihat angka jam di ponsel, langsung memperkirakan bahwa istrinya pasti sudah tertidur. Perbedaan waktu yang cukup jauh, membuat ke duanya sulit untuk berkomunikasi, belum lagi harus terpotong karena kesibukannya masing-masing. [Sudah tidur ya? Selamat beristirahat bidadariku, mimpi yang indah. Besok pagi aku ingin melihat senyuman manis di wajahmu] pesan itu di lengkapi dengan emoticon peluk. “Bagaimana rapat tadi Nang? Apa sudah mendapat solusi?” tanya umi Ruqoyyah yang menghampiri Jiddan, ikut bersantai di atas sofa. “Mere
Baca selengkapnya
Bab 22: Bertemu Kyai Nur
Setelah membaca pesan mengejutkan dari sang istri, Jiddan dengan sigap menekan tombol hijau menghubungi sang istri.“Ada apa denganmu bidadariku, bukankah aku menunggu senyumanmu ketika kamu terbangun?” selidiknya saat Inda sudah menerima panggilannya setelah beberapa kali hanya berdering.“Aku...” kalimat Inda terhenti, terdengar isakan tangis dari seberang saluran sana.“Sayang, kenapa begini? Jangan menangis bidadariku. Ceritalah apa yang kau rasakan saat ini?” rayu Jiddan tak kuasa mendengar isakan itu.***Kebiasaan Inda sebelum tidur adalah menuliskan rentetan kegiatan yang akan ia lakukan untuk esok, mengurutkannya dari mulai bangun tidur hingga menjelang tidur kembali, seperfecsionis itulah seorang istri kyai muda, wanita ambisius nan pintar memanfaatkan waktu.Wanita ayu berjalan kemudian melihat sebuah biola di dalam lemari yang terbuat dari kaca. Tampilannya amat menawan, jenis biola Jerman yang dimix dengan advenced Italian yang terukir mengikuti liukan indah badan biola.
Baca selengkapnya
Bab 23: Calon menantu
Jiddan melangkahkan kakinya memasuki pintu ruang pertemuan. Kali ini ia berpakaian layaknya seorang ustadz, memakai sarung corak berwarna biru tua beraksen putih, koko lengan panjang serta lengkap mengenakan peci dan sorban yang semua itu serba putih. Dengan gagah kharismatik, santai nan santun ia menyapa.“Assalamu’alaikum,” Jiddan mengatupkan tangan ke arah semuanya mengisyaratkan tidak bisa bersalaman satu persatu.“Wa’alaikumussalam,” semua menundukkan kepala memberi tanda hormat padanya.Di sana sudah ada umi Ruqoyyah dan Ust Hanan selaku pembimbing santri. Pun sudah berkumpul keluarga korban dan 3 santri pulang pergi yang terlibat pada perkelahian.“Silahkan wali santri Fikri apa yang ingin disampaikan,” ucap Jiddan mempersilahkan.“Saya ingin meminta pertanggung jawaban atas kelalaian pesantren dalam menjaga santri, bagaimana bisa pondok sebesar ini tidak diawasi oleh pengurus? Kemana saja pengurusnya?” ketus seorang bapak yang terlihat masih bugar, berbicara dengan lantang tan
Baca selengkapnya
Bab 24: memori terputar kembali
Beberapa kali mata indah melirik pada arloji yang menempel di tangan, sudah pukul empat sore. Jika bus tak kunjung datang ia akan segera melambaikan tangan menghentikan taxi. Terdengar suara candaan seseorang dari jarak sepuluh langkah dari halte, mengundang tatapan untuk segera menoleh ke arah sumber suara tersebut. Ya, wanita cantik dan seorang pria tampan terlihat berjalan bersamaan mendekati Inda.“Bisa minta waktunya sore ini?” tanya Zein tersenyum, begitu juga dengan wanita cantik di sampingnya.“Mau kemana?” tanyanya heran.“Kamu? Kalian?” tanya Inda lagi melirik pada Zein dan Sasa.“Ini Sasa, adik saya, anak baru juga sama seperti Sofia,” jelas Zein.“Oooh... ternyata kalian adik kakak, pantas saja tadi saat ngobrol terbersit mirip Zein,” ujar Inda tak menyangka. Mereka tertawa bersama.“Yuk?” ajak Zein.“Baiklah, tapi mau kemana?” tanyanya lagi sambil beranjak dari kursi semen panjang.“Ada deeeh,” goda Zein.Mereka menaiki taxi, melesak dengan cepat menuju ke suatu tempat y
Baca selengkapnya
Bab 25: Cincin di jari manis Inda
“Ma... Kami sedang bersama calon menantu Mama loh, mau kenalan tidak Ma?” Sasa mengabarkan mamanya lalu mengarahkan ponsel ke arah Inda.Inda yang semula tersenyum melihat tingkah mereka, kini sontak terkejut mendengar kata calon menantu yang barusan terlontar dari bibir Sasa. Ia mencoba menolak ponsel yang diarahkan padanya, namun wajah Inda terlanjur terlihat oleh mama Nadia.“Assalamu’alaikum Tante,” sapa Inda tersenyum simpul.“Wah ini ya calonnya Zein, cantik sekali Nak. Orang mana?” tanya mama Nadia semakin membuat Inda tidak enak hati untuk melanjutkan obrolannya.“Dari Banten Tante,” jawab Inda singkat, bingung harus berbasa-basi seperti apa.“Ooh pantesan ayu sekali,”“Terimakasih Tante,” ucapnya tersenyum lagi.Tak lama mengobrol dengan mama Nadia, ponsel Sasa ia kembalikan, berharap tidak ada drama lagi bersama mama mereka.Suasana hati Inda kian berubah drastis menjadi kecewa dan marah pada Zein, ia terdiam tanpa kata. Zein yang menangkap perubahan Inda setelah vidiocall b
Baca selengkapnya
Bab 26: Memblokir ingatan
“Kamu sangat kecewa padaku? Atau benci padaku? Aku sudah siap akan hal itu Zein. Mulai detik ini, aku harap kamu bisa dengan mudah melupakanku, sebagaimana kamu dengan mudahnya meninggalkanku saat itu,” ratap Inda memandangi Zein lamat-lamat, menerka setelah ini mungkin tidak akan ada lagi pertemuan dengannya.“Aku pamit!” kata terakhir Inda sebagai penutup pertemuan.Dengan gontai wanita anggun itu berjalan meninggalkan Zein yang masih membeku di sana, sesekali menyeka pipi yang sudah basah akibat butiran bening yang berderai tiada henti.“Ka Zein,” tegur Sasa yang telah sampai di samping sang kakak, dengan penuh kebingungan melihat Zein dan Inda berpisah di tengah perjalanan, ia mengayun-ayunkan tangan Zein agar cepat tersadar dari lamunannya.Matanya masih memandangi dengan pandangan begitu pilu pada wanita pujaan hati yang sudah jauh sendiri berjalan di depan sana.“Ayo pulang,” ajak Zein dengan berat melangkahkan kaki menerima kenyataan yang baru saja ia dengar.“Ada apa Ka? Kal
Baca selengkapnya
Bab 27: menyentuh jemari Naya
Satu minggu berlalu, masalah bersama keluarga Fikri, santri yang masih berada di rumah sakit, ternyata mengalami kerusakan pada tulang pipi karena terbentur dinding gedung, mengharuskan Jiddan berurusan dengan pihak hukum. Pengurusan berkas keberangkatannya ke Cairo pun, terpaksa harus pending hingga masalah pesantren selesai.Jiddan bersama Hanan juga pakde Khoirul, datang memenuhi panggilan kuasa hukum, dimana di sana turut hadir juga keluarga Fikri.“Keponakan saya sampai sekarang ini belum bisa keluar dari rumah sakit Pak,” keluh paman Fikri pada kuasa hukum yang duduk di hadapan mereka.“Saya minta keadilan pada bapak untuk pesantren Hidayah ini,” cecarnya.“Sabar Pak, silahkan duduk kembali,” seru hakim.Ruang sidang tertutup terasa panas karena suasana yang mencekam, pasalnya, keluarga santri tersebut telah menyeret Jiddan ke jalur hukum hingga semua menjadi rumit. Awalnya, mereka hanya meminta denda, namun entah apa maksudnya mereka menuntut Jiddan kembali dengan emosi yang ta
Baca selengkapnya
Bab 28: Pesan pada ketua putri
Jiddan tak mampu membuka mata, hingga umi datang membawa obat, ia masih terpejam, namun hati tetap terjaga. Dalam hati, hanya satu nama yang selalu ia pikirkan.‘’Indana Zulfa Helwatun, apakah kamu baik-baik saja?’ gumamnya dalam hati.“Nang, minum dulu obatnya yuk,” seru umi dengan lembut seraya menopang tubuh Jiddan untuk duduk, menumpuk bantal agar Jiddan bisa bersandar dengan nyaman.“Maafkan Umi dan Abi telah menyerahkan semua ini padamu Nang,” ucap lirih wanita paruh baya sambil memandangi putra sulungnya yang sedang meneguk obat.“Jiddan baik-baik saja Mi. Umi dan Abi sendiri yang telah mendidik Jiddan untuk mandiri dan bertanggung jawab. Sekaranglah saatnya Jiddan untuk mengamalkan apa yang Jiddan dapat,” kilah Jiddan.“Istirahatlah dulu ya Nang, Umi pamit ke kamar,” umi beranjak dari duduknya seraya mengusap lembut pipi putra sulungnya.***Pagi buta, Kana telah menyiapkan bubur ayam yang dipesan umi semalam untuk sarapan Jiddan. Ia letakkan bubur ayam yang siap antar di meja
Baca selengkapnya
Bab 29: Permintaan istri kyai muda
Mengirim pesan pada seorang ketua putri? Ada apa?.(Siang disana nanti saya minta waktunya ya? Terimakasih Naya) beberapa detik kemudian tanda hijau itu menghilang tanda offline pemiliknya.‘Apakah Ustadzah ingin bertanya keadaan pesantren? Atau...’ gumamnya sambil berpikir menerka dalam bayang.Teringat sesuatu, Naya beranjak menuju rumah pengasuh.“Mbak Kana, bagaimana kabar Pak Kyai? Apa baik-baik saja?” tanya Naya saat Kana sudah membukakan pintu untuknya.“Pak Kyai demam, sebaiknya beliau harus tenang dan fresh dulu, apa ada pertemuan lagi dengan pengurus?”“Hah? Sampai demam? Pak Kyai meminta saya untuk bertemu nanti malam sih, tapi kalau kondisi Pak Kyai masih belum sehat, mungkin ditunda lagi,” kaget Naya mendengar kabar sang kyai.“Saya kesini hanya ingin...”“Naya? Kenapa di depan gitu? Disuruh masuk dong Kan,” tiba-tiba umi muncul dari balik pintu, memutus obrolan Kana dan Naya.“Iya Umi. Ka silahkan masuk dulu Ka,” ajak Kana mempersilahkan.“Eh gak usah Mbak, saya disini s
Baca selengkapnya
Bab 30: Kabar pernikahan
Apa yang harus ia lakukan sekarang? Untuk langsung membalas, rasanya ia tidak siap.Sementara itu, pesan masuk dari nomor baru beberapa menit yang lalu telah muncul di baris atas.[Assalamu’alaikum Naya, simpan nomor saya ya? Akhirnya bisa mengirim pesan seperti ini, terimakasih Nay] isi pesan dari nomor baru itu.Kepala Naya terasa pening, mengapa sesuatu yang tidak masuk akal, terjadi dalam waktu bersamaan.Untuk saat ini, ia tidak membalas apapun untuk keduanya.***Hari beranjak sore, aktifitas santri sudah dimulai kembali hingga malam. Namun, rasa bimbang yang melanda sedari siang belum juga terusir dalam pikiran.[Maaf Ustadzah, Naya baru sempat membalas pesan Ustadzah][Sampai saat ini, Naya tidak tahu harus menjawab apa, apakah Ustadzah yakin dengan hal ini?] Naya memberanikan diri untuk membalas.Inda [ Semua sudah menjadi pertimbanganku Nay, ketika aku memutuskan pergi meninggalkan Mas Jiddan][Sekarang, apa kamu siap untuk itu Nay? Silahkan kamu pikirkan. Satu yang harus ka
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
9
DMCA.com Protection Status