All Chapters of Desahan Dikamar Tamu: Chapter 31 - Chapter 40
89 Chapters
Bab 31 Layani Aku Baru Kamu Bisa Pergi!
"San ... tadi Ibu sama Iren dari toko roti tempat kerja si Mila ...." ucap Ibu. Spontan aku menoleh padanya yang menggantung ucapan. Aku menatap Ibu dengan alis bertaut, menungggu sambungan dari ucapannya.Ibu melirikku sekilas lalu matanya beralih pada remote yang ada di atas meja. Ih ... lama banget sih Ibu ini! Bikin penasaran aja. Kalau reaksi Ibu sudah begini, pasti ada yang terjadi di sana tadi."Sebenarnya, tadi itu Ibu sama Iren cuma lewat aja di sana. Eh ... pas sampai di parkiran Ibu liat, si Mila itu masuk ke dalam mobil laki-laki yang kemarin itu lho. Jalan berdua, kasian Zulfa, ditinggal. Kayaknya, memang biasa sudah itu si Mila begitu. Pergi-pergi sama laki-laki, berdua."Darahku mendidih mendengar ucapan Ibu. Dalam hati seperti ada kecemburuan mendengar Mila pergi dengan laki-laki lain."Iya, Mas. Ih ... Mbak Mila itu ternyata nggak sebaik jilbabnya. Di depan kita aja sok alim, ternyata kalau di luar." Iren menggelengkan kepalanya seolah tidak percaya. Istri siriku itu
Read more
Bab 32 Noda Dalam Pernikahan
"Mau kemana, Kamu?" tanya Mas Hasan. Badannya tepat berdiri di depanku."Pergi," jawabku singkat. Dia mengelengkan kepalanya."Tidak! Kamu tidak bisa pergi dari rumah ini! Jika kamu nekat, aku akan mengambil Zulfa!" ancamnya. Aku tertawa dalam hati. Apa dia pikir bisa mengambil Zulfa dariku? Jangan bermimpi!"Lakukanlah, Mas! Tapi aku tidak akan membiarkanmu berhasil," ucapku ingin berlalu, tapi Mas Hasan mencekal tanganku, dan membawaku masuk kembali ke dalam kamar.Saat sampai di dalam kamar, dia mengunci pintu, lalu mengantongi kuncinya."Kamu mau apa, Mas?" tanyaku menatapnya tajam."Layani aku! Maka setelah itu baru kamu bisa pergi!" ucapnya yang membuat mataku melotot.Bukan tidak mau melayaninya, sebab itu memang kewajiban ku, tapi sejak tau hubungannya dengan Iren, rasanya tidak sudi untuk berbagi peluh dengannya lagi. Apalagi caranya meminta sekarang ini, sangat tidak beradab. Memintaku melayaninya sebagai tukaran kebebasanku. "Maaf, Mas. Aku tidak bisa. Buka pintunya dan bi
Read more
Bab 33 Muka Tembok
"Nggak apa-apa, Sayang. Sekalian kita cari angin." "Jalan kaki, Bun?" tanya Zulfa lagi seraya membulatkan mata kecilnya. Aku tersenyum melihat wajahnya yang polos. Lucu sekali."Ya nggak dong, Sayang. Masak jalan kaki. Kita pakai motor yang di samping itu." Zulfa menautkan kedua alisnya heran. Jelas putriku heran. Selama ini, Ibu selalu melarang aku memakai motor itu, padahal motor itu sama sekali tidak ada yang memakainya. Hanya sesekali saja Mas Hasan pakai, itupun hanya sekitar kompleks jika ada yang ingin ia beli. Pernah sekali aku mencoba untuk memakai motor itu dulu, ingin menjadikannya tranportasi dari rumah ke toko."Jangan pernah pakai motor itu. Jika kamu mau kerja, naik ojek aja, atau angkot. Gaya-gayaan mau pakai motor," ucap Ibu waktu itu, dan mulai saat itu, aku tak pernah lagi menyentuh apa-apa di rumah ini untuk kebutuhanku dan Zulfa. Tapi tidak saat ini! Iren aja yang istri siri, bisa berlagak nyonya. Di sini akulah nyonya sebenarnya, jadi aku lebih berhak daripada
Read more
Bab 34 Mulai Menunjukkan Jati Diri
"Loh ... perasaan tadi kamu masak Mbak? Kok nggak ada makan di meja. Susu buatku juga nggak ada?" tanya Iren tanpa rasa malu. Mila hanya menatap sejenak lalu melanjutkan langkah menuju wastafel. Setelah meletakkan piring ke dalam wastafel Mila kembali melangkah menuju kamarnya tanpa peduli tatapan kejengkelan Iren karena tidak ditanggapi.Tin!Suara nyaring dari klakson ojek pesan Mila menembus tembok sampai ke indera pendengar Mila. Buru-buru Mila mengambil tasnya lalu keluar dari kamar dan menjemput Zulfa di kamarnya."Ayok, Sayang! Ojeknya sudah sampau itu," ucap Mila menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Zulfa mengangkat badannya berdiri dari bibir ranjang lalu melangkah menghampiri Mila."Dasar menantu sinting!" Mila masih bisa mendengar cacian mertuanya itu. "Tuh ... ada menantu idaman. Suruh aja dia yang masak sarapannya," ucap hati kecil Mila, sembari melanjutkan langkah.Sampai di toko Mila langsung menuju meja kasir, ingin meletakkan tasnya. Zulfa langsung naik ke lantai
Read more
Bab 35 Makan Malam
"Aku memang bisa bawa mobil, Bu. Dari dulu." Mataku melirik Iren yang menghampiri Mas Hasan. Maduku itu menggandeng tangan Mas Hasan. Terang-terangan, tidak lagi menutupi. Aku menarik sebelah ujung bibir. Maaf, meskipun kalian jungkir–balik di depanku, aku tidak peduli. Tidak akan ada rasa cemburu lagi, ambil lah Mas Hasan untukmu. Aku tidak sudi lagi!Kuputar badan berbalik lalu melangkah menuju kamar."Bu, yang tadi gimana?" Aku masih bisa mendengar ucapan Iren pada Ibu, hingga akhirnya Ibu berteriak."Tunggu, Mila," teriak Ibu. Kuhentikan langkah lalu membalik badan menghadapnya."Ada apa, Bu?" "Kenapa baju Ibu sama Iren nggak kamu cuci? Gara-gara kamu, acara Ibu sama Iren batal!" bentaknya. Aku menautkan kedua alisku."Baju yang mana?" tanyaku pura-pura. Padahal dalam hati, aku tau apa yang di maksud Ibu. Pasti baju yang aku rendam tadi."Nggak usah pura-pura deh, Mbak!" ucap Iren ikut membentak. Kugelengkan kepala. Dasar orang tidak punya otak, kepalanya saja yang besar!"Loh .
Read more
Bab 36 Olahraga Jantung
"Kamu tuli ya!" bentaknya. Kuangkat kepala menatap Ibu. Dia berdiri diapit oleh anak dan menantunya."Memangnya apa yang salah, Bu? Bukan kah aku memang nyonya di rumah ini. Aku istri sah, jadi aku memang nyonya! Lagian apa salahnya kalau aku dan Zulfa makan di sini, toh aku yang memasak semuanya. Kalau kalian mau ikut makan ... ayo, silakan.," ucapku panjang lebar membuat Ibu membulatkan matanya."Yang salah itu, kamu makan di sini. Bukan kah selama ini, kamu sama anakmu makan setelah kami selesai makan. Memang kamu yang memasak, tapi semua bahan makanan ini dibeli pake uang Hasan. Bukan uangmu!"Kuletakkan sendok ke atas piring lalu meneguk air putih. Kebetulan makanan di piringku sudah habis, begitupun Zulfa."Itu dulu, tapi tidak lagi sekarang. Jadi, Ibu harus membiasakan diri makan bersamaku di sini. Satu lagi, Bu. Wajar jika Mas Hasan yang membeli semua ini, karena nafkah aku dan Zulfa memang tanggung jawabnya."Kuangkat badan berdiri dari atas kursi. "Sudah selesai, Sayang?" t
Read more
Bab 37 Zulfa Sakit
"Tante ...." teriak suara dari seberang sana. Bibirku melengkung mengukir sebuah senyum. Aku tau siapa pemilik suara itu."Wa'alaikumsalam, Nak," ucapku membalas salamku sendiri. Suara di seberang sana terkekeh."Maaf, Tante. Habisnya aku lagi senang, makanya lupa ucap salam," ucapnya dengan nada manja. "Iya, nggak pa-pa, Sayang. Ada apa?""Tante ... besok Lili bisa nggak ke rumah Tante? Soalnya besok Papah mau ke luar kota, pulangnya malam berangkatnya pagi-pagi. Jadi aku sendirian di rumah. Soalnya nenek ke tempat keluarga, ada yang kawinan. Aku diajak sih, sama Papah, tapi aku nggak mau ikut, soalnya capek," ucapnya panjang lebar. Gemes rasanya, mendengar dia dari tadi terus bicara."Bisa nggak, Tan?" tanyanya lagi saat tidak mendapat jawabanku."Boleh, Sayang. Nanti Tante jemput atau gimana? Tapi Tante nggak tau rumahnya." "Kata Papah, nanti diantar aja ke rumah Tante," balasnya cepat. Aku memang sudah akrab dengan Lili. Sebab dia sering datang ke toko, tapi tidak dengan Papahnya
Read more
Bab 38 Egois!
"Sayang, badan kamu panas. Kita ke rumah sakit ya, Nak." Aku mengangkat tubuh Zulfa duduk di bibir tempat tidur, lalu mengambil jaket di dalam lemari. Anakku itu sudah membuka matanya.Saat baru saja menginjak ruang tamu, ponsel di tanganku menjerit nyaring."Halo, Assalamu'alaikum," salamku. Aku sudah tau siapa yang menelpon. Nomer yang semalam menelponku. Meskipun aku tidak menyimpan nomernya, tapi aku hapal nomer terakhir." Tante, Lili sudah di depan rumah," ucapnya terdengar riang."Iya, Sayang. Tunggu bentar ya."Aku menggendong Zulfa, bertepatan dengan Mas Hasan dan Iren keluar dari kamar tamu."Loh ... kenapa Zulfa," tanyanya. Aku menatapnya sejenak."Lah kan aku tadi udah bilang, Mas. Udah biarin aja." Iren menjawab pertanyaan suaminya. Aku menggelengkan kepala. Percuma meladeni kedua manusia tidak punya hati ini. Buang-buang waktu, lebih baik aku mengurus anakku. Bukankah aku sudah bilang kalau Zulfa sakit. Pura-pura saja!Aku mendudukkan Zulfa di kursi teras, lalu melangk
Read more
Bab 39 Rahadia
"Kalau begitu jatuhkan talakmu." Mas Hasan menatapku tajam. Bola matanya seakan ingin melompat keluar."Mudah sekali kamu meminta talak, Mila!""Itu kerana, sudah tidak ada lagi yang bisa aku harapkan dari rumah tangga ini! Selama ini aku bertahan. Bahkan aku pernah menjatuhkan harga diriku, mengemis cintamu, tapi apa yang kamu bilang, Mas? Aku hanya istri diatas kertas!""Karena laki-laki itu 'kan? Karena dia kamu ngotot minta cerai? Dasar perempuan murahan!"Aku menautkan semua gigi karena geram. Bisa-bisanya dia lempar batu sembunyi tangan. Dia yang berselingkuh, malah memutar balikkan fakta!"Kamu dengar baik-baik Hasan Alfarizi. Aku bukan wanita murah seperti yang kamu bilang. Ini adalah kali kedua aku dan Pak Revan jalan, dan itu pun semua karena kamu! Kamu, Mas! Tadi pagi aku sudah meminta tolong padamu, untuk membawa Zulfa ke rumah sakit, tapi apa? Kamu lebih memilih menemani Iren dibanding membawa Zulfa ke rumah sakit. Seharusnya, kamu berterimakasih pada Pak Revan, karena s
Read more
Bab 40 Membuat Kesepakatan
Ibu memajukan kepalanya mendekat padaku. "Sebenarnya ...." Ucapannya tergantung. Sekali lagi matanya liar mengitari seluruh ruangan."Emang ada apa sih, Bu? Kenapa Ibu kayak takut begitu," tanyaku lagi. Aku semakin penasaran melihat Ibu yang seperti ragu-ragu. Ingin mengatakan sesuatu, tetapi was-was. "Sebenarnya, ada rahasia yang membuat Hasan tidak bisa menceraikan Mila," ucap Ibu berbisik pelan. Rahasia? "Apa, Bu? Apa yang membuat Mas Hasan tidak bisa nyerein Mbak Mila?"Ibu menarik nafas panjang dari hidung, lalu menghelanya pelan lewat mulut."Sini," ucapnya mendekatkan mulutnya ke telingaku lalu membisikkan sesuatu. Mataku membulat mendengar apa yang dibisikkan Ibu."Apa, Bu, semua ini bu–?" pekikku tidak percaya. Ibu langsung membekap mulutku dengan tangannya menghentikan ucapanku."Jangan kencang-kencang," ucapnya lalu menarik kembali tangannya dari mulutku.Ibu menganggukkan kepalanya melihat wajahku yang penuh tanya. "Iya," ucapnya pelan.Aku menggelengkan kepala ke kiri
Read more
PREV
1234569
DMCA.com Protection Status