All Chapters of JERAT CINTA SANG RENTENIR: Chapter 71 - Chapter 80
92 Chapters
Part 71
Ren kembali mengantarku pulang dengan berjalan kaki, setelah sebelumnya memindahkan motor ke ruko yang tak berapa jauh dari tempatku berjualan. Dia bilang terasa lebih romantis. Tak perlu teriak-teriak jika ingin bicara, seperti saat berboncengan di atas motor. Lagi pula perjalanan terasa lebih jauh, jadi bisa lebih lama menggenggam tanganku."Awas saja kalau ada kasur ataupun kipas angin yang kau sebutkan kemarin, ya. Aku akan melemparnya keluar saat ini juga. Kau mengerti?" Aku memberi ancaman.Dia hanya berdehem, mengiyakan.Bukan apa-apa, kamar kos yang aku tempati sekarang sudah memiliki fasilitas kasur dan juga lemari kecil dengan dua pintu. Rasanya tak mungkin lagi aku memasukkan barang-barang seperti itu dengan luas wilayah kamar yang hanya tiga kali tiga saja.Belum lagi token listrik yang harus aku bayar di luar sewa bulanan. Membuatku berpikir berkali-kali jika ingin membeli barang elektronik, meski hanya sebuah hairdryer. Bisa menghidupkan dispenser dan setrikaan saja sud
Read more
Part 72
"Memangnya ada apa denganmu? Kau pikir orang tuaku sama dengan keluarga mantanmu itu, ha?"Aku kembali tertunduk malu. Ada saja jawabannya yang membuatku merasa... dihargai.*Pagi-pagi sekali aku membangunkannya yang masih tertidur di atas sofa, saat mengajakku bermalam di kamarnya. "Ayo sarapan!"Sepotong roti bakar dan segelas susu coklat sudah kubuatkan dari dapur di lantai bawah, saat Beni masih tertidur pulas di kursi pengunjung.Dia mengagguk."Aku benci pria berbulu," ucapku. Dia tertawa kecil, sambil memandangi wajahku yang kini begitu dekat saat mencukur rambut halus yang mulai tumbuh memenuhi rahang kokohnya."Bukannya aku seperti Logan di film X-man?" ucapnya bangga."Siapa yang bilang? Mantan pacarmu?" sindirku."Jangan suka memancing. Kau tampak mengerikan saat cemburu.""Tapi kau lebih terlihat mirip Sun Go Kong si kera sakti." Aku tergelak."Kau semakin berani saja mengejekku, ya!" Dia menarik pinggangku agar semakin mendekat."Hati-hati, Ren. Wajahmu bisa terluka."
Read more
Part 73
Ren benar-benar terlihat marah saat aku tak mengatakan yang sebenarnya tentang kedatangan Bara dan juga ibunya Daryan. Dia tetap meradang, meski sudah kujelaskan bahwa aku tak ambil pusing dengan urusan keluarga mereka.Aku kembali bertanya, mungkin apa yang dia ucapkan malam itu ada hubungannya dengan semua ini. Tapi lagi-lagi dia membantah. Dia hanya membalikkan fakta, bahwa Daryan yang lebih dulu melakukan ancaman. Hingga mau tak mau dia juga menggunakan cara yang sama.Hanya saja, Daryan lebih merasa ketakutan, tak seperti Ren yang selalu tampak bersikap tenang mengatasi semua masalah yang dihadapi. Seolah preman seperti dia kebal dan tak akan tersentuh oleh hukum."Jangan berhubungan dengan dia ataupun keluarganya lagi. Sudah ada aku yang selalu bersamamu, kau tahu?" ucapnya seperti takut kehilangan."Kau tidak perlu khawatir, Ren. Aku sudah memilihmu. Kau tak percaya padaku?"Suara panggilan whatsapp kembali berdering dari nomor yang sama, tuk yang ke sekian kalinya. Ren membua
Read more
Part 74
Aku benar-benar frustasi saat Bara meminta hal yang bukan-bukan. Seenaknya saja memberi perintah dengan dalih akan mengganti seluruh penjualanku hari ini agar bisa ikut dengannya.Andai dulu hutangku masih banyak, aku pasti akan melompat untuk ikut tanpa perlu berpikir panjang. Sayang sekali, aku bukan lagi gadis murahan yang rela melakukan apa saja demi uang."Aku tidak mau!" jawabku tegas."Jangan sok jual mahal. Aku bukan Daryan yang punya banyak waktu untuk membujukmu," balasnya tak mau kalah."Lalu kau pikir aku akan termakan dengan bujukan suami orang?" "Kau...." Dia berdecih."Pergilah! Daryan tak akan pulang hanya karena aku bertemu dengan kalian."Kulihat dia menoleh ke arah kiri dan kanan. Seperti sedang mengamati siuasi sekitar. Beberapa pengguna jalan dan pengunjung apotik di ruko yang aku sewa halamannya, tampak berlalu lalang.Lalu senyum itu menyeringai."Bagaimana jika aku menyeret tubuh kurusmu itu secara paksa, ha?" Alisnya terangkat seperti menggoda."Kau itu bica
Read more
Part 75
Ren masih menatap dengan ekspresi datarnya. Sementara Bara tampak kalut, menunggu jawaban.Tanganku masih setia merangkul lengan Ren. Andai rantang dari calon mertuaku ini tak berada di salah satu tanganku, aku pasti akan mendekap tubuhnya erat agar tak bisa bergerak.Meja dan kursi belum lagi ada untuk meletakkan benda berharga ibunya Ren. Bahkan booth container belum sempat terbuka. Lalu kemana harus kuletakkan makan siangku ini agar bisa bergerak lebih leluasa?Lagi-lagi aku belum sepenuhnya percaya pada janji Ren. Tangan besar itu bisa saja langsung menarik kerah kemeja Bara dengan kasar. Atau kaki jenjangnya langsung mendarat di perut pria yang tadi katanya sibuk, tapi sampai sekarang masih berada bersama kami.Pria barbar di sampingku ini tak henti-hentinya membuatku jantungan. Menyelidiki keluarga Daryan dengan begitu detil, hanya karena ingin menunjukkan bahwa keluarga itu tak baik untukku."Kau tidak perlu tahu siapa aku," ucap Ren datar. "Menjauh dari kehidupan gadis-ku, ma
Read more
Part 76
"Kau benar-benar marah?" tanyaku lagi. "Aku jadi takut makan masakan ibumu. Padahal aku sangat lapar." Aku membujuk dengan suara semanja mungkin.Kudengar suara decih dari mulutnya, diikuti dengan tawa kecil. Lalu berbalik ke arahku dengan mata menyipit."Kau semakin handal dalam merayu," sindirnya."Tapi aku benar-benar lapar," rengekku. Dia kembali tertawa."Baiklah, lupakan masalah tadi. Ayo makan!"Aku langsung tersenyum senang. Merasa kalau Ren memang tak bisa berlama-lama marah dan mengabaikanku. Dia membantuku menyusun meja dan kursi untuk memulai jualan, memasang standing banner hingga membantu melayani saat para pelanggan datang membeli.Petanyaan demi pertanyaan tak penting, dia lontarkan demi meluapkan kekesalan perihal masalah tadi. Kenapa aku sampai terlambat dan baru buka jam segini. Belum lagi sarapan yang terlewat karena aku kembali tidur saat dia menelepon tadi pagi.Aku hanya mengucapkan kata maaf, dan maaf saja. Tak mau lagi dia merasa terbantah dan membuatnya kece
Read more
Part 77
Aku menelan ludah saat melihat pria yang tadi membawaku sampai ke sini. Penampilannya begitu berbeda dari biasanya. Terlihat lebih kacau, meski masih tergolong normal.Rambutnya kini dibiarkan terurai, sedikit lebih memanjang. Tak seperti bagaimana penampilannya yang biasa, selalu terlihat rapi dan sempurna."Apa yang kau lakukan di sini, Daryan?" tanyaku membuka percakapan."Kau tak merindukanku?" Sorot matanya bagai hampa."Semua orang mencarimu. Kenapa selalu membuat khawatir semua orang?""Kau mengkhawatirkanku? Kupikir kau tak peduli lagi," ucapnya sinis.Aku hanya berdecak. Tak mau dia salah paham dan berpikir aku menantikannya selama ini."Selama ini kau ke mana saja? Kenapa masih bersikap seperti anak-anak. Dewasalah sedikit. Kau menempatkanku dalam posisi sulit."Matanya memicing. Mencari tahu apa maksud dari ucapanku.Aku tak segan-segan menceritakan tentang kedatangan ibu dan juga kakaknya yang kerap kali menyalahkanku. Menuduhku dalang dibalik kepergiannya."Apa ibuku masi
Read more
Part78
Kami sampai di kompleks perumahan elite. Aku mengikuti Daryan turun, dengan ponsel yang masih belum dia izinkan untuk kusentuh. Membiarkannya tetap berada di sana, dimana Daryan melemparnya tadi."Ini rumah siapa?" Lagi-lagi aku bertanya.Mengikuti langkahnya untuk menaiki teras. Rumah mewah bergaya modern dengan dua lantai yang membuatku takjub. Dengan hanya menekan beberapa digit angka, Daryan berhasil menekan handel dan membuka pintunya."Masuklah!" Daryan mempersilakan, kemudian mengikuti langkahku setelah merapatkan pintu."Selama ini kau tinggal di sini?" Dia mengagguk. "Sendirian?"Dia tertawa kecil, lalu melangkah melewatiku menuju ruang tamu."Duduklah!" Dia mengempaskan bobot tubuhnya ke atas sofa mewah berwarna cream.Mataku berkeliling menyisir setiap area ruangan. Memikirkan kenapa dia bisa tinggal di rumah mewah ini sendirian tanpa diketahui oleh keluarganya. Rasanya tidak mungkin mereka tidak mengetahui kalau salah satu aset mereka dipakai oleh Daryan.Tidak mungkin jug
Read more
Part 79
Aku kembali menelan ludah mendengar ucapan Daryan. Sedikit merasa bersalah karena apa yang dia tuturkan memang benar adanya. Aku telah berpaling hati pada Ren, bahkan sejak saat aku masih menjadi kekasihnya.Namun apa yang bisa aku lakukan. Ren lebih banyak hadir dalam kesusahanku. Selalu datang di saat yang tepat saat aku membutuhkan. Tak kenal takut untuk membela, meski keselamatannya sendiri dia pertaruhkan."Maafkan aku, Daryan." Aku memberanikan diri berucap. "Maaf kalau hubungan kita harus berakhir seperti ini.""Berakhir?" Dia mengulangi ucapanku. "Kau benar-benar memilih orang itu ketimbang aku?"Dia seolah tak percaya."Kau lihat rumah ini? Ini terasa lebih nyaman ketimbang ruko kecil itu. Aku akan membawamu tinggal di sini. Aku bersedia mengorbankan ibuku demi bisa hidup bersamamu." Dia berucap penuh keyakinan."Apa maksudmu?" Dahiku mengernyit. "Ada apa dengan ibumu?""Kau tak tahu?" Matanya sayu memandangku. "Pria itu, orang yang kau sukai, memiliki rekaman CCTV saat ibuku
Read more
Part 80
"Kenapa? Kau tak lagi menginginkan aku?" bisiknya."Lepaskan aku, Daryan. Kau jangan jadi seperti ini. Kita sudah putus." Aku memekik keras, sambil memukul dadanya. Masih berusaha melepaskan diri."Aku tidak bisa melepaskanmu begitu saja. Siang malam aku berharap masih bisa memelukmu seperti ini." Dia masih berusaha memaksa.Aku menangis, tahu tak akan bisa lepas jika hanya melawan. Aku memohon agar dia mengurungkan niatnya."Bukankah biasanya kau menikmati setiap sentuhanku, May? Seberapa banyak pria itu melakukan hal yang sama padamu. Aku akan menghapusnya agar kau bisa melupakan semua itu." Dia menyeretku kembali menuju sofa. Melemparku hingga terpental dan hampir terlentang. Lalu menjatuhkan diri ke atasku."Jangan, Daryan!" pekikku, memohon.Wajah itu terus menghujaniku dengan ciuman. Aku meronta hingga bibir itu kini memasuki dan membenam di ceruk leherku. Aku berteriak kuat, hingga gerakannya terhenti saat memandangi sesuatu yang baru saja ditemukannya."Luka apa ini?" Dia men
Read more
PREV
1
...
5678910
DMCA.com Protection Status