All Chapters of JERAT CINTA SANG RENTENIR: Chapter 41 - Chapter 50
92 Chapters
Ren 41
Daryan melajukan mobil ke jalan. Mengenakan masker untuk menutupi separuh wajahnya yang masih membengkak akibat perkelahian.Usai sarapan di rumah tadi, kami langsung menuju ke tempat jualan. Tak ingin membuang-buang waktu kembali ke kamar kos, karena di rumah ayah masih tersisa beberapa pakaian.Sesekali aku memandangi separuh wajah itu. Seperti ikut merasakan kesakitannya."Jangan melihatku terus," protesnya."Kau tak harus menyembunyikanya dariku, Yan. Kau masih terlihat tampan. Dan tentu saja terlihat lebih lelaki." Aku mulai merayu, menyenangkan hatinya."Jangan memancingku, Maya. Aku bisa saja memutar arah dan mencari hotel terdekat di sekitar sini.""Hish!" Aku langsung menepuk pahanya. "Kenapa semua pria berpikiran mesum sepertimu. Bukan lelaki seperti itu yang kumaksud." Terdengar suara tawa dari mulutnya, sembari meraih tanganku yang masih menempel di paha itu, kemudian membawanya dalam genggaman. Aku tersenyum tipis, merasa sudah memantapkan hati.Aku memilihnya.*Sampai
Read more
Ren 42
Dengan malas aku bangkit untuk membuka pintu. Memberikan sesuatu, agar dia bisa tidur nyenyak malam ini. Mataku membelalak saat pintu telah kubuka. Ren berdiri dengan tatapan dingin di depan pintu.Aku kembali menutup sekat pembatas itu agar tak lagi berurusan dengannya. Namun dengan cepat dia menahan dengan tangan besarnya. Pandangan kami seketika terpaku, lalu kemudian dia mendorong pintu hingga terbuka lebar. Otomatis aku harus mundur ke belakang, atau keningku yang akan terbentur oleh benda berbahan kayu itu. Dia masuk tanpa kupersilakan. Merapatkan pintu dan menguncinya. Sempat kulirik saat dia memasukkan kunci ke dalam saku celana. Selalu saja seperti itu caranya agar aku tak kemana-mana. Aku memutar bola mata, mulai terbiasa."Tak bisakah kau sekali saja tak membuatku merasa kesal?" Aku memasang tampang sinis.Dia tak menjawab. Matanya berkeliling, menyisir tiap sudut ruangan di kamar ini. Berjalan pelan melewatiku menuju kasur dan duduk di sana. Mengeluarkan sebungkus rokok
Read more
Ren 43
"Maafkan aku, May. Bara akan menginterviewku hari ini. Aku sudah pesankan susu dan langsung mengirimkannya ke sana." Daryan memberi kabar melalui panggilan suara.Aku mengiyakan, mencoba memberi dukungan dan memintanya agar fokus dan tidak memikirkan hal yang harusnya menjadi urusanku. Dengan dia memutuskan untuk mulai bekerja saja sudah membuatku merasa senang. Lagipula, aku sudah terbiasa mengurus semuanya sendiri. Tak perlu ada dia yang nantinya bisa membuatku merasa ketergantungan.Entah rasa bahagia ataukah berduka tentang keputusannya. Di satu sisi, aku senang karena kini dia akan hidup normal seperti orang-orang pada umumnya. Menjalani aktivitas sehari-hari dengan bekerja. Tak lagi keluyuran kesana kemari menghabiskan waktu dengan percuma.Namun di sisi lain aku juga merasa kehilangan. Dia yang sehari-hari menemaniku tak kenal waktu, kini pasti akan mulai membatasi diri karena jadwal kerjanya. Merasa ada sesuatu yang kosong dan membuatku rindu.Tak lama kulihat Anyelir muncul.
Read more
Part 44
Aku membalas senyuman Anyelir. Bagiku tak ada satu pun manusia yang ingin terlahir dengan menjalani hidup yang buruk. Termasuk aku, ataupun dia. Hanya tinggal bagaimana cara kita menjalaninya saja.Setidaknya aku masih beruntung, karena masih terselamatkan oleh dua orang itu. Hingga sampai hari ini tubuhku masih juga terjaga. Berbeda dengan anyelir. Kehidupan keluarganya tidak lebih baik dari aku, dan dia sudah kehilangan 'itu'."Kau menceritakan yang harusnya tak kau ceritakan, Anyelir." Aku meletakkan "strawberry boba" pesanannya. "Oh, masalah itu?" Dia langsung paham tentang pengaduannya pada Ren. Aku mengangguk."Aku hanya menceritakannya sekilas saja. Dia terlihat begitu panik dan langsung pergi meninggalkanku. Sejak itu aku jadi mengerti sesuatu." Dia mengedipkan sebelah matanya, menggoda."Tidak terjadi apa pun pada kalian?" selidikku."Ouh, kau tenang saja. Dia bahkan tak melirikku sama sekali.""Mana mungkin. Dia itu mata keranjang." Aku berdecih.Anyelir tertawa."Aku harap
Read more
Part 45
"Kau mau apa?" tanyaku, mendengar ucapannya yang menggantung. Dia terlihat ragu."Lupakan saja!" ucapnya kemudian. "Kau masuklah. Aku akan pulang." Aku sedikit kecewa, namun akhirnya mengangguk setuju."Ren?" Aku memanggil, saat dia melangkahkan kaki. Ren berbalik, menatapku."Ada apa?"Sejenak aku terpaku. Entah bagaimana cara mengatakannya."Ada yang ingin kau sampaikan?""Aku...." Aku menatap ragu. "Apa?""Aku minta maaf." Matanya memicing."Maaf karena selalu membuatmu kecewa."Dia sejenak terdiam. Kemudian tersenyum. Senyum kekecewaan, tentu saja."Aku sudah terbiasa. Setahun belakangan sikapmu jauh lebih kasar dari ini. Apa yang kutakutkan?""Ren?""Aku sudah terlalu lama menunggu. Apa kau pikir aku akan menyerah hanya karena sikapmu saat ini? Jangan bermimpi. Kau tidak akan bisa ke mana-mana. Kau akan bergantung padaku selamanya." Dia kembali membalikkan badan, lalu melangkah pergi.Gengsi tetaplah gengsi. Sebesar apa pun rasanya kini, tak juga bisa membuatnya mengalah, apa l
Read more
Part 46
Aku masih menunggu di pinggir jalan menuju pintu parkiran. Mungkin saja dia baru datang dan melihatku berdiri di sini. Aku tak mau membuatnya merasa kehilangan. Dia sendiri yang menyuruhku jangan pergi sebelum dia datang.Akhirnya semua lampu hampir padam setelah pukul sebelas malam. Air mataku benar-benar menetes tanpa bisa kutahan. Menyesal?Tentu saja. Harusnya kutonton saja film itu sendiri. Tak harus masuk bersamanya. Tak ada larangan menonton film sendirian, asal aku membayar. Aku mengusap sudut netra, kemudian mencari aplikasi di ponsel yang bisa mengantarku pulang.Hampir tengah malam aku sampai di depan pagar tempat tinggal. Memberikan upah pada driver seperti yang sudah disepakati. Baru saja aku hendak membuka kunci kamar, tangan seseorang menyentuh pundakku. Aku terlonjak kaget, saat berbalik. Sebuah benda dingin mengkilap kini menempel di leherku.Belum cukupkah kesialanku sampai saat ini?"Siapa kau?" Mataku membelalak melihat seseorang yang tak pernah kulihat sebelumny
Read more
Part 47
Suara sepeda motor terdengar dari arah luar. Aku mengintip dari tirai jendela, lalu menarik napas lega saat tahu siapa yang berada di luar sana.Matanya membesar, melihat sesuatu di diriku setelah pintu terbuka. Gurat keterkejutan tergambar jelas di wajahnya."Apa yang terjadi padamu?" Dia tampak begitu khawatir. Aku hanya bisa menatapnya dengan bibir bergetar dan pipi yang kini telah basah."Aku tanya, kau kenapa?" Setengah berteriak tangannya memegangi bagian leherku yang terluka dan berdarah.Aku menangis sesenggukan sambil menceritakan apa yang terjadi. Dia bergegas masuk sambil menyisir seisi ruangan. Lalu kembali beralih ke arahku. "Apa dia melakukan sesuatu yang buruk padamu?" Dia mengguncang bahuku. Aku menggeleng."Katakan!" Kini dia mulai berteriak. Aku kembali menggeleng dengan cepat. Pria itu hanya butuh uang. Tak tertarik sedikit pun menyentuhku."Bukankah sudah kukatakan jangan tinggal sendirian? Harusnya kau tinggal bersama adikmu. Kenapa kau tak pernah mendengarkanku?
Read more
Part 48
"Ibuku yang menyediakan ini," ucapnya kembali, seolah menjelaskan pertanyaanku tadi."Ibumu pasti tahu kau suka berkelahi," sahutku. "Ish, aww. Sakit, Ren!" Aku langsung memekik begitu dia menekan lukaku dengan sengaja."Jangan sok tahu!" gerutunya. Aku meringis."Apa lukanya dalam? Bekasnya nanti hilang, tidak?""Kau tak perlu khawatir, sejelek apa pun hasilnya aku tetap menerimamu.""Hish, Ren!" Aku mendorong bahunya. Dia tertawa kecil, lalu mengolesi lukaku dengan salap."Kenapa bajingan itu bisa masuk ke kamarmu? Kenapa kau bisa begitu ceroboh membukakan pintu pada orang asing, ha?" Dia kembali menginterogasi usai menempel plaster tuk menutupi lukaku.Aku menceritakannya secara detil. Tentang bagaimana pria itu menunggu sebelum aku sempat masuk dan mengunci pintu. Lalu kulihat wajahnya kembali menegang, menahan emosi. "Kau ini bodoh, ya?" Dia kembali menggeram.Apa ada kata-kataku yang salah? "Sampai kapan kau akan menunggu si brengsek itu di sana, ha? Sudah kubilang pria itu t
Read more
Part 49
Aku langsung melempar bantal ke arahnya. Dia tertawa kecil, sambil memungut benda empuk tadi dan mendekapnya ke dada."Kenapa kau suka sekali mengerjaiku, ha?" Aku bersungut."Ini kamarku. Terserah aku mau tidur di mana." Dia meletakkan kembali bantal itu, lalu merangkak naik menuju ke arahku. Mataku langsung membesar, kemudian berusaha menjauh.Belum lagi aku beringsut turun, tangan besarnya langsung menangkap pinggangku dari arah belakang."Mau kemana kau?" Dia menarik dan merapatkan tubuhku ke dadanya."Apa yang kau lakukan, Ren? Lepaskan aku!" Aku meronta, dan memukuli kedua tangannya yang kini melingkar di perutku."Kau sudah berani untuk ikut aku ke mari. Kau sudah tahu resikonya, kan?" Suaranya sengaja dibuat sehoror mungkin."Tapi kau sudah berjanji. Laki-laki itu yang dipegang janjinya, Ren. Kau itu laki-laki atau bukan?" Aku menggeliat, mencoba melepaskan satu persatu jemarinya."Oh, kau mau bukti kalau aku ini laki-laki?""Ren!" Aku memekik. Dia tertawa menang. "Sebentar s
Read more
Part 50
Aku terbangun saat alarm ponsel menyala seperti biasa. Melirik ke bawah, saat kulihat Ren sudah tak ada. Selimut dan bantal juga telah tertata rapi di ujung ranjang. Dia selalu saja bangun pagi saat berada di rumahnya.Aku beringsut turun dan merapikan sprei tempat peraduanku semalam. Kemudian keluar, menuntaskan hasrat di kamar mandi. Ren masih tak nampak saat aku selesai. Aku mengambil tasku dari atas nakas, kemudian keluar untuk segera pulang."Kau mau kemana?" Aku berpapasan dengan Ren di lantai dua saat dia baru keluar dari kantornya."Pulang," sahutku cepat."Naiklah. Kau tak dengar ucapanku semalam?""Aku harus berganti pakaian, juga harus berjualan.""Adikmu akan membawakan keperluanmu. Tinggallah dulu selama beberapa hari.""Adit tahu aku di sini? Kau memberitahunya?" Ren mengangguk."Dia memarahimu?" Adit mungkin tidak akan senang, tahu kalau kakaknya tinggal serumah dengan pria asing."Dia malah berterima kasih padaku." Ren tersenyum bangga.Hish! Rupanya Adit telah memiha
Read more
PREV
1
...
34567
...
10
DMCA.com Protection Status