Semua Bab Katamu Uang Tak Kenal Saudara : Bab 51 - Bab 60
139 Bab
Sok iyes
Aku tersenyum kecut mendengar Mbak Maryam penasaran. Sementara itu, Mbak Meri mendelik kearahku. Kenapa Mbak? Takut kubongkar kalau kamu belum balikin semen? "Rum! Siapa orangnya? Kita penasaran nih!" Mbak Lilis ikutan kepo. "Udah, deh, nggak usah disebutin, ya! Nanti kalian nggak percaya, malah nuduh aku fitnah lagi. Biarin aja deh! Moga orang itu sadar, terus cepat balikin hak yang harusnya di kembalikan. Masa nggak malu! Ngakunya kaya raya, eh, semen duapuluh sak aja diutang!" Kulirik sekilas Mbak Meri. Wajahnya berubah. Kenapa dia? Malu kah? Ih, bidi imit lah. Pokoknya mulai sekarang, aku nggak akan tinggal diam bila dihina, ataupun direndahkan. Kupastikan siapapun itu bungkam. "Mak, yuk pulang! Masak-masak nya 'kan udah beres. Kita gantian masak dirumah, ya! Ini kita bagi dua, emak tiga bungkus, aku tiga bungkus. Ini gratis, Mak. Buat Emak!" Segaja aku berperilaku begini biar mereka semua tau. "Huh! Dasar sombong! Madesu aja sombong!" Mbak Meri mencibirku. Aku menoleh karen
Baca selengkapnya
Tolong Ibuku Bulik
"Nyari uang sekarang gampang! Tinggal jaminkan aja sertifikat tanah ke Bank, beres! Tiap bulan ngangsur!" Pongah Mbak Meri. "Pasti berhasil dong! Santo 'kan udah pengalaman usaha tambak udang!" Mbak Meri jumawa. "Usaha modal utang Bank aja bangga!" cibir Mbak Dini. Aku tertawa kecil mendengar kalimat Mbak Dini. Untung saja Mbak Meri nggak denger, kalo denger bisa perang. "Aku 'kan orang kaya! Nggak kaya si madesu itu tu!" Aku tahu, Mbak Meri sedang berusaha menjatuhkan ku. Ah cuekin ajalah, biar dia puas berkoar dulu. Mbak Dini menyenggol lenganku, ia memberi isyarat. "Mulai tuh mulut rombeng!" ucap Mbak Dini. "Iya dong! Arum mana mampu ikutan investasi kaya Mbak Meri! Mau gadein apa dia, gadein tempe juga nggak ada yang mau, kali! Hahaha!" Mbak Lika sadis mencibirku. Dadaku naik turun. Aku kudu sabar. Aku punya jurus andalan untuk membungkam mereka. "Eh, Mbak Lika! Situ udah oke tah? Asal kalian tau ya! Investasi modal hutang itu, nggak keren! Orang kaya sebenarnya itu, adalah
Baca selengkapnya
Kabar ngenes
Aku segera menuju rumah kakak iparku bersama Tio. Pikiranku nggak enak, meskipun Mbak Meri jahat, tetap saja aku khawatir. Kalo dia kenapa-kenapa, sudah pasti aku kebagian repot, ya to? "Yo, gimana kakimu, kok nggak pake tongkat lagi? Tanganmu udah sembuh?" Aku penasaran melihat Tio sudah tak lagi memakai alat bantu. "Kata ibu mulai sekarang harus belajar nggak pake tongkat. Tangan kanan juga harus mulai digerakkan. Ibu bilang biar aku nggak cacat beneran. Bulik, emang kalo patah tulang itu cacat, ya?" Tio berjalan agak pincang. Ya ampun! Masih aja Mbak Meri menyebut anaknya cacat. Padahal Tio kondisi tubuhnya normal. Jika dirawat dengan baik, patah tulang juga bisa sembuh. "Walah, jangan dengerin omongan ibumu! Kaki sama tanganmu utuh 'kan? Orang cacat itu, kalo buntung, Nang. Kamu 'kan enggak." Kucoba membangun semangat untuk Tio. Tanpa terasa kami sudah sampai rumah Tio. Kulihat sesosok tubuh ramping nan langsing tergolek di teras. Itu Mbak Meri? "Itu ibu masih pingsan, Bulik
Baca selengkapnya
Ingat roda itu berputar
Malam harinya .... "Mas, hasil timbangan getah karet besok, buat beli kulkas, ya! Kalo punya kulkas 'kan enak, bisa nyetok bahan masakan," ucapku sambil santap malam. Mas Rahman asyik menyantap hidangan malam ini melirikku. Peci dan sarung masih ia kenakan. "Kulkas aja, Dik? Mau sekalian beli mesin cuci enggak?" Mas Rahman malah menawari yang lain. Aku hampir saja keselek. "Mesin cuci besok lagi lah, Mas! Kulkas aja dulu!" Kuraih gelas berisi air minum dan kuteguk sedikit. "Mas tuh punya rencana, mau ke pasar induk, pengen beli kulkas, mesin cuci, sama alat-alat elektronik untuk dandan, Dik," terang Mas Rahman. "Aku juga pingin beli salon biar bisa karoke, sama beli resiper baru biar kamu bisa nonton tipinya puas!" imbuhnya lagi. "Ooooo!" Mulutku membola. "Emang ndue duit, Mas?" selidikku. Mas Rahman tersenyum. "Yo ada, to! Kae wedusnya yang bandot tadi udah dibayari Pak Jarwo dua setengah juta. Terus duit nimbang karet 'kan udah ngumpul juga. Sekali-kali ke pasar induk shoping
Baca selengkapnya
Mulut Nyebelin
"Apa maumu sebenarnya?" Kutantang sekalian Mbak Meri. "Mauku? Melihatmu menderita itu lebih asyik!" Ceplos Mbak Meri tanpa beban. Kudekati kakak iparku ini, kutatap matanya dalam-dalam. "Hatimu benar-benar udah mati! Bisa-bisanya kau senang melihat saudara menderita," ucapku penuh penekanan. "Cuih! Aku nggak punya sodara model kamu! Kamu itu nggak selevel sama aku. Sekali rakyat jelata, tetap rakyat jelata! Meskipun rumahmu sudah berubah, dimataku kau tetap saja KAM-SE-U-PAY! Kampungan, norak! Awas aja kalo ketauan semua ini hasil pesugihan, kupastikan kamu terusir dari kampung ini!" Gertak Mbak Meri. Aku tertawa lebar. Mana ada semua ini hasil pesugihan. O, o, o! Jadi, mereka semua menganggap ini semua pesugihan. Dasar Meri Markonah! Kau salah besar! "Terserah! Yang jelas semua ini uang halal! Hati-hati, Mbak, fitnah bisa berujung bui, tau!" ketusku padanya. Biarin aja Mbak Meri menilai semuanya negatif. Biasalah ... orang sirik mah sukanya mencela dan mencari kesalahan orang la
Baca selengkapnya
Mana uang Semenku
"Habisin buburnya, biar asimu lancar!" Kuulas senyum kepada Tiara. Hanya aku yang menjaga Tiara. Suamiku ijin keluar merokok. Ibu dan Hadi ikut juga. "Duh, udah kaya nyonya besar aja nih!" Lagi bibir Mbak Meri meluncurkan kalimat nylekit. "Kenapa, Mbak? Mau tak suapin juga, sini! Biar mulutmu itu nggak ngoceh terus!" ketusku pada Mbak Meri. "Heh, Rum! Nggak usah nyolot kamu! Mau sok hebat, hah?!" Mbak Meri mendelik. "Uwes, to, Mer! Ini rumah sakit. Jangan ribut!" Kang Handoyo mengingatkan. Laki-laki itu melepas jaketnya. "Arum tuh, nyolot!" Mbak Meri mendengus kesal. "Dasar kamseupay!" Mbak Meri duduk di karpet yang tergelar. Kang Handoyo berdiri menatap Tiara. "Duit dari mana untuk bayar rumah sakit ini?" Wajah Kang Handoyo kelihatan mengejek. "Wong kere sok sokan sesar! Nggak kuat bayar adol tempe, Mas. Hahaha!" kelakar sadis Mbak Meri. Uh, emang suami istri mulutnya kaya comberan kabeh, mangkel aku! "Mbak," lirih Tiara air matanya mulai luruh. Hatiku miris melihat Tiara m
Baca selengkapnya
OKB
"Oh, rupanya sekarang kena sawan budeg, ya?" Mataku mengerling malas. "Kubilang, mana uang semenku, Mbak?" Kuulangi pertanyaan ku. Hahaha. Rasain! Ku buka nota hutangmu disini. "Halah, uang sejuta duaratus aja heboh! Kalo aku ada uang, tak bayari mulutmu itu!" seru Mbak Meri. Dalam hati, aku tertawa ngakak. Berarti sekarang dia lagi bokek dong! "Oooo, berarti sekarang bokek, dong! Nyatanya kesini nglantung! Malah makanan yang ada di embat! Ih, miris! Ngakunya kaya, tapi ...." Kepalaku menggeleng kuserang mental mereka. "Arum! Jaga mulutmu!" Mbak Meri berdiri. Eeh, eh, kok gitu sih? Lho kok marah? Jangan gitu sayang! Awas Ojo nyanyi lho! "Mulutku tak jagain kok. Nih, dari tadi disini aja. Mingkem, nggak gayem!" Lagi kusindir Mbak Meri. Tiara meremas tanganku lagi. Aku spontan menoleh. "Kenapa?" Aku melongo. "Udah, Mbak jangan diladeni, mereka!" Tiara memohon. Pintu ruangan terbuka. Kulihat ibu mertua, suami dan adik iparku masuk. Hadi membawa sebuah plastik, apa isinya? "Eh,
Baca selengkapnya
Awal kehancuran
Acara syukuran sepasaran bayi Tiara dan Hadi selesai, aku pamit pulang. "Rum, ini tolong bawakan kue untuk Tio. Ibu kok kelingan Tio," ucap ibu mertuaku saat aku berkemas untuk pulang. "Walah, Bu, Bu! Ngapain sih inget bocah itu? Orang tuanya aja nggak mudeng, kok!" seloroh Hadi, nada bicaranya kesal. Wajah ibu nampak guratan sedihnya. "Le, biar gimanapun juga, Tio cucu Ibu, Nak. Biarlah orangtuanya nggak mbeneh sama kita, tapi ... ibu yakin, hati Tio itu masih bisa dibimbing." Mata ibu mulai berkaca-kaca. Kuhela napas kasar. Hem, ibu benar! Tio hatinya masih bisa dibimbing, beda sekali dengan ibu bapaknya itu. "Ya, Rum, tolong ini kasihkan Tio." Ibu memohon. Tentu saja aku nggak kuasa menolaknya. "Ya, Bu! Nanti, ini ku kasihkan Tio." Aku tersenyum. Setelah semuanya siap, aku pamit pulang. "Nang, jaga istrimu baik-baik. Kalo ada apa-apa, kabari Mbak, ya! Jangan sungkan." Aku tersenyum sambil menggendong jagoan kecil ini, Raka namanya. "Raka, nggak boleh nakal, ya! Bude pulang
Baca selengkapnya
Ikut pusing lagi
"Baiklah, dua Minggu tunggakan nggak beres, siap-siap angkat kaki dari rumah ini. Permisi!" Kulihat beberapa Bapak-bapak berjaket hitam keluar dari rumah Mbak Meri. Aku segera melesat lagi malas berurusan dengan kakak iparku itu. Tapi, kepalaku kok mesih tertuju sama apa yang kulihat tadi. Sampai rumah, aku segera masuk, bebersih badan, lalu makan. Kepalaku masih memikirkan Mbak Meri. Ngeri aja, kalau sampai rumahnya beneran disita, apa kata dunia? Orang yang terkenal juragan uang itu, bisa kere mendadak. ___________ Malah harinya .... "Dik, Mas Ari tadi nelpon. Katanya, dia mau pergi ke Jawa, ibu sama bapak juga. Nah, kita disuruh kesana, tunggu rumah." Mas Rahman membawa segelas kopi kedepan tivi. "Lho, kok nggak nelpon aku?" Aku heran. Kulanjutkan melipat baju ini. "Hapemu nggak bisa di bell, Dik." Mas Rahman duduk lalu meraih remot tivi. "Nonton pilem laga to, ojo sinetron wae," ucap Mas Rahman. "O, pantes. Kapan mereka berangkatnya?" "Dua hari lagi. Kata Mas Ari, aku sur
Baca selengkapnya
Keluh kesah Handoyo
"Yo paling telat bayar angsurannya kali! Kalo nggak telat, nggak mungkin didatengin lah." "Kang Handoyo nggak ngomong ki, Dik. Biasanya 'kan dia rewel." Mas Rahman menghabiskan sotonya. "Moga aja enggak ngerusuhin kita lagi, Mas. Jujur, aku tuh bosen ... tiap mereka kena masalah, kita ikut repot. Kalo orangnya bisa diajak gantian si, iya, iya, aja. Nah ini ... nggak bisa diajak gantian, males lah!" Aku bangkit mencuci bekas makan kami. "Hem, yo gitulah mereka. Aku lama-lama juga males, Dik." Mas Rahman meneguk air minum. "Pokoknya, nanti kalo mereka kena masalah lagi, aku moh ikut-ikutan. Bidi imit! Dibantuin nggak tau trimakasih, kok." Ku letakkan piring di rak. "Yo jangan gitu geh. Pie-pie mereka masih saudara lho, Dik." Mas Rahman rasa iba nya kuat sekali. "Capek loh Mas!" Aku mrengut. Suamiku itu pasti nggak tegaan sama saudaranya, aku 'kan jadi gimanalah. "Terus, maunya Mas, gimana?" Kutelisik wajah suamiku ini. Mas Rahman menatapku dalam. "Ya kalo bisa, dibantulah saudar
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
45678
...
14
DMCA.com Protection Status