Disaat Aku susah, kalian malah menghina kami, jangankan menolong atau memberi bantuan, melihat saja enggan. Tapi, disaat kalian yang susah, sibuk menyeret kami. Saudara yang diharapkan bisa menjadi penolong dan pemberi bantuan, nyatanya malah menjadi musuh terbesar dalam kehidupan kami.
View More"Mbak Arum, Yazid bawa saja ke rumah sakit, ya! Saya takut dia kenapa-kenapa. Sudah saya beri obat, panasnya nggak reda-reda."
Bagai disambar petir. Kabar dari bidan Esti membuatku bingung. Yazid anak ku yang masih berumur 18 bulan sedang demam tinggi.
"Dari kemarin panasnya nggak turun, ke dokter spesialis anak aja, sekalian cek lab, biar tau Yazid sakit apa," ucap Bidan Esti lagi.
Lahaulawalaquwata illabillah ... duniaku rasanya runtuh mendengar ucapan Bu Bidan.
"Cepat bawa ke rumah sakit sekarang, saya buatkan surat rujukan," ucap Bu bidan Esti lagi.
Kulihat Bu Esti menulis pada selembar kertas lalu dimasukkan ke amplop.
"Tunjukan surat ini ke IGD biar Yazid cepat ditangani. Cepat, Man bawa anakmu segera!" Bu Esti menyerahkan amplop pada suamiku.
Aku menggendong tubuh mungil putra sulung ku yang demam tinggi, Bidan Esti membantuku, Yazid masih merintih namun matanya terpejam. Keningnya ditempel kompres penurun panas.
"Sabar ya, Nang! Kita cari obat." Air mataku mulai menetes.
"Wes cepet bawa anakmu segera!" titah Bu Esti lagi. "Nggak usah bayar disini."
Setelah berucap terimakasih, aku dan suami meninggalkan rumah praktek bidan Esti.
Mas Rahman mengengkol motor butut kami lalu aku membonceng dibelakang, Yazid kudekap erat.
"Dik, kita kerumah Kang Handoyo, dulu. Mas mau pinjem motor sekalian pinjam uang sama Kang Handoyo." Motor melaju kencang.
Aku tak bergeming, pikiranku tertuju pada Yazid. Motor masuk halaman rumah Kang Handoyo. Rumah yang bagus dan indah.
Mas Rahman turun tergesa dari motor, langsung mengetuk pintu rumah kakaknya.
"Kang, Kang Handoyo! Kang! Kang Handoyo!"
Aku berjalan menuju teras sambil mendekap Yazid ku yang merintih lirih.
"Heh! Kalau bertamu itu yang sopan! Dasar madesu!" Mbak Meri membuka pintu lalu marah-marah.
Madesu adalah sebutan bagi keluarga ku yang artinya masa depan suram. Kata itu selalu muncul dari mulut Mbak Meri -istri Kang Handoyo.
"Ngapain pagi-pagi kesini? Bukanya kerja, malah bawa anak istri kesini. Kalau mau minta makan jangan disini. Ini bukan panti sosial!" hardik Mbak Meri. Tangannya memegang paha ayam goreng, mulutnya masih mengunyah.
"Kang Handoyo, ada, Mbak?" Mas Rahman bicara gugup.
"Nggak ada! Kakangmu itu rajin kerja, jam segini masih diladanglah nggak kaya kamu, pemalas!" cibir Mbak Meri menatap Mas Rahman dan aku jijik.
Memang ini masih pagi jika bertamu, tapi bagaimana lagi, ini darurat.
"Maaf, Mbak, saya kesini mau minjem motor sekalian minjem uang. Saya mau bawa Yazid ke rumah sakit Mbak," ucap suamiku menghiba.
"Apa?! Mau pinjem motor sama uang?!" Mata Mbak Meri Mendelik. "Heh, orang miskin jangan sok sok an berobat ke rumah sakit!"
"Tapi, Mbak, kata Bu bidan Yazid harus dibawa ke rumah sakit, Yazid butuh penanganan dokter, Mbak," ucap Mas Rahman lagi.
"Halah, alasan! Orang miskin tuh tau diri, berobat semampunya aja!" bentak Mbak Meri.
"Tolong, Mbak, pinjami saya uang Lima ratus ribu aja, Mbak. Saya janji akan saya kembalikan secepatnya," ucap Mas Rahman lagi.
"Heh! Kau pikir aku dan kakakmu itu ngumpulin uang mudah, hah?! Seenaknya saja pinjam sesukamu. Disini bukan bank, tau!" Mbak Meri mencak-mencak. "Aku muak sama orang miskin seperti mu bisanya cuma nyusahin orang aja. Asal kau tau, uang tak kenal saudara. Nggak ada sesen pun uang untukmu!" Suara Mbak Meri melengking.
"Kalau begitu, saya minjam motor saja, Mbak," Mas Rahman masih berusaha meminta bantuan kakak iparnya.
"Enak saja! Nggak bisa, motor itu mau ku bawa arisan. Nggak akan kupinjamkan padamu, nanti kalau rusak mau kau ganti pake apa, hah!? Kau jual tempe istrimu juga nggak akan mampu membayar gati ruginya!"
Astaghfirullah halazim! Hatiku seperti diremas sakit sekali, telingaku panas mendengar hinaan dari Mbak Meri.
"Pergi kalian dari sini! Jangan harap aku mau bantu kalian. Dasar orang miskin! Kau dan aku beda kasta!" ucap Mbak Meri sombong.
Dadaku berdenyut nyeri, mentang-mentang hidupnya kecukupan, Mbak Meri bebas menghinaku begitu.
"Pergi kamu, pergi!" Mbak Meri mendorong tubuh suamiku, membuatnya terhuyung.
Aku segera menolong suamiku, mata Mas Rahman berembun. Ku dekap tubuh mungil Yazid yang kian lemas, mata mungil ini terpejam. Aku dan Mas Rahman melangkah pergi membawa luka dari sini.
Saudara yang kami anggap bisa membantu, malah sebaliknya. Motor berbunyi lagi lalu melaju meninggalkan rumah ini.
"Mas, kita ke rumah Bu Aisyah saja, sekarang jadwal ngocok arisan bulanan, kali aja bisa kita minta untuk biaya Yazid kerumah sakit, Mas. Aku kemarin sudah setor, kok," tawar ku pada Mas Rahman. Air mata ini meluncur tak tertahan.
"Ya wes kita kesana saja." Mas Rahman memacu motor menuju rumah Bu Aisyah.
Sampai sana aku segera turun. Benar ibu-ibu berkumpul hendak mengocok arisan.
"Bu, Bu Aisyah! Tolong saya!" tangisku pecah saat datang kerumah Bu Aisyah.
Mereka menghampiriku, "Arum, ada apa?" Bu Aisyah terkejut melihatku.
"Saya pinjam motor sekaligus minta tolong pinjem uang arisan, Yazid sakit, dia harus dibawa ke rumah sakit," ucapku menangis.
Para ibu-ibu mendekat lalu mengecek suhu badan putraku yang masih tinggi.
"Ya ampun, panas banget." Mbak Dini wajahnya cemas.
"Ya sudah, saya ambilkan surat motor dulu, Man, helm di samping rumah. Itu motornya," ucap Bu Aisyah setengah berlari masuk rumah.
Aku menunggu sambil menjawab beberapa pertanyaan ibu-ibu yang ada disini.
"Bu-ibu, arisan bulan ini yang nembus Mbak Arum, kasihan dia. Biar uangnya untuk berobat Yazid," ucap Bu Aisyah wanita paruh baya berjilbab besar ini memberikan kunci motor dan surat kepada suamiku.
"Dini, berikan uang arisan sama Mbak Arum, biar mereka segera ke rumah sakit!" titah Bu Aisyah.
Mbak Dini menghampiriku, lalu memberikan uang arisan. "Mbak Arum, ini baru ngumpul dua juta, yang sejuta belum kumpul." Mbak Dini menyerahkan uang kepadaku.
"Nggak papalah, makasih ya," ucapku pada mereka.
"Rum, bawa segera Yazid ke rumah sakit, kalau ada apa-apa kabari saya segera," pesan Bu Aisyah.
"Iya, Bu, makasih atas pengertiannya," ku seka air mata ini.
Aku dan Mas Rahman pergi ke rumah sakit memakai motor Bu Aisyah. Sepanjang perjalanan, ku dekap putraku sambil terus berdo'a dan berharap semoga Yazid baik-baik saja.
"Ya Allah, lindungilah putraku, selamatkan dia ya Allah," lirihku
Sambil berpegangan erat pada suamiku motor melaju membawa kami ke rumah sakit. Hati ini sakit mengingat hinaan dari kakak ipar bermulut jahat tadi.
Yazid ku masih saja demam. Ya Allah, tolong kami ya Allah, tolong putraku.
Air mataku luruh beriringan dengan doa-doa yang ku rapalkan untuk putraku.
Saat susah begini, saudara malah menghina kami. Setidaknya jika tidak mau membantu jangan hina keadaan kami. Tangisku mengiringi nestapa kehidupan yang tengah kulalui.
Mbak Meri, tak 'kan kulupakan semua penghinaanmu terhadap ku. Andai saja kau merasakan sebentar saja jadi aku, apakah kau sanggup?
POV AUTHOR Runtutan kehidupan Arum dan Rahman telah dilewati, cobaan silih berganti datang menghampiri. Kini, Arum telah keluar dari rumah sakit setelah kritis usai kecelakaan, beruntung nyawanya selamat. "Dek ... kenapa ngelamun diluar?" Rahman menghampiri istrinya yang berdiri bersedekap dada menatap kearah jalanan yang sepi. "Aku kangen Yazid, Mas ... dia kangen nggak ya, sama aku?" Air mata Arum meleleh membasahi pipinya. Rahman merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan. "Yazid udah seneng disana, Dek ... kita doakan saja, semoga kelak kita bisa bertemu dan berkumpul di surga." Rahman mengusap punggung Arum. "Mas, semoga setelah ini, keadaan akan semakin membaik, ya!" harap Arum terisak. "Insyaallah, Dek ... setelah badai berlalu akan ada hari cerah dihiasi pelangi." Rahman membelai wajah Arum istrinya yang kini sudah mulai pulih. "Tolong, jangan buat aku bersedih lagi. Tolong jangan gegabah pergi sendirian lagi, tolong temani aku sampai tua. Hanya kamu yang kupunya." Rahman
POV Ari "Tadi anda datang-datang marah-marah dan nuntut minta ganti rugi. Apa anda nggak mikir, adik saya di ruang operasi meregang nyawa gara-gara ulah bocah ugal-ugalan itu!" "Sabar, Mas, sabar! Kita bicarakan ini baik-baik." Seorang laki-laki merangkulku menjauhkan dari orang-orang ini. Halah, basi! Tadi aja semangat kek mau makan orang, sekarang mlempem. Kesal bukan main hati ini. "Lepas! Jangan sentuh aku!" Kuhempas tangan laki-laki ini. "Sabar, Mas, sabar!" "Sabar Anda bilang? Gimana aku bisa sabar sementara adikku satu-satunya masih berjuang didalam sana!" "Keluarga pasien Arum!" Aku berjingkat saat nama adikku disebut, langkahku langsung menuju kearah sumber suara. "Saya keluarga pasien Arum! Saya kakaknya!" Degup jantung ini kian kencang. "Mari ke ruangan dokter." Tanpa ragu, aku segera menuju ruangan dokter sesuai arahan seorang perawat. "Anda keluarga pasien atas nama Arum?" "Iya, Dok, saya kakak kandungnya." Aku duduk cemas berhadapan dengan dokter ini. "Begi
POV Ari Barusaja aku dan Angga keluar dari kafe usai berbincang dengan Arum adikku perihal masalah yang menyangkut iparnya, tiba-tiba saja diujung jalan terjadi kecelakaan. Jantungku berdegup tak beraturan pikiranku teringat pada Arum, adik perempuanku satu-satunya. "Lakalantas, Ri!" Angga berteriak lalu berlari langsung ke arah lokasi. Aku juga ikut berlari mengekor Angga. Rekanku itu memang seorang polisi jadi dia sigap bergerak. "Angkat, ayo angkat! Kasihan, kepalanya berdarah!" "Korban pingsan, cepat darahnya banyak!" Terdengar suara orang panik. Perasaan ini semakin khawatir. Apalagi saat kulihat celana warna cokelat sama persis dengan yang dipakai adikku Arum. Aku merangsek kedalam kerumunan, Angga mengurus motor yang mengalami kecelakaan. Allah huu Robbi! "Arum!" Teriakku tak percaya. "Arum!" Ya Allah! Adikku! Mataku berembun melihat kepalanya bersimbah darah. "Ayo, tolong cepat bawa adik saya ke rumah sakit!" Teriakku. Kubopong segera tubuh perempuan yang kini tak sa
"Mas, kalo langsung di tembak mati, keknya keenakan Handoyo, Mas. Soalnya dia nggak ngerasain derita dan sakit dulu. Tapi kalo sekedar dilumpuhkan dan efek jera, kayaknya lebih bisa memberi dia pelajaran, Mas," usulku. Entah mengapa nggak rela aja bila Handoyo langsung ditembak mati. Aku ingin, dia hidup sengsara, menderita dulu sebelum nyawanya pulang kepada Yang Maha kuasa. Rasa kesal, jengkel dan marah ini membuat aku ingin melihatnya menderita. Dia yang memaksaku berbuat jahat. "Kami juga akan memilih keputusan, Mbak. Jika membahayakan petugas, apa boleh buat, kami harus mengambil tindakan tegas. Handoyo itu penjahat berbahaya, licin, dan licik." Rekan polisi Mas Ari angkat bicara. "Kami berharap, Handoyo bisa kooperatif agar mudah prosesnya. Tapi, jika dia melawan terpaksa kami beri hadiah." Aku manggut-manggut mendengar penjelasan anggota polisi ini. "Kamu tenang aja, Rum, insyaallah Angga dan tim-nya akan menyelesaikan semuanya dengan baik, kita bantu doa saja. "Iya, Mas.
Satu masalah belum selesai, muncul masalah lain lagi, kapan kepalaku ini berhenti tegang? Rasanya lelah dengan masalah yang silih berganti datang dan penyebabnya hanya satu, Handoyo, manusia b*a*ap itu. Aku duduk di kursi tunggu memijat pelipisku yang terasa pening. "Gimana ini, Dek? Kalau Mas tinggal nengokin ibu, apakah kamu nggak papa disini sama Tio? Mas bingung, Dek." Mas Rahman duduk disampingku. Dia menunduk kelihatan berpikir. Buntu seketika otakku ini. Haduh, puyeng banget menghadapi masalah yang tiada habisnya. "Ya udah, Mas jenguk ibu aja dulu. Mau gimana lagi, nggak mungkin ku tingalkan Tio sendiri disini, dia masih bocah. Belum lagi kalau harus nebus obat." Pasrah, itulah yang kulakukan sekarang. "Ya udah, Mas berangkat sekarang, Dek!" Suamiku bangkit. Aku juga bangkit. Hati ini rasanya pengen ikut kesana, tapi ... Meri dan Tio masih butuh aku. Arrrgghhh, menyebalkan! Perlahan pungung Mas Rahman hilang dibalik lorong rumah sakit ini. "Bulek, Oom nggak kesini?" Tiba-
Telpon mendadak terputus dan ketika di telpon kembali nomor Hadi nggak aktif. Hatiku semakin cemas, apalagi setelah mendengar tangisan Tiara tadi. "Mas, ibu kenapa, Mas?" aku hampir menangis. "Mas juga nggak tau, Dek." Mas Rahman ikutan cemas. Duh, jangan-jangan Handoyo bikin ulah pula disana, gimana ini? Aku takut orang itu berbuat nekat mencelakai ibu, ataupun anggota keluarga lainnya. Handoyo kini sudah hilang hati nuraninya. "Mas, kalo Handoyo bikin ulah disana, gimana, Mas?" Mas Rahman lantas keluar kamar meninggalkan aku. Ya Allah, semoga saja nggak terjadi hal yang buruk sama ibu mertua. Meskipun aku sempat kesal pada beliau tapi mendengar beliau susah aku juga nggak tega. Benar-benar bikin pusing semua ini. Kapan Handoyo tertangkap lagi? Aku takut jika dia sampai mencelakai orang lagi. Cukup sudah satpam rumah sakit yang jadi korban, jangan ada korban lagi. Kurapikan kembali baju usai dikerok suamiku. Keluar kamar mengambil teh yang telah dibuat Tio. "Bulek, Oom mau ke
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments