All Chapters of Bukan Sekelumit Sesal: Chapter 31 - Chapter 40
95 Chapters
Part 31 Saingan
Suara khas pintu apartemen yang terbuka mengalihkan fokus Akram yang buru-buru menutup percakapan groupnya. Tubuhnya lekas dibaringkan di sofa. Kini fokusnya beralih pada langkah kaki yang diyakini pemilik apartemen tempatnya menumpang menginap malam ini. "Assalamualaikum. Tidak perlu pura-pura Akram, saya tahu kamu belum tidur," sapa pemilik suara yang terdengar bersahaja. Akram terkekeh, menegakkan tubuhnya lalu menoleh ke meja makan. "Bang Rian juga mau tidur di sini? Diusir sama istri?" tanya Akram yang kembali menoleh ke arah pintu. Seolah tahu yang sedang dipikirkan oleh sepupu sahabatnya itu, Rian berujar, "Riswan masih di jalan. Saya ke sini mau bahas masalah kamu." "Ma-masalah aku?" Akram mengernyit lalu beranjak menghampiri Rian. Akram sangat tahu kepribadian polisi yang satu ini tidak suka bercanda. "Masalah mobil kamu yang dirusak pihak tidak bertanggung jawab. Saya sudah mendapatkan pelakunya, tapi belum mendapatkan motif terkait kamu secara pribadi. Dugaan saya, mere
Read more
Part 32 Kau dan Diriku
Dua hari berlalu, Riswan kembali pusing. Semalam ia berniat membahas sesuatu dengan Akram, tapi sepupunya itu malah tidak ada di kontrakannya. Kemarin sore Akram masih di kantor dan malamnya tidak bisa dihubungi. Jika saja stok sabarnya menipis, mungkin Riswan sudah membakar kontrakan itu agar Akram sendiri yang datang padanya. Suara motor yang berhenti di depan rumah mengalihkan pikiran Riswan sehingga ia bergegas keluar. "Kau dari mana?!" Pertanyaan itu membuat telinga Akram sakit mendengar suara teriakan sepupunya ketika helm di kepalanya baru saja lepas. "Kenapa kau suka sekali berteriak seperti orang tua saja." Bukannya menjawab pertanyaan Riswan, Akram justru mencibirnya kemudian berlalu begitu saja. Riswan memicing mata dan mengikuti langkah Akram ke dalam rumah. Sebelum melewati pintu rumah, ia menoyor bahu Akram cukup kuat sampai hampir terjatuh. Riswan mengulum senyum kemenangan ketika mendengar suara kekesalan adik sepupunya itu. "Kau mau ke mana?" Pertanyaan kedua Riswa
Read more
Part 33 Kirimkan Malaikat
Ardito termenung memperhatikan dedaunan yang beterbangan. Terkadang karena hembusan angin, kadang pula karena laju kendaraan yang melintas. Lembaran-lembaran kuning kecoklatan itu terlihat berkilau diterpa sinar matahari. Pemandangan di depan gerbang sekolahnya ini mengingatkannya pada Arum yang dulu akan menjemputnya sepulang sekolah TK. Begitu juga saat ia duduk di bangku SD, Randi atau mantan istri kakak sepupunya akan menjemputnya. Sedangkan dua anak pamannya yang lain tidak pernah sekalipun melakukannya karena mereka tinggal di Kalimantan. Berkumpul hanya saat mereka merayakan lebaran saja. Jadwal pulang hari ini memang lebih awal dari biasanya. Ujian semester baru saja berakhir dan Ardito merasa lega. Satu beban pikirannya belakangan ini kini sudah lepas dan menunggu hasilnya saja. Kini tersisa sedikit di antara ratusan siswa yang tadinya bergerombol di depan pagar. Satu persatu mereka sudah pulang ke rumah. Rumah, satu kata yang terdengar nyaman tapi tidak untuk Ardito. Setia
Read more
Part 34 Seperti Orang Bodoh
Akram masih terdiam setelah mendengarkan percakapan Arum dan Safwan dari speaker ponsel pria itu. Semua curhatan Arum turut didengarnya sampai berkali-kali ia mengusap air mata. Gadis yang sudah ia nodai itu masih saja memikirkan orang lain selain dirinya sendiri dan janinnya. Kini Akram benar-benar memahami maksud Arum yang mengatakan jangan sampai ada yang terluka. Arum menghawatirkan kedua orang tuanya dan juga keluarga besarnya yang pasti akan malu. Terlebih saat ini papanya adalah salah satu calon walikota dalam pilkada kali ini. Wanita itu tidak ingin egois meski itu untuk anaknya sendiri. Safwan kembali menatap pria yang duduk di hadapannya setelah mengirimkan pesan pada seseorang. "Ini alasanku minta kamu datang ke ruanganku karena di sini kita bisa bicara dengan bebas tanpa takut didengar yang lain. Aku melakukan semua ini demi bundaku juga Akram. Arum adalah karyawan kesayangannya, asisten yang sudah lama bekerja dengan bundaku dan sudah dianggap seperti putri sendiri. Kes
Read more
Part 35 Opor Ayam
"Sampai saat ini, dia punya nilai plus di mata aku, Pa. Aku yakin Kak Akram sama Kak Riswan juga akan bisa melihat itu dan membolehkan dia jadi pacar aku. Saat aku kasih tahu dia kalau mama niat jodohin aku sama anak temannya, dia langsung jawab kalau dia siap bersaing," kata Adina sembari menoleh ke belakang. Takut tiba-tiba mamanya muncul, gadis itu kemudian kembali menoleh pada papanya dengan berbisik, "Makanya dia mau penuhi tantangan Kak Akram, Kak Riswan sama Alyana dulu. Katanya, dapetin Adina itu kayak ikut pilkada. Dia butuh dukungan tim sukses dari partai utama." Tak ayal ucapan putrinya membuat Ardan tertawa lepas. Adina yang bersandar memeluknya juga ikut bergetar karena tubuh papanya sedikit terguncang. Terlebih ketika Adina kembali berbisik jika gebetannya itu punya postur tubuh tinggi atletis seperti model yang lebih tinggi dari kedua kakaknya. Sangat memenuhi kriterianya yang ingin punya pasangan dengan tubuh tinggi. "Papa tahu? Dia juga orangnya humoris, dan aku yak
Read more
Part 36 Akad
Acara pernikahan Akram dan Arum berlangsung khidmat dengan wali hakim sebagai wali Arum. Dari pihak keluarganya tidak ada yang bisa jadi wali karena Ardito belum cukup usia sebagai wali nikah. Safwan sebagai saksi pernikahan dari pihak Arum dan Riswan sebagai saksi dari pihak Akram. Awalnya sempat ada sanggahan Arum diawal ijab qabul kala penghulu menyebutkan mahar untuknya. Safwan dan Tania hanya terkikik geli melihat perdebatan calon pengantin itu. Sementara Riswan geleng-geleng kepala membayangkan akan seperti apa rumah tangga adik sepupunya itu jika saat ingin ijab qabul saja mereka berdebat seperti ini. Arum kesal karena Akram bukannya membeli cincin sederhana pilihannya sebagai mahar. Akan tetapi pria itu malah memberikan satu set perhiasan mahal seberat 35 gr dan sebidang tanah. Setelah mendengar ucapan Delia yang membujuknya dengan penuh kelembutan, akhirnya Arum mengalah dan pasrah. Arum hanya tidak ingin jika dianggap meminta mahar mahal pada Akram. Ia sama sekali tidak me
Read more
Part 37 Ibarat Bom
"Aku harus mulai dari mana? Daftarnya cukup banyak. Ah, tanya Adina saja," ujar Akram merogoh sakunya dan menekan tombol nomor 2 dan panggilan terhubung pada adiknya namun sayang tidak dijawab. Panggilan diulangi kembali oleh Akram, tapi kali ini panggilan di tombol nomor 3 dan kali ini panggilan dijawab Alyana. "Halo!" sapa Alyana ketus yang terlihat sibuk dalam panggilan videonya. Dari sudut pandang yang dilihat Akram, ponsel itu diletakkan di atas meja makan rumahnya. Gadis itu sedang sibuk menata belanjaan ke dalam kulkas. "Halo juga Nona," balas Akram menahan senyum. Adiknya itu masih kesal karena tidak mengizinkan mereka berdua turut hadir dalam acara pernikahannya. Akram tidak ingin mengambil resiko. Biarlah mereka berdua marah, toh keduanya tidak bisa marah lama padanya. "Assalamualaikum Dek, kok manyun?" "Wa alaikum salam, situ pikun atau bloon? Kenapa masih tanya? Pura-pura tidak tahu atau pura-pura lupa?" Lagi-lagi Alyana ketus dengan sindirannya. "Mungkin amnesia retrog
Read more
Part 38 Dokter Lin, Nyebelin!
Suara azan sayup-sayup menyapa dan kedua anak manusia itu tak satu pun tersadar, hingga suara iqamah berkumandang. Sejam kemudian Akram baru tersadar dan matanya perlahan terbuka memandang jendela kaca. Matanya langsung membelalak kala menyadari jika ini sudah pagi dan matahari telah terbit. Ia menoleh melihat jam dinding kamarnya yang menunjukkan pukul 05.37 WITA pagi. Bergegaslah ia ke kamar mandi dan berwudhu untuk menunaikan sholat subuhnya di ujung waktu. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Menggumamkan istigfar ketika menggelar sajadah dan memulai menata khusyuk dalam hatinya. Setelah menyelesaikan dua rakaatnya dan bermunajat, Akram beranjak merapikan kamarnya. Wangi bunga lili yang memenuhi kamarnya membuatnya merindukan Arum. Jika saja kesadarannya belum pulih, ia pasti akan berhalusinasi. Wangi yang sama seperti parfum milik istrinya yang menenangkan. Ya, istrinya yang menolak pulang bersamanya dan memilih tetap tinggal di kamar kost sederhana itu. Akram kemba
Read more
Part 39 Sengaja
Akram menghela lega, refleks mengusap dadanya yang akhirnya melihat Arum membuka pintu dengan mengenakan mukena. Istrinya ternyata sedang sholat sehingga tidak meresponnya sejak tadi. Dugaannya, suara yang didengarnya di balik pintu tadi adalah suara benda yang digantung. Seulas senyum terbit di wajahnya melihat iris mata coklat milik Arum yang kali ini tidak tertutup softlens hitam ataupun kacamata minus. Kini Akram bisa melihat garis wajah keturunan Tionghoa itu di wajah istrinya. Data dari Riswan memang sempat membuatnya terkejut saat mengetahui latar belakang keluarga Arum yang sebenarnya. Istrinya benar-benar mirip dengan ibu mertuanya. Pantas saja Delia langsung mengenali Arum sebagai putri sahabatnya. Kerutan di dahi Arum seolah menyiratkan tanya. "Aku pikir kamu kenapa-napa di dalam karena kamu tidak merespon. Tidak ada sahutan dan telpon dariku juga tidak dijawab. Aku bahkan sempat berpikir, mungkin aku terlambat karena mengira kamu keluar beli makan," kata Akram. "Oh." Ses
Read more
Part 40 Bertemu si Kembar
"Jangan main tinggal gitu aja dong Fa!" protes seorang pemuda serupa yang menyusul keduanya. Pemuda yang datang belakangan menggendong bocah laki-laki. Berdiri tepat di samping pemuda yang menggendong gadis kecil tadi. Keduanya sibuk celingak-celinguk memperhatikan sekitarnya. "Adina tidak di sini, dia di rumah," ucap Akram memicingkan mata ketika melihat Faiz menghela berat. Kedua pemuda itu bak pinang dibelah dua. Sama seperti yang dilihatnya saat menonton pertandingan basket di televisi. Jika diam saja, sulit sekali bagi Akram membedakan keduanya. "Kenalkan Bang, ini kembaran saya, Raiz dan dua bocah yang kami gendong ini keponakan kami," ujarnya menyenggol lengan kembarannya. Dari perkenalan singkat itu Akram akhirnya tahu jika sepasang anak kecil itu juga kembar, tapi kembar fraternal. "Tante Alum ingat Almi cama Kaka Alpa? Ketemu di gedun tinggi Tante, cama Om Capwan cama Tante Taniya juda. Waptu kita makan donat. Kita juda ketemuna di telinik Tante. Cudah inat belum?" tanya
Read more
PREV
123456
...
10
DMCA.com Protection Status