All Chapters of Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku: Chapter 61 - Chapter 70
99 Chapters
Bab 61
"Dih, biasa aja kali, nggak usah sewot!" ucapku.--Pagi hari. Aku menjemur Arenda di depan rumah. Alhamdulillah, sudah sepuluh hari usianya. Badannya pun sudah lebih berisi daripada pertama lahir. Sekarang, lebih terlihat gemoy.Bunda datang sambil membawa buah. Beliau memang paling tahu kalau aku sangat suka buah. "Nadia ke mana, Bu?" tanyaku. "Ke rumah temennya. Lusa udah berangkat lagi ke Jogja." "Kasihan ya dia, Bu. Bolak-balik terus," ucapku. "Ya gimana lagi, Rum? Akhir-akhir ini dia juga ga banyak mata kuliah, katanya." "Bu, nanti kalau sudah enam bulan, nggak papa ya kalau Arum pindah ke rumah sana?" tanyaku. "Loh, ya nggak papa. Memangnya siapa yang mau melarang? Lagi pula jaraknya dekat, nggak harus sampai naik bis, kan?" tanya Bunda sambil terkekeh, dan otomatis nular ke aku. "Semoga saja ini akhir dari semuanya, ya, Bu. Setelah ini semoga Rumi sadar dan tidak aneh-aneh lagi. Arum juga mau tanya sama Kinos, kenapa dia bisa sama Arum? Apa yang sedang dia lakukan? Ken
Read more
Bab 62
"Aku berdo'a yang terbaik untuk kalian, Mas. Semoga kali ini, pernikahan kalian langgeng. Sakinah mawaddah warahmah," ucapku tulus. Kini di hatiku sudah tak ada lagi iri ataupun marah dan bahkan benci pada Arum. Aku sekarang sadar, bahwa jodohku bukan lah Mas Haris. Aku hanya terlalu memaksakan takdir kami. Toh pada akhirnya, takdir tak dapat diubah. Aku akan tetap tersingkir daei hatinya. "Aamiin, terima kasih untuk do'anya. Jangan alihkan pertanyaan. Jadi bagaimana? Kenapa kamu dan Kinos bisa bersama?" tanya Mas Haris, nampak tak sabaran. "Ya karena kami memang sedang bersama, Mas," jawabku. "Iya, tapi kenapa bisa?""Dari sejak aku keluar dari rumah sakit, Mas Kinos langsung membawaku ke sebuah rumah. Aku pikir, mungkin dia sedang mencoba untuk menebus kesalahannya. Hari demi hari, aku merasa ada yang lain. Ternyata, aku jatuh cinta padanya, Mas. Lucu, ya? Padahal aku benci karena dia telah merenggut masa depanku, merenggut kebahagiaanku, tapi dengan mudahnya aku luluh pada per
Read more
Bab 63
Aku mengangguk. Kupikir, sekarang tak ada tempat yang paling bagus selain yang disarankan oleh Ibu. Masuk panti, adalah pilihan pertama. Namun hari ini, Mas Haris datang lagi dengan membawa pilihan ke dua, yaitu pesantren. Aku memang ingin lebih membenahi diri. Sudah sekian lama aku berdosa, aku bahkan sudah jarang melaksanakan salat wajib. Ya Allah, betapa berdosanya hamba. "Mana yang kamu pilih?" tanya Mas Haris. ---Seminggu kemudian. Mas Haris dan keluarga mengantarkanku ke panti, minus Arum tentunya. Wanita yang baru saja melahirkan secara caesar itu tak diperbolehkan untuk berjalan jauh lebih dulu oleh bundanya. "Maafkan Ibu ya, Rum? Ibu melakukan ini bukan karena nggak sayang sama kamu. Kamu anak yang baik, rajin, hanya saja caramu salah. Andai tak ada ilmu hitam di antara kalian, sudah pasti Ibu juga bahagia memiliki menantu sepertimu," ucap Ibu yang membuatku terharu. "Bu, Ibu lupa sama menantu Ibu yang di rumah?" tanya Mas Haris, yang membuatku terkekeh. "Aku tak akan
Read more
Bab 64
Aku pun masuk ke kamar, setelah mendekat, ternyata bukan ponselku yang berdering, melainkan ponsel milik Mas Haris. Aku termenung saat melihat nama si pemanggil di layar ponsel itu. Wulan? Mau apa dia menelepon Mas Haris? Teringat lagi kejadian sebelum aku melahirkan. Mas Haris malah melepaskan Wulan begitu saja karena tak tega pada Tantenya. Aku sempat protes, tapi setelah melihat langsung Tante Marini saat ke sini, aku jadi terenyuh. Anaknya hanya wulan saja, beliau sudah tua, dan bahkan sudah duduk di kursi roda untuk menjalani aktivitasnya. Namun, saat akan kuangkat teleponnya, malah keburu dimatikan. Aku jadi penasaran, kenapa di menelepon Mas Haris? Haruskah kubuka ponselnya? Tapi, apa Mas Haris takkan marah?"Kenapa, Rum?" Aku tersentak saat mendengar suara Mas Haris yang memasuki kamar. "Nggak papa, Mas. Mau ambil baju. Gerah, mau mandi dulu." "Oh, kirain Mas kamu kenapa-napa? Ya sudah, sana mandi. Biar nanti Mas belikan makan. Mau makan apa?" "Pengen yang seger-seger, Ma
Read more
Bab 65
Sebulan kemudian. Acara empat puluh hari kelahiran Renda diselenggarakan di rumah Bunda, serta aqiqahnya. Mas Haris sudah membeli kambing dengan ukuran besar serta sehat. Bapak-bapak sudah mulai membantu mengurus kambing, sementara ibu-ibu membantu memasak. Lina, Hana, dan juga Gina pun ikut datang bersama kedua mertuaku. Aku hanya bisa membantu sesekali saat Renda digendong oleh Om, Tante, Bunda, ataupun Ibu. "Rum, Renda nangis nih!" ucap Gina saat aku tengah memotong wortel untuk acar. "Oh, iya, sebentar aku cuci tangan dulu."Setelah cuci tangan, aku pun mengambil Renda dan menyusuinya di kamar. Kebetulan ini hari minggu, sehingga Mas Haris bisa ikut membantu yang lain. Di kamar setelah menyusui Renda, ngantuk tiba-tiba menyerang, hingga akhirnya aku pun ikut tertidur dan tak sadar ada yang masuk ke dalam kamar. Ada suara pintu tertutup, namun aku tak sanggup untuk membuka mata. Apakah tadi Mas Haris yang masuk lalu keluar lagi? Ah, terserah lah! Entah berapa lama aku tertidu
Read more
Bab 66
"Tenang, tarik napas dulu. Tadi, kamarnya kamu kunci, nggak?" tanya Mas Haris. Aku menggeleng, karena tadi aku ngantuk sekali, sehingga tak terpikirkan untuk mengunci pintu. "Kenapa?" "Lupa, Mas. Aku ngantuk tadi."Mas Haris mengusap pundakku. Bukan apa-apa, perhiasan itu pemberian Bunda sewaktu aku hendak menikah, dan itu merupakan kalung warisan turun temurun dari almarhumah Nenek. Bagaimana aku menceritakannya pada Bunda nanti? "Sudah, nanti kita pikirkan bagaimana caranya. Sekarang, kita keluar. Kamu belum makan, kan?" Aku mengangguk, kemudian mengambil hijab dan berjalan keluar bersama Mas Haris. Meski sedang tak selera, namun Bunda sedari tadi memperhatikanku karena aku tak kunjung memakan sayur katuk yang sudah beliau buat. "Jangan tampakkan kita ada masalah, Rum. Nanti kita cari sama-sama, siapa tahu nyelip," ucap Mas Haris. "Iya, Mas. Jangan sampai hilang. Kata Bunda, itu kalung dari Nenek ketika Bunda menikah," ucapku. "Hampir tiga puluh tahunan dong, ya?" "Iya." R
Read more
Bab 67
"Tapi, Bu-" "Haris, bisa antar kami?" tanya Ibu yang membuat keningku berkerut. Kenapa meminta antar? Bukankah Bapak membawa mobil sendiri ke sini? "Antar, Bu?" "Iya." Mas Haris pun mengangguk, kemudian masuk ke dalam kamar untuk mengambil kunci. Aku segera mengikutinya, dan menjelaskan tentang sikapku tadi. "Mas, aku nggak bermaksud untuk melakukan itu semua. Aku nggak mencurigai keluargamu. Aku cuma nanya aja, sesuai kesepakatan kita, kan?" tanyaku pada Mas Haris yang tengah memakai jaket. "Iya, Rum. Mas ngerti, kok. Ya sudah, Mas antar mereka dulu, ya? Mungkin Bapak kecapekan, jadi malas nyetir. Nantj biar mobil Bapak, dibawa sama Lina." Aku mengangguk kemudian mengantar mereka sampai ke teras, meski sikap Ibu padaku berubah seratus delapan puluh derajat. "Hati-hati di jalan, Bu," ucapku. Ibu hanya mengangguk, kemudian masuk ke daam mobil. Aku melambaikan tangan saat Lina membunyikan klakson mobil dan melesat pergi. "Bagaimana bisa kalung dari nenekmu hilang, Rum? Itu sud
Read more
Bab 68
"Ha-hana," ucapku, sungguh tak kusangka jika adik bungsu suamiku itu tega sekali melakukan hal itu. Aku mendekat pada mereka, hingga aku sadari, ada dua ekspresi di sini. Hana seakan tertekan, dan Wulan yang demikian senangnya.Aku semakin mendekat, membuat jarak di antara kami kian mengikis. Adik bungsu suamiku itu menunduk, sementara Wulan mengangguk-anggukan kepala. "Hana," ucapku. Hana mendongak, kedua matanya membeliak lebar. Sementara Wulan, yang tengah meniti inci demi inci kalung itu, langsung menyembunyikan di sakunya. Tapi telat, karena aku sudah melihatnya sedari tadi. B*d*h sekali mereka yang bahkan tak menyadari ada aku di sini. Minimal, mereka harus melihat situasi, jika memang hal ini adalah sesuatu yang mereka sembunyikan. "Kak Arum." "Rum, ngapain di sini?" tanya Wulan. Aku tebak, wanita itu tengah gelisah bukan main. Aku jadi tahu mental asli perempuan ular di hadapanku ini. Ia akan menjelma menjadi singa, di tempat yang dia kira bahwa dia lah penguasanya. Namu
Read more
Bab 69
Kumasukkan kalung ke tempat yang lebih rahasia lagi, lalu mengambil baju dan masuk ke dalam kamar mandi. Kami memang menerapkan kebersihan, sebelum akhirnya memegang anak terlebih itu adalah bayi. "Aduh, anak Mama, main sama Kakek tadi, ya?" Renda tersenyum sambil memperlihatkan lidahnya, membuatku semakin gemas dengan bayi berusia empat puluh satu hari itu. "Nggak nyangka ya, Sayang? Kamu sudah lahir. Jadi lah penguat bagi Mama, ya? Hanya kamu, yang akan menjadi tujuan akhir Mama. Kamu, yang akan terus mendampingi Mama." Kupeluk tubuh mungil itu, hingga ia bergerak seakan tak nyaman. Buru-buru aku membenarkan posisinya. "Kamu kenapa, Nak?" tanya Bunda. "Nggak papa, Bun,' jawabku. Rasanya, belum tepat jika aku mengobrolkan ini semua dengan Bunda, kan? "Setiap orang tua pasti akan tahu, jika anaknya sedang baik-baik saja, atau tidak baik-baik saja. Cerita lah, Bunda akan dengarkan. Atau, mau cerita sama Haris saja nanti?" tanya Bunda. Aku menggigit bibir bawahku. Cerita dengan M
Read more
Bab 70
"Jawab, Han! Karena apa?" bentak Mas Haris. "Sabar toh Ris! Hana ini adikmu. Jangan kasar-kasar!" "Tapi dia salah, Bu. Nggak seharusnya dilindungi seperti ini," ucap Mas Haris. Kupegang tangannya seraya menggeleng. Jika diteruskan, yang ada malah jadi panjang. Kugenggam tangan Hana, gadis yang masih duduk di bangku SMa itu mendongak, matanya sudah berkaca-kaca. "Cerita lah, Han. Kakak nggak marah seandainya alasanmu masuk akal," ucapku. "Be-benar, Kak?" tanya Hana dengan suara bergetar. "Iya. Jujur lah, biar masalah ini cepat selesai. Kasihan Renda di rumah sama Bunda, kalau masalah ini masih berlarut-larut," ucapku seraya tersenyum. Hana memelukku erat, isak tangisnya semakin kencang terdengar. Tubuhnya bergetar. Ada apa gerangan, Han? Kenapa seperti ya kamu malah berat untuk mengungkapkannya? "Maafkan Hana, Kak. Hana terpaksa melakukannya karena diancam oleh Mbak Wulan.""Diancam?" tanyaku seraya melepas pelukan. "Iya." "Memang apa yang dia gunakan untuk mengancammu sehing
Read more
PREV
1
...
5678910
DMCA.com Protection Status