Semua Bab Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung: Bab 11 - Bab 20
154 Bab
11. Calon ibu sambung
“Soto hangat penghilang pengar!” Sarah meletakkan semangkuk soto di depan Jenar. “Khusus untuk temanku yang baru saja dihajar alkohol kemarin malam!” Dia duduk di depan Jenar sembari menatapnya dengan tajam. “Kenapa menatapku begitu?” tanya Jenar. Dia masih belum yakin, apa yang terjadi sepulang dari rumah Julian. “Aku ... melakukan kesalahan?” Sarah menghela nafas. “Aku anggap pernyataan kamu tentang bersedia menikahi duda kaya bernama Julian Liandra kemarin malam adalah bagian dari mabuk kamu, Jenar.” Jenar mengernyitkan dahi dan Sarah memahami temannya. “Kamu pamitan mau ke rumah Pak Julian untuk mengembalikan hadiahnya. Lalu, tiba-tiba kamu ditemukan pingsan karena kebanyakan minum alkohol oleh Bu Ranti, tetangga sebelah.” Sarah memprotes. Sedangkan yang diprotes hanya diam dan menatapnya. “Kamu gak
Baca selengkapnya
12. Kafe metropolitan
Jenar membuat janji temu dengan Julian. Di sebuah rumah makan sederhana lah tempatnya. “Katanya kamu mau mau bicara sesuatu denganku?” tanya Julian. Dia yang mengambil alih untuk yng pertama kalinya. Jenar masih diam. Dia belum berani mengutarakan tujuannya—mencabut kata-kata dan menolak pernikahan itu. “Kamu sudah menerima lamaranku, jadi mulailah untuk terbiasa denganku.” Julian menatapnya. “Kita bisa saling mengenal satu sama lain di sisa hari sebelum pernikahan.” Jenar mendongakkan pandangan matanya. “Pak Julian,” panggil Jenar. Menarik fokus Julian untuk datang. “Soal pernikahan ....” Dia menjeda lagi. Jenar mengulum saliva saat mendapati Julian menatapnya dengan teduh. “Oh iya, soal pernikahan.” Sialnya, Julian salah duga. Dia antusaias membahas itu. Julian mengeluarkan tablet miliknya. Menyodorkan pada Jenar. “Aku sudah mencari gaun pengantin untuk kita,” katanya. Dia masih dengan senyum yang sama. “Ada beberapa saran dari desainer terbaik kenalanku.” Tatapan Jenar rela
Baca selengkapnya
13. Ibu biologis
“Siapa orang itu?” Jasmine mendatangi ibunya yang duduk di teras rumah.Luce menyambut kedatangan putrinya dengan senyum manis. “Siapa?” Dia mengerutkan keningnya. Mengulang pertanyaan yang sama.Jasmine duduk di sisi Luce. “Orang yang akan dinikahi papa,” sambungnya. Memperjelas.Luce tersenyum tipis. Menyeruput teh yang dibuatnya sendiri. Tak kuat memandang putrinya, dia memilih fokus pada halaman rumah mantan suaminya.“Mama juga gak tahu?” tanya Jasmine lagi. Meskipun setelah perceraian mereka tidak pernah bertemu, tetapi Luce tetaplah ibunya. Jasmine tahu, Luce juga pasti terkejut dengan keputusan Julian.“Namanya Jenar?” Luce malah balik bertanya. Mendapat anggukan dari Jasmine. “Dia karyawan papamu.”Jasmine menyunggingkan senyum. “Selera papa rendah banget,” gumam Jasmine.Jasmine sudah besar, dia tahu mana yang wajar dan tidak wajar. Menurutnya pernikahan papanya adalah hal yang tidak wajar.“Kamu tidak protes sama papa?” Luce menatap wajah putrinya. Identik dengan Julian. Ja
Baca selengkapnya
14. Selingkuhan Pak Julian
Rasa canggung menggantung di udara. Jenar mulai menyesal tentang dia yang memutuskan untuk tetap berada di sini.“Dia siapa, Julian?” Logatnya berbicara begitu khas. Dia sepertinya bukan asli orang Indonesia. Wajahnya pun mencerminkan kalau dia adalah orang barat.Julian menatap Jenar. “Kekasihku,” akunya. Tentu saja Jenar terkejut bukan main. Ingin memprotes tetapi dia tidak bisa.“Kami akan menikah.” Julian menambahkan.Ternyata bukan hanya Jenar yang terkejut sekarang, tetapi wanita itu juga.Julian memahami keadaan. “Jenar, perkenalkan ini adalah Anne Daisy.” Julian menatap Anne. "Anne, ini Jenar. Calon istriku.” Julian dengan bangga memperkenalkan Jenar.Anne mengertukan keningnya. “Berapa usiamu?” Dia langsung pergi pada poin pembicaraan. “Kamu awet muda atau memang masih muda?” Anne menelisik penampilan Jenar.“25 tahun,” jawab Jenar seadanya. Melirik Julian. “Usia tidak penting,” imbuhnya dengan lirih. Tersenyum canggung, berpura-pura bahwa hubungan mereka benar-benar berlanda
Baca selengkapnya
15. Bertemu anak tiri
Jenar duduk di atas sofa sembari memandangi keadaan sekitarnya. Rumah mewah ini seakan membelenggu kebahagiaannya. Hanya ada kekhawatiran besar di dalam hatinya sekarang."Jasmine akan pulang sebentar lagi. Katanya dia sudah ada di depan gang komplek," ucap Julian. Menghampiri Jenar dengan membawakan secangkir teh untuk kedatangannya.Penyesalannya datang lagi. Dia seharusnya tadi menolak saat dia itu mengajaknya untuk sekalian datang mampir ke rumahnya.Jenar tersenyum manis pada Julian. "Di mana Jean?" tanyanya. Syukurlah kalau nama anak terakhir Julian mudah diingat olehnya."Aku menitipkannya di pengasuh. Katanya mereka sedang jalan-jalan di taman, nanti juga akan kembali karena aku sudah menelepon kalau ada tamu penting yang datang ke rumah." Pria itu menjawab seadanya. Duduk di depan Jenar. "Bagaimana dengan rumahku?" tanya Julian lagi. "Apanya yang bagaimana?" Jenar mengernyitkan dahi. "Nyaman untuk kamu?" Julian sepertinya tergesa-gesa, tentang Jenar yang harus segera menye
Baca selengkapnya
16. Kamar calon anak tiri
“Boleh aku masuk?” Jenar tidak tahu apakah dia akan melakukan kelancangan yang membuat Jasmine semakin membenci dirianya atau tidak. Dia hanya ingin datang  dan berbicara. Jasmine tidak memberi jawaban. Dia meringkuk di dalam selimut tebalnya. “Aku anggap boleh,” ucapnya terdengar bimbang, meskipun begitu Jenar masih memaksakan diri untuk masuk ke dalam kamar Jasmine. “Papa kamu mengijinkan aku masuk ke sini untuk berpamitan pulang.” Jenar memulai kalimatnya. Dia masih takut jika itu hanya akan menambah kemarahan Jasmine saja. Jasmine menurunkan selimutnya. Dia bangkit dari tempat tidurnya dan menatap Jenar. “Kenapa melihatku seperti melihat monster?” Jenar berusaha untuk bergurau. Sayangnya, Jasmine tidak  menangkap kalimat itu. “Katakan padaku dengan jujur!” Dia memer
Baca selengkapnya
17. Menikahi duda kaya
Satu bulan kemudian. Pesta pernikahan menyertakan Jenar dan Julian sebagai tokoh utamanya. Ucapan selamat berdatangan mengiringi kebahagaian mereka berdua. Pesta digelar sederhana, sesuai dengan permintanaan Jenar. “Jujur aku kecewa sama kamu,” bisik Sarah pada Jenar. Dia tidak menyangka kalau temannya akan senekat ini. Jenar tersenyum simpul. “Maafkan aku.” Sarah bersedekap di depannya. Memandang temannya dengan balutan gaun pengantin. “Kamu benar-benar jadi istri seorang duda sekarang. Padahal aku hanya bercanda waktu itu,” katanya pada Jenar. Sedikit ketus, mengekspresikan kecewanya. Jenar hanya mengangguk. “Ingat Jenar. Jangan datang padaku kalau terjadi apapun.” Sarah memberi penekan pada Jenar. “Aku sudah memperingatkan itu padamu dulu.” Jenar malah tertawa kecil. “Ha
Baca selengkapnya
18. Mantan istri yang menyebalkan
“Tidak jadi menemui temanmu?” Luce datang menghampiri Jenar, dia berdiri di sisinya. Jenar menatapnya dalam diam. “Katanya tadi mau pergi karena ingin menjamu tamu yang lain,” ucapnya sembari melirik pada Jenar. Dia mengambil minuman dari atas meja. Tersenyum lagi pada Jenar. “Namun kamu malah di sini.” Jenar merasa risih dengannya. Sikap Nyonya Luce berubah begitu saja. Tidak seperti saat mereka bertemu sebelumnya. “Temanku ternyata sudah pulang,” jawab Jenar seadanya. “Tanpa pamit sama kamu?” Luce menyahut lagi. Jenar manggut-manggut. “Mungkin terburu-buru, dia orang sibuk dan aku memberi undangan dua hari sebelumnya. Itu sangat mendadak,” ujar Jenar. Dia sedang membicarakan Sarah yang menghilang entah ke mana. Luce bersedekap dengan satu tangan. Menoleh ke kanan da
Baca selengkapnya
19. Bisikan anak tiri
Setelah pesta pernikahan, hidup baru Jenar dimulai. Jenar tersenyum lebar. Menatap Jasmine dan Julio yang duduk berdua, bercengkerama di atas sofa. Setidaknya dia disambut dengan pemandangan wajar yang begitu pantas untuk dilihat. “Boleh aku bergabung?” tanya Jenar seraya berjalan mendekat. Suara Jenar menyela percakapan keduanya. Jasmine dan Julio menoleh padanya. “Tidak boleh?” Jenar langsung menyimpulkan kala raut wajah keduanya berubah. Julio menggeratkan giginya. Dia memilih membuang pandangan matanya sekarang. Tentu saja dia masih belum terbiasa dengan situasinya. “Kamu mengizinkan dia bergabung?” bisiknya pada Jasmine. Jenar terlalu dekat untuk tidak mendengar bisikan itu. Jasmine melirik Jenar, lalu menggelengkan kepalanya. “Aku malah mengira kakak yang akan mengizinkan dia,” ujarnya sembari menyeringai. “Kalian bisa berbicara dengan santai, jika memang tidak nyaman dengan—“ “Ah, aku baru ingat!” Jasmine menyentak dengan nada bicaranya. Memotong kalimat Jenar. “Aku a
Baca selengkapnya
20. Malam pengantin baru
Malam tiba. Jenar menunggu di teras rumah dengan hujan gerimis yang membasahi malam. “Bu Jenar?” Wanita paruh baya memanggilnya. Dia adalah Mariani, pengasuh Jean sejak dia lahir—begitu kata Julian padanya. “Mau pulang?” tanya Jenar. Tersenyum tipis padanya. Dia memandang wanita itu dari atas sampai bawah. “Iya, Bu. Pak Julian kemarin berpesan kalau jam kerjaku akan berkurang karena Bu Jenar ada di sini.” Mariani berbicara lembut, penuh kesopanan meskipun Jenar seusia dengan anak termudanya. “Kalau Jean sudah tidur, aku boleh pulang.” Mariani mengimbuhkan. “Aku baru saja menidurkan dan membersihkan kamarnya, Bu.” Jenar manggut-manggut. “Biasanya kamu pulang jam segini?” Jenar melirik jam tangan miliknya. “Masih pukul tujuh,” sambungnya. “Biasanya pulang jam sembilan atau cepat jam delapan. Tergantung Pak Julian ada lembur atau tidak.” Senyum tidak pernah luntur darinya. Secara personal, tanpa mempertimbangkan banyak hal, sejak pertama kali dia melihat Jenar, Mariani sudah menyuka
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
16
DMCA.com Protection Status