Semua Bab Hanya Karena Tak Berpendidikan Tinggi: Bab 41 - Bab 50
143 Bab
BAB 41 Pra Sidang
"Astaghfirullah! Hanah? Kamu darimana? Kok datang lari-lari seperti itu?" Ibu dengan cemasnya bertanya setelah aku tiba di rumah dengan nafas ngos-ngosan karena tadi berlari lumayan jauh.Aku fikir ibu dan Afni belum pulang. Sejenak kuatur nafas ini untuk menjawab pertanyaan ibu."Ini, Nak, minum dulu." Ibu bergegas membawakan segelas air putih untukku. Ya, aku memang haus. Segelas air putih sudah berpindah dari lengan ibu ke lengaku.Dada ini masih naik turun. Aku melihat tatapan ibu yang penuh dengan raut kekhawatiran juga penuh dengan raut penasaran."Kamu kenapa? Darimana? Dan pintu rumah ini kebuka loh, Han, juga pintu belakang. Apa ada penjahat masuk ke rumah?" Ibu gelagapan bertanya. Mungkin ia terlalu khawatir."Kamu tidak apa-apa kan, Han?" Ibu kembali bertanya. Mulut ini masih belum bisa membuka untuk menjelaskan. Nafas pun masih kuatur."Ibu? Ibu kenapa?" Anakku pun terlihat khawatir. "Ibu di sakiti orang?" Imbuhnya lagi. Kini Afni duduk di sampingku. Lalu ia memelukku."Sa
Baca selengkapnya
BAB 42 Sebentar Lagi
"Oh, ya, besok sidang perdana kamu, Han. Om Satria juga sudah siapkan semuanya." Resti angkat bicara lagi. Setelah kami selesai membahas soal design, kini beralih tema."Iya." Aku menjawab.Resti elus lenganku. "Yang tabah ya, Han. Kamu pasti dapatkan yang lebih baik dari Jimy. Semoga Jimy juga tidak mempersulit persidangan besok. Tapi aku yakin om Satria bisa atasi itu."Terfikir."Pak Satria?" Bathinku kaget. Nada suara Pak Satria secara otomatis langsung teringat. Memori otak ini dengan cepat memutar."Han?" Resti memecah lamunanku."Eh iya. Aku harap juga begitu. Tapi ... yang paling penting sekarang aku bisa sekolahkan Afni sampai ke jenjang yang tinggi. Supaya ia tak di rendahkan sepertiku, Res," jelasku dengan raut wajah sendu."Aamiin. Aku akan selalu doakan kamu." Kuanggukkan kepala ini beberapa kali dengan semaikan senyuman pula."Besok kamu mau bareng sam om Satria sama aku atau gimana?" tanya Resti."Loh, sama kamu? Kamu mau ikut?" tanyaku balik."Iya, mau temenin.""Gak k
Baca selengkapnya
BAB 43 Menuduh Balik
"Ah, Mas, jangan ladeni orang ini. Ayok masuk!" ajak Tika pada Mas Jimy. "Ish, siapa yang duluan nyingir dan nimrung? Kalian, kan? Ayok, Han, Om, kita masuk." Resti meraih lenganku hingga kini kami sudah jalan lebih dulu. Tika dan Mas Jimy jadinya malah masuk belakangan.Kini sidang pun akan segera di mulai. Kami para hadirin di persilahkan masuk untuk menempati tempat duduk yang kosong. Aku dan Resti duduk berdampingan, sedangkan Pak Satria duduk di kursi yang memang harusnya ia duduki. Dari pihak penggugat. Alasanku datang ke sidang perceraian pertamaku adalah untuk membuktikan kalau aku bisa tegar dan bertahan meskipun Mas Jimy telah tak lagi bersamaku. Dari daun pintu terlihat Mas Jimy dan Tika sudah berdiri menatap nanar ke arahku yng sudah lebih dulu duduk. Netra Mas Jimy seperti bicara kalau dia amat membenciku. Dan dia tak mau melihatku bahagia. Mungkin."Para hadirin silahkan duduk." Salah satu petugas pengadilan dari tim baju hitam memerintahkan kami untuk duduk karena seb
Baca selengkapnya
BAB 44 Istrinya Hamil
"Pak Hakim! Saya juga punya alasan kenapa saya balik gugat dia. Itu karena selama ini dia menjadi wanita mur*h*n! Dia layani laki-laki kaya tetangga kami!"Deg! Ngaco.Apa yang ia maksud itu tentang Pak Zen? Astaghfirullah!Kepala ini menggeleng beberapa kali."Maaf, nanti ada waktunya anda untuk bicara. Silahkan pihak penggugat menyelesaikan." Pak Hakim mempersilahkan kembali Pak Satria sebagai pengacarku untuk bicara. "Saya rasa sudah, Pak Hakim. Silahkan kalau pihak yang bersangkutan ingin segera bicara." Kata Pak Satria. Dan memang semuanya sudah di utarakan. Hanya belum selesai secara sempurna. Pak Satria yang bertubuh sixpack itu pun kini sudah diam dan siap mendengarkan."Han? Maksud suami kamu apa?" Resti bertanya perihal aku yang di katai dan di fitnah oleh Mas Jimy."Biarlah dia bicara semaunya. Kalau tanpa bukti 'kan jatuhnya fitnah dan pencemaran nama baik." Aku menjawab pertanyaan dari Resti."Silahkan, saudara tergugat." Pak Hakim mempersilahkan."Saya sekarang yang gug
Baca selengkapnya
BAB 45 Diantar Pulang
"Dimana gangnya, Mbak?" tanya Pak Satria."Iya ini. Disini saja, Pak Satria." Aku memberhentikan laju mobil Pak Satria. Ini adalah kali pertamaku duduk dan di antar oleh mobil sport Pak Satria. Nyaman sekali. Bukan tak malu memberhentikan lajunya seperti seorang sopir 'Pak' tapi mau bagaimana lagi."Terima kasih banyak ya, Res, Pak Satria. Saya sudah merepotkan kalian. Padahal, saya harusnya sendiri saja. Saya mohon maat juga atas kelakuan mantan suami saya dan istrinya." Kini mereka berdua telah mengantarkanku ke depan gang. "Tidak apa-apa, jangan khawatir. Aku seneng kalau bisa bantu kamu." Resti angkat bicara. Kami masih diam di dalam mobil."Gak usah gak enak. Memang ini sudah tugas saya." Pak Satria berkomentar."Oh, ya, ini jalan ke rumah Mbak Hanah?" Pak Satria bertanya. Tatapannya seperti menyelidiki sesuatu."Iya, Pak. Ini gang masuk ke rumah saya." Aku menjawab. "Area gundukkan rumah-rumah sederhana." Aku merasa tak enak."Memangnya kenapa ya, Om? Kayak aneh gitu?" ujar Res
Baca selengkapnya
BAB 46 Datang Ibu dan Tika
"Olahraga yang bikin terluka, Pak." "Enggak, saya gak apa-apa. Tubuh saya gak ada yang luka sedikitpun. Mbak Hanah santai saja." Pak Satria orangnya sangat santai dan bersahaja sekali. Bicaranya kalem dan santun. "Jangan panggil Pak dong, Han, Om aku kayak tua banget kesannya. Padahal wajahnya unyu-unyu gitu. Sixpack. Kayak umur 17 tahun." Resti membuatku gugup. Nada bicaranya seperti mengejek Pak Satria."Hush!" Pak Satria nampak kaget lalu semprot lagi ponakannya itu."Om, kan belum Bapak-bapak. Nah, Han, lebih baik kamu panggil Mas saja. Dan Om panggil teman aku jangan Mbak, dong, kan dia lebih muda dari Om." Resti ini apa-apaan?"Ya terserah lah, asal jangan panggil saya Kakek atau Opa saja." Pak Satria terkekeh. Pun denganku."Jadi, kamu panggil Om aku, Mas saja. Biar gak terlalu formal." Bisik Resti. "Enggak ah. Gak enak!" Aku menolak. "Om panggil teman aku Hanah saja. Jangan ada embel-embel 'Mbak' nya. Memang Mbak tukang jamu?" celetuk Resti.Kami hanya diam mendengarkan Res
Baca selengkapnya
BAB 47 Ingin Bawa Anakku? Silahkan kalau mau
"Ibu? Tika?" Aku kaget melihat kedatangan mereka berdua. Netranya sudah berbau sinis sejak tadi.Aku masih menyelesaikan pesanan dari ibu-ibu yang masih menunggu. "Hey, Hanah! Kamu sok bawa pengacara ke pengadilan. Sok kaya sekali kamu. Timbang jadi penjual nasi uduk saja." Sungut ibu mertua mulai angkat bicara. Di depan umum. Sejenak aku belum menggubrisnya. Malu pada tetangga."Ini, Bu, Mbak," ucapku seraya memberikan pesanan mereka yang sudah di kemas dengan kresek putih."Ini uangnya, Han." Bu RT untungnya kasih uang pas. "Ini, Mbak Han!" Pun dengan Mbak Eli, dia beri pula uang pas."Kita pergi ya. Takut!" Bu RT seperti mengejek kedatangan ibu dan rengrengannya. "Iya, Bu, Mbak, maaf ya." Aku menjawab bisik-bisik. Ibu mertua masih tetap berdiri menyilang lengan di bawah dada.Ibu-ibu telah pergi."Maaf, Bu, silahkan duduk dulu. Tidak baik bicara apalagi marah-marah sambil berdiri." Aku berkomentar sambil terus menahan emosi."Han? Ada apa?" Ibu datang."Bu Niken?" Ibu kaget. Netra
Baca selengkapnya
BAB 48 Menghina Pengacaraku
"Gak mau. Aku gak mau pergi sama Ayah. Afni mau sama Ibu." Anakku tak mau ikut dengannya."Ayok!" Mas Jimy menjewang lengan anaknya. Lantas aku kaget. "Mas! Kalau kayak gitu cara kamu bawa anak kita, kamu sama sekali gak bisa lembut, aku gak akan biarin kamu bawa dia." Aku menyingkirkan tangan kasar seorang Jimy dari lengan anak kami."Hey, Afni anakku. Dia berhak aku bawa dan aku urus!" Mas Jimy membentak."Tapi cara kamu kasar sekali. Mana mungkin aku bisa tenang membiarakan Putri semata wayangku hidup bersama orang tua macam kamu." Aku mulai naik pitam. Afni mengeluarkan isak tangis."Halah! Kamu juga gak becus! Kamu malah bawa-bawa anak kecil untuk ketemu pacar kamu si pemilik hotel itu! Banyak tetangga yang bilang kamu suka datang kesana." Mas Jimy kembali menuduh kalau aku dan Pak Zen ada hubungan gelap. Padahal aku kesana hant untuk menjemput Afni. Pun tidak setiap hari."Jangan asal tuduh kamu, Mas! Kamu lebih baik pergi. Anakku akan tetap di sini!" Nadaku naik satu setengah o
Baca selengkapnya
BAB 49 Kena Skak
"Arkh!" Mas Jimy merintih. Pak Satria layangkan tonjokkan di pipi kirinya. Pasti sakit sekali."Anda jangan asal bicara. Saya bisa bawa ini ke jalur hukum atas kasus pencemaran nama baik." Dengan gagah perkasa setelah menarik kemeja Pak Satria angkat bicara. Nadanya tak terlalu tinggi tapi ada hentakkan di setiap kata demi kata.••"Alah! Aku juga tahu! Mana punya uang dan mana mau kamu di sewa gratisan!" Mas Jimy tak juga menyesal setelah bicara. Sambil memegangi pipi yang sakit, dia malah menghina Pak Satria. Aku benar-benar malu."Jaga bicara kamu, Mas Jimy! Dari dulu kamu memang tidak beradab. Bicaramu seperti orang yang tidak berpendidikan. Bahkan orang yang tak berpendidikan tinggi seperti kamu pun punya etika yang lebih baik. Ini! Kamu yang katanya makan bangku esde sampai makan bangku kuliah, ternyata mulut kamu tak juga mendapat didikan. Kamu tak lebih dari pria yang hanya sekolah karena gengsi saja. Etika kamu, pendidikan kamu, nol besar, Mas!" Tak tahan lidah ini ingin berg
Baca selengkapnya
BAB 50 bertemu lagi
"Bu, Hanah sama Afni mau ke pasar dulu. Mau beli pakaian buat Afni beberapa. Kan kebanyakan masih di rumah yang dulu. Kalau kesana Hanah takut." Aku ijin pada Ibu untuk pergi ke pasar bersama putri kecilku."Oh iya, hati-hati.""Nenek gak apa-apa di tinggal sendiri?" Anakku khawatir pada neneknya.Ibu menggelengkan kepala lalu ia membungkuk untuk mengelus pipi Afni. "Gak apa-apa dong, Nak. Nenek 'kan bentar lagi mau buka warung. Semuanya juga sudah siap di bantu sama Ibu kamu. Kalau mau pergi, pergi saja. Jaga diri kalian baik-baik." Ibu berpesan. Kini ia kembali berdiri."Nenek mau apa?" tanya putriku."Oleh-olehnya?" kata anakku. Ibu menyeringai. "Ah gak mau apa-apa. Yang penting kalian selamat. Pulangnya jangan terlalu sore, ya." Ibu kembali berpesan."Apa Nenek mau es krim?" tanya anakku lagi. Dasar bocah. Aku hanya tersenyum.Ibu menggelangakan kepala lagi. "Enggak, ah. Gigi Nenek udah gak kuat. Entar gigi Nenek sakit. Suka kesentak uratnya. Sakit. Nenek 'kan sudah sepuh, Nak." I
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
15
DMCA.com Protection Status