Semua Bab Aku Istri Kekasih Sahabatku: Bab 141 - Bab 150
182 Bab
Bab 141. Caraku Ternyata Salah
"Bagaimana cara agar bisa melupakan Aksa, kalau sekarang saja kami tinggal bersama? Aku sadar, aku tak pantas untuknya. Perbedaan kami sangat jauh, Aksa pantasnya dengan perempuan seperti Utami. Tetapi aku juga tidak bisa mengatur, siapa lelaki yang bisa aku cintai dan tidak. Aku tidak pernah meminta untuk mencintai Aksa. Yang aku tahu, perasan ini menetap tanpa izin. Datang dengan sendiri tanpa aku sadari. Aku juga yakin, akhir dari kisah ini, aku yang akan tersakiti." Eka hanya menjadi pendengar terbaik. Dia sesekali mengusap punggung belakangku, berusaha menenangkan. Mungkin aku terlalu terseduh karena baru pertama kali bercerita. Mengeluarkan segala keluh di hati. Aku terus saja bercerita. Ada rasa nyaman bercerita pada Eka. Dia tidak pernah memotong perkataanku. Sesekali Eka akan berbicara saat aku sudah terdiam beberapa detik. Lama menjadi pendengar terbaik, Eka pun berkata, "Tidak usah bersedih, Del! Kamu tidak salah … Jadi begini ya ceritanya sebenarnha, kenapa sekarang ka
Baca selengkapnya
Bab 142. Menemui Pak Firman
Setelah lama terdiam, aku pun menjawab. "Tidak masalah jika aku di benci oleh Utami, Eka. Itu sudah resiko dari kecerobohanku. Andaisaja dulu aku bertanya terlebih dahulu ke orangtuaku, siapa lelaki yang akan di nikahkan denganku, semua ini tidak akan terjadi. Karena aku pasti menolak jika tahu lelaki itu adalah Aksa ... Aku akan terus meminta maaf pada Utami. Setidaknya sampai wisuda nanti. Karena setelahnya, mungkin aku akan meninggalkan kota ini.""Makasih ya, sudah mengingatkan aku tentang cara menegur orang. Mungkin aku memang salah tempat saat menegur. Tetapi niatku sama sekali bukan ingin mempermalukan Utami. Aku juga akan terus menegur kesalahannya. Karena dia sahabatku. Andaikan Utami itu orang lain, aku tak mungkin sibuk mengurus kesalahannya. Beda antara kesalahan dan kelemahan, Eka. Kalau kesalahan, ya, harus di perbaiki. Kalau kelemahan, wajib untuk dimaklumi."Aku rasa Eka paham maksud perkataan ku. Setelah lama bercerita-cerita dengan Eka, tiba-tiba handphoneku bergetar
Baca selengkapnya
Bab 143. Tiga Lembar Foto Mesra
Aku langsung mengangkat. Tidak ingin membuat Pak Candra menunggu lama. "Assalamualaikum, Ayah!" ujarku lembut. "Delisia sekarang dimana, Nak?" tutur Ayah yang terdengar dari speaker handphone. "Aku masih di kampus, Ayah. Bagaimana?" "Kalau sudah pulang, kamu singgah di rumah dulu ya. Ada yang ingin ayah bicarakan dengan kamu. Harus hari ini." "Iya, Ayah." Setelah aku menyetujui permintaan Pak Candra, panggilan langsung berakhir. Terbesit tanya dalam benak. Pak Candra tidak pernah menyuruhku ke Rumahnya secara mendadak. Ah, mungkin saja Pak Candra ingin meminta tolong sesuatu padaku. Tak perlu aku takut dan berpikir negatif. Lebih baik aku ke sana saja sekarang saja, dari pada penasaran terlalu lama. Lagi pula aku sudah tidak punya urusan lagi di kampus. "Eka, aku balik duluan ya. Ada agenda mendadak. Oh iya, kalau ada apa apa, kamu bisa menelponku." ujarku setelah menaruh handphone ke dalam tas. "Iya, Del. Makasih ya." Aku pun berlalu dari samping Eka. Aku sengaja mengat
Baca selengkapnya
Bab 144. Kemarahan Pak Candra
Aku mengambil foto itu. Bibir masih terkunci, belum menjawab pertanyaan Pak Candra. Kini ditanganku ada foto sepasang kekasih yang sedang berpelukan mesra. Dia suamiku dan sahabatku. Jadi ini penyebab Pak Candra menyuruhku datang ke sini. Aku juga mengambil dua foto yang lain. Satu foto, Aksa menatap Utami penuh cinta. Sedangkan satu foto yang lain, Aksa dan Utami nampak sedang tertawa bersama. Aku tidak tahu, dalam foto ini mereka sedang berada di mana. Mungkin foto ini di ambil saat mereka sedang berlibur. Pemandangan sekitarnya sangat asing buatku. "Jelaskan ke ayah, apa yang sudah terjadi dalam pernikahan kalian?" Pak Candra kembali berbicara. Mungkin karena aku masih diam saja. "Apa yang sudah kalian sembunyikan dari ayah?" Aku pun menatap wajah Pak Candra yang nampak marah. "Maafkan aku, Ayah." tuturku sambil menunduk. Ya hanya kalimat maaf yang mampu aku ucapkan. Ada perasaan bingung untuk berucap. "Sejak kapan Aksa punya pacar?" Aku kembali terdiam. Tak ingin terkesa
Baca selengkapnya
Bab 145. Membela Aksa
"Kamu pasti sedang bercanda, Nak. Mana mungkin orang sebaik kamu bisa selingkuh. Pasti kamu hanya ingin membela Aksa. Anak ini memang bandel. Dia sudah sering membuat ayah marah. Dulu saja waktu ayah menjodohkan kalian, dia sampai membuat ayah masuk rumah sakit." Pak Candra sesekali melihatku. Namun, tatapannya lebih banyak mengarah pada Aksa. Ayah memang sudah sering menceritakan karakter menjengkelkan tentang Aksa. Aku selalu merespon hanya dengan tersenyum. Tak perlu menambah perkataan, jika Pak Candra menceritakan kejelekan Aksa. "Selama ini Aksa sangat baik memperlakukan aku sebagai istrinya. Dia tidak pernah marah-marah. Dia tidak pernah berkata-kata kasar padaku, Ayah. Aku sangat merasa bersalah karena telah selingkuh. Padahal selama ini Aksa sangat baik padaku. Mungkin kenapa sekarang Aksa akhirnya ikut selingkuh, karena dia ingin membalas perbuatanku padanya." Aku masih saja berkata dengan wajah sendu. Berharap Pak Candra percaya dengan semua perkataanku. Aku memperbaik
Baca selengkapnya
Bab 146. Aksa Membisu
"Kamu tidak usah takut, Delisia. Kalian tidak boleh merahasiakan masalah dari orangtua. Kalau orang tuamu mendengar dari orang lain, lebih berbahaya. Mereka pasti akan semakin kecewa." "Tidak usah, Ayah. Aku akan selesaikan semuanya dengan Delisia tanpa di tahu oleh orang tuanya di kampung." Aksa berkata dengan tegas sambil melihat Pak Candra. "Dari tadi ayah sudah memberimu kesempatan untuk bicara. Kenapa baru bicara sekarang? Apapun yang terjadi nanti, itu tergantung keputusan ayah. Kamu jangan membantah! Orang tua Delisia sudah di perjalanan. Tidak lama lagi mereka akan tiba." "Ayah, ini rumah tanggaku! Ayah tidak boleh membuat keputusan sesuai keinginan ayah! Aku yang berhak membuat keputusan untuk rumah tanggaku!" Suara Aksa meninggi. Aku menatapnya. Tidak menyangka dia berani berkata begitu di depan Pak Candra. Aksa yang biasanya selalu bersikap sopan di hadapan ayahnya, kini berubah. Ada apa dengan Aksa? Mungkin kah dia tidak setuju dengan skenario yang aku buat? Padahal
Baca selengkapnya
Bab 147. Tangisan Ibu
Tidak terasa, kami berada di ruang tamu sudah lebih dari dua jam. Aku belum bisa beranjak karena Pak Candra pun masih duduk di sampingku. Aksa menatap kosong ke depan. Sebenarnya apa yang sedang dia pikirkan? Jika saja dia bicara, melanjutkan skenario yang sudah aku buat, masalah pasti akan selesai. Aksa cukup katakan jika aku yang salah. Dia hanya membuat pembelaan agar tidak terpojokan. Tetapi kenapa Aksa justru menjadikan masalah ini semakin rumit? Aku tidak mengerti jalan pikiran lelaki ini. Harusnya dia sudah senang dan berterima kasih padaku, karena aku telah menolongnya. Tetapi tindakan yang dia lakukan justru tak jelas. Kalau akhirnya akan seperti ini, lebih baik tadi aku diam saja. "Assalamualaikum." Suara lembut seorang perempuan dari pintu, membuat aku, Aksa dan Pak Candra menoleh. Aku langsung berdiri. Tangan terurai untuk memeluk. "Ibu!" ujarku saat sudah berada dalam pelukan. Aku sudah merindukan sosok ini. "Oh kamu dan Aksa juga di sini. Ini ibu dan ayah bawa
Baca selengkapnya
Bab 148. Aksa Si Lelaki Ambigu
"Ibu tidak menyangka, Nak, kamu bisa melakukan hal sekeji itu. Selama ini kami selalu mengajarkan kamu untuk menjadi anak yang patuh dan taat pada suamimu. Ternyata semua yang kami ajarkan tidak kamu lakukan. Justru kamu melakukan sesuatu yang sangat memalukan … Apa kamu lupa, salah satu nasehat yang pernah ibu katakan setelah kamu menikah? Kelak di akhirat nanti, kamu akan ditanya tentang hak suamimu. Telah dipenuhi atau tidak? Apa yang akan kamu jawab nanti, kalau yang kamu lakukan adalah berselingkuh di belakangnya," ucap ibu dengan terseduh. Beberapa detik, hanya suara tangis yang terdengar. Ibu nampak sangat murka mendengar aku selingkuh. Aku harus bagaimana sekarang? Aku tidak bisa menghentikan kebohongan ini. Tetapi, aku juga tidak bisa membiarkan ibu dan ayah terluka seperti ini. "Kamu pulang saja, Delisia. Ikut kami! Jangan buat malu lagi," ujar Ayahku yang sedari tadi hanya diam saja. Aku mengangkat wajah untuk melihat ayah. Bahkan ayah tidak ingin menatapku. Aku pun ke
Baca selengkapnya
Bab 149. Dasar Lelaki Aneh!
Aku tersadar, ternyata Aksa masih di sini. Tadi dia tidak ikut berdiri bersama Pak Candra. Aksa tidak bersuara. Sama sepertiku, dia hanya menjadi pendengar saat ayah dan ibu mengeluarkan kalimat keluh dan nasehat. Berarti Aksa telah mendengar semuanya. Jika aku selalu memujinya di hadapan ayah dan ibu. Ahh, sebenarnya aku malu. Tetapi tak apa-apa. Toh juga sudah terlanjur. Tidak lama kemudian Aksa berdiri. Dia berlalu dari ruang tamu. Mungkin saja dia jenuh mendengar kalimat maaf dari ibu dan ayahku. Apalagi orang tuaku selalu mengatakan kalimat pujian untuknya. Sesuai dengan semua perkataan saat aku menceritakan dirinya pada kedua orang tuaku. Aku telah berdiri dan duduk di samping ibu sambil memeluknya. Sungguh, aku sangat merasa bersalah karena telah membuat ibu menangis. Ini pertama kalinya aku membuat airmata jatuh dari kelopaknya. "Ayah, ibu, kalau mau istirahat, langsung saja ke kamar. Ini asisten rumah yang akan mengantar ibu dan ayah ke kamar." Aksa muncul dengan memba
Baca selengkapnya
Bab 150. Aksa Tak Ingin Membahas
Tepat di jam delapan malam, aku sudah mengetuk pintu kamar Aksa. Katanya dia mau makan, kenapa belum keluar kamar? Padahal aku sudah menyiapkan makanan di atas meja. Makanan ala kadarnya sesuai dengan bahan yang masih tersedia di kulkas. Tok! Tok! Aku kembali mengetuk pintu karena Aksa tak kunjung menjawab. Lelaki ini sangat membuatku pusing. Ya Allah, ternyata kesabaranku hanya setipis tisu jika menghadapi tingkah menyebalkan seorang Aksa. "Aksaaa! Kamu mau makan tidak? Makanannya nanti dingin, kalau kamu tidak makan sekarang!" Aku setengah berteriak, agar Aksa bisa mendengar suaraku. Aksa pun keluar dengan memakai celana pendek dan kaos putih. Beberapa detik, mataku tak berkedip. Aku terpesona melihat kegantengannya. Tidak berdosa 'kan jika aku menatapnya? Dia sudah halal bagiku. Aksa lalu berjalan melewatiku. Aku berpura-pura batuk untuk menghilangkan kegugupan. Aksa lalu berdiri di dekat meja makan yang sudah tersedia hidangan di atasnya. "Kenapa tidak duduk?" tanyaku d
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1314151617
...
19
DMCA.com Protection Status