Aku tidak mengetahui jika lelaki yang di jodohkan denganku adalah Aksa, lelaki yang telah lama menjalin hubungan asmara dengan sahabatku. Kini semuanya sudah terlambat, aku tidak bisa membatalkan pernikahan. Aksa bertubi-tubi menyakitiku, dari segi psikis dan fisik. Dia juga tidak ingin status pernikahan kami diketahui oleh Utami – Sahabatku. Seiring berjalannya waktu, aku tidak bisa menjegah perasaan asing tumbuh dihati. Aku telah mencintai lelaki yang telah sah menjadi suamiku. “Jangan pernah bermimpi. Sampai kapan pun aku tidak akan mencintaimu!”Aksa berkata sambil menatapku penuh amarah. “Maafkan aku, sudah menjadi orang ketiga dalam hubungan ini," ujarku, sambil menahan sesak didada. Mampukah aku mempertahankan rumah tangga ini? Ataukah memilih untuk mengalah, demi melihat sahabat dan lelaki yang aku cintai hidup bahagia?
View MoreAku memasuki ruang inap dengan wajah kurang percaya diri. Ditemani oleh ibu dan ayah, kaki terus melangkah masuk. Orang-orang yang ada dalam ruangan ini menatapku dari ujung kaki hingga kepala. Karena malu, aku langsung menundukkan kepala.
Diantara mereka semua, siapa lelaki yang akan menikah denganku? Benak terus bertanya. Sesekali aku mengangkat kepala. Ada rasa penasaran, ingin tahu tentang sosok lelaki itu.
Saat kaki terus melangkah, mataku terfokus pada lelaki yang sedari tadi membelakangiku. Lelaki itu tetap menghadap ke ranjang rumah sakit, yang diatasnya sedang ada pria tua dengan tangan diinfus. Diantara semua orang, hanya dia yang tidak melihatku. Mungkinkah dia, orang yang akan dinikahkan denganku? Mungkinkah lelaki itu sudah mengenalku, sehingga dia mau menerima perjodohan ini? Aku terus bertanya-tanya dalam hati.
"Mari, Pak! Kita mulai!" ucap lelaki yang berdiri dekat meja yang sangat sakral bagiku. Mata lelaki itu melihat dua pegawai KUA yang sedang duduk di kursi sofa yang ada di dalam ruang inap. Dia lalu mendekati sosok pria yang dari tadi masih membelakangiku.
Ayah menarik tanganku untuk mendekat ke sisi rumah sakit yang sudah disediakan sebagai tempat ijab kabul. Dengan ragu, aku melangkah kecil menuju tempat duduk sakral itu. Aku mengangkat wajah untuk melihat ayah, dia masih menggenggam tanganku, menyuruh untuk duduk lewat lirikan mata yang dapat kumengerti. Tempat ini begitu dingin, tangan mulai berkeringat.
Aku menundukan wajah, kini tempat duduk di sampingku sudah berpenghuni. Jantung berdetak dengan cepat. Masih tidak menyangka, kalau sebentar lagi aku akan resmi menjadi seorang istri.
Tiga orang pria dihadapanku sedang menyiapkan beberapa berkas. Sedangkan orang yang duduk di samping, aku belum tahu siapa dia. Kepala yang menunduk hanya bisa melihat kalau lelaki ini memakai celana hitam dengan sepatu yang juga berwarna hitam. Sepertinya sangat mahal, aku tidak tahu berapa harganya.
"Bagaimana, apakah anda sudah siap?" tanya salah seorang pria tua di hadapan lelaki di sampingku.
"Siap, Pak! Kita bisa mulai!" Terdengar lelaki disampingku mengeluarkan suara.
Suara ini sangat tidak asing. Pikiranku mencoba menerka-nerka, suara ini mirip siapa. Tetapi, tak kunjung menemukan. Sudahlah, mungkin hanya perasaanku saja. Lelaki yang memiliki suara mirip di dunia ini ada banyak.
Situasi sangat menegangkan. Tanganku memegang erat rok yang aku pakai. Sedari tadi tangan sudah berkeringat. Ibu mengusap pelan punggung belakangku. Mungkin dia tahu, kalau sekarang anaknya sangat gugup.
"Baik, Pak Aksa. Ikuti apa yang saya katakan! Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Mentari Delisia binti Rusdin dengan maskawin sebuah cincin emas di bayar tunai!"
"Saya terima nikahnya Mentari Delisia binti Rusdin dengan maskawin sebuah cincin emas di bayar tunai!"
Aku langsung mengangkat wajah, rasa penasaran ini harus dituntaskan. Mata menatap kaget lelaki yang saat ini duduk di sampingku. Aku tidak bisa berkedip. Bibir kelu, tak mampu berucap. Aku hanya bisa membatin, jika semua ini tidak mungkin.
Sungguh, aku tidak percaya dengan yang terjadi di depan mataku saat ini. Ternyata ayah dan ibu menjodohkan dengan Aksa, lelaki yang sudah lama menjalin hubungan dengan Utami. Benak masih tidak percaya, jika saat ini aku telah sah menjadi istri kekasih sahabatku.
Aksa menatap lurus ke arah dua pria tua yang ada di hadapan kami. Sedari tadi, dia bahkan tidak menoleh padaku. Dari raut yang terlihat, dia seolah tidak mengenalku. Lebih tepatnya, berpura-pura tidak mengenal.
“Bagaimana, sah?” tanya seorang penghulu yang masih menjabat tangan Aksa.
“Sahhh!” jawab semua orang yang ada di dalam ruangan. Satu tangan ayah memegang pundaku, sedangkan tangan yang lain mengusap dengan sayang puncak kepala. Aku ingin berteriak, mengatakan tidak sah. Namun, perkataan itu tertahan ditenggorokan.
Semua ini salah, aku tidak mungkin menjadi istri Aksa. Dia pacar Utami, sahabatku. Mereka sudah lama menjalin hubungan, sejak kuliah semester satu. Aku masih tidak menyangka, Sungguh, tidak sedikit pun terpikirkan olehku. Mengapa harus dia?
Aku mengalihkan pandangan melihat ibu dan ayah. Ibu langsung berdiri, kini wajahnya tepat berada di depan mataku. Satu ciuman lembut dari ibu menyentuh pipi. Matanya berkaca, memeluk erat tubuhku yang rasanya tak berdaya. “Selamat, sayang. Sekarang kamu sudah menjadi seorang istri,” tutur ibu dengan lembut sambil mengusap kepala yang tertutupi hijab.
Aku masih membisu, wajah seketika pucat pasi. Sungguh, ini bukan pernikahan yang aku harapkan. Bagaimana jika Utami tahu, kalau aku menikah dengan kekasihnya? Mungkin dia akan membenci, marah, dan memakiku. Perempuan mana yang bisa tegar, jika lelaki yang dia cintai, menikah dengan sahabatnya, tanpa dia ketahui.
*** "Ternyata hidup selucu ini. Aku tidak pernah menyangka jika Juna akan menikah dengan Utami. Sungguh kejutan, bukan."A ku tersenyum dan berkata lirih dalam mobil. Saat ini aku sedang mengendara menuju restoran milikku. Aku baru saja pulang dari acara pernikahan Juna dan Utami. Tadi mereka terlihat sangat bahagia. Syukurlah Utami sudah melupakanku. Aku senang Juna menikah dengan Utami. Walau bagaimanapun Utami perempuan baik. Dia layak mendapatkan lelaki yang juga baik. Aku rasa Utami pantas mendapatkan lelaki seperti Juna. Aku dan Juna sudah malam bersahabat. Aku tahu bagaimana dia. Yang tidak pantas itu, kalau Utami menikah dengan Rian. Bisa hancur dunia ini. Rian memang baik. Namun, terkadang tingkah konyol dan mulut beracunnya, membuat orang yang berhadapan dengannya kecewa. "Kamu sekarang dimana, Delisia? Sudah satu tahun aku mencarimu. Sudah setahun pula aku tidak mendengar kabarmu. Kamu baik-baik saja kan di sana?" Ketika mengingat Delisia, wajah pasti akan berubah send
Kamu dimana, Delisia. Harusnya kamu ada disampingku hari ini. Aku rindu kamu. Batinku berbicara. Pikiranku masih saja terfokus pada Delisia. Aku kini dihantui perasaan bersalah kepadanya. Aku tidak sepenuhnya merasa bahagia hari ini. Meskipun kini di depanku, seorang lelaki baik sudah memasang cincin di jari manisku. Tetapi ternyata tidak adanya Delisia membuat pernikahanku terasa sepi. Jika saja Delisia ada di sini, aku pasti sangat bahagia. Aku tidak mengundang Tari dan kawan-kawannya. Sedang malas saja menjawab ribuan pertanyaan yang sebenarnya tidak enak didengar telinga. Selama menjauhi Delisia dan berteman dengan Tari, aku tidak benar-benar senang. Bagaimana tidak, setiap saat aku harus mendengar Tari dan gengnya menjelek-jelekan orang. Benar kata Juna, perempuan baik yang layak dijadikan sahabat hanyalah tipe perempuan seperti Delisia. Dia, si perempuan yang tulus berteman denganku dan selalu menegur ketika aku melakukan sesuatu yang salah. "Selamat, Bro. Aku sebenarnya kec
***Hari ini, aku akan menjalani pernikahan. Bukan dengan Aksa, tetapi bersama Juna. Ahh, aku akhirnya menerima Juna setelah melihat perjuangannya selama setahun ini. Sebenarnya aku belum terlalu mencintainya, tetapi aku ingin membuka hati untuknya. Juna tidak ingin jika kami pacaran. Akhirnya keputusan ini lah yang aku ambil. Menikah dengannya! "Tam, kamu belum selesai di make-up?" Aku kembali mendengar suara mama. Sudah terhitung tiga kali mama masuk ke kamar ini hanya untuk menanyakan tentang kesiapan.Aku tak perlu menjawab. Mama pasti bisa melihat sendiri, apa aku sudah selesai dimake-up atau belum."Mba, tolong cepat-cepat ya. Acaranya tidak lama lagi akan di mulai," ujar mama pada MUA yang sedang memberi hiasan di atas kepalaku."Mama, jangan disuruh cepat-cepat. Nanti jadinya jelek." Aku berkata dengan suara manja. Mama pun keluar tanpa menggubris ucapanku. Iya sih, acaranya tidak lama lagi akan di mulai, tetapi aku tidak suka di suruh cepat-cepat. Takut hasilnya tidak memua
Keesokan harinya, ternyata Juna menepati perkataannya, dia datang lagi di rumahku. Namun sekarang, aku tidak lagi marah-marah seperti kemarin. Saat asisten rumah mengetuk pintu kamar dan memberitahu Juna ada di bawah, aku langsung keluar, turun dari lantai dua kamarku. Juna tersenyum. Tetapi aku tak membalas senyum itu. Aku rasa tidak perlu ramah padanya. "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya Juna dengan wajah yang ceria. "Apa saja yang kamu tahu tentang Delisia?" Aku pikir tidak penting menjawab pertanyaan Juna. Sekarang yang paling penting, aku harus tahu tentang Delisia. Juna pasti sudah mendengar semua ceritanya dari Aksa. "Dia perempuan baik. Banyak hal yang sudah dilakukan Delisia untuk menjaga perasaan kamu, Tam. Termasuk menghilang dari kehidupan kita semua. Sampai sekarang Aksa tidak tahu Delisia berada dimana. Kemarin Aksa juga tidak ikut wisuda karena pergi ke Rumah Delisia yang ada di kampung … Orang tua Delisia tidak mau memberitahu tempat tinggal Delisia sekarang.
Setelah Juna hilang dari pandangan, mataku terfokus pada dua buku diary yang ada di atas meja. Tanganku pun mengambil. Ahh, aku tidak perlu membaca buku ini. Pasti isinya akan sangat menyakitkan untuk aku. Tetapi aku juga penasaran. Memangnya apa sih isinya, hingga Juna memaksaku untuk membacanya? Kalau tidak penting, Juna pasti tak akan membawanya ke sini. Aku pun mengambil. Lalu membawanya ke kamar. Setelah tiba di kamar, aku mengambil diary yang semua halaman dipenuhi tulisan. Aku membuka lembaran pertama. Hari ini seperti mimpi bagiku. Ya Allah, jika ini sebuah mimpi, segera bangunkan aku. Mimpi ini terlalu buruk. Aku tidak tahu jika lelaki yang dijodohkan denganku adalah Aksa, kekasih sahabatku. Bagaimana perasaan Utami jika tahu aku menikah dengan Aksa? Dia pasti akan sangat terluka. Aku tak tahu harus berkata apa padanya. Aku takut Utami membenciku. Di sahabatku satu-satunya. Aku tak ingin kehilangan Utami. Kalau Utami tahu tentang pernikahan ini, dia pasti akan sangat ma
"Pulang! Kalau kamu datang ke sini yang untuk menceritakan mereka, membela mereka. Pulanglah! Aku tidak ingin mendengar cerita apapun tentang mereka. Sakit, Juna! ... Apa yang mereka perbuat sangat menyakitiku ... Kenapa selama ini Delisia tidak jujur padaku? Kenapa dia tidak cerita semua ke aku? Dan Aksa, dia selalu bersikap seolah tidak akrab dengan Delisia. Padahal kenyataannya, mereka sudah menikah ... Mereka menikah dan aku tidak tahu!" Aku histeris. Mungkin suaraku dapat di dengar oleh semua asisten di rumah ini. Aku tidak peduli. Mereka pasti sudah tahu jika aku sedang ada masalah. Setelah tadi Juna melepas pelukan, kini dia kembali membawaku dalam pelukannya. Aku terseduh seduh. Sebenarnya ada sedikit rasa tenang saat berada dalam pelukan Juna. Tetapi tidak mungkin aku katakan. Juna pasti akan besar kepala. Lumayan lama berada dalam pelukan Juna. Dia tidak lagi banyak bicara seperti tadi. Mungkin karena tidak ingin melihatku mengamuk lagi. Juna kini melepas pelukan dengan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments