Semua Bab Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku: Bab 11 - Bab 20
44 Bab
Isi Ponsel
Aku dan Tania melangkah mendekati brankas tersebut dengan hati-hati. Aku melihat banyak tumpukan uang, emas, dan berkas-berkas lainnya."Ambil semua aja, Tan!" pintaku pada Tania. Wanita berjemari lentik itu berhati-hati memindahkan barang-barang dari brankas tersebut ke meja kerja Mas Ibram.Setelah brankas kosong, aku mengecek apa saja isi yang tadi telah kami pindahkan. Kuambil amplop cokelat besar untuk menyimpan uang tunai dan emas batangan. Tak lupa kuambil setumpuk uang bertulis nominal sepuluh juta untuk Pak Hasim. Sepertinya cukup untuk upahnya malam ini."Wah, terima kasih sekali, Bu!" ucap Pak Hasim dengan mata berbinar. Dipeluknya uang bonus tersebut.Selanjutnya aku dan Tania mengecek satu persatu berkas yang masih berserak di meja. Isinya berkas-berkas kantor dan mini market. Tak ada berkas yang berkaitan dengan kecurangan Mas Ibram. Namun, aku menemukan ada lima buah buku tabungan deposito atas nama Mas Ibram yang disimpan
Baca selengkapnya
Amarah yang Salah Sasaran
"Vi, ada apa?" tanya Tania dengan suara terdengar panik.Sementara aku masih mematung dengan jemari gemetaran. Mataku menatap kosong ke depan dengan bibir setengah terbuka.Tania berusaha mengambil ponsel Mas Ibram yang kujatuhkan. Dari sudut mata aku bisa melihat mata lebar Tania bergantian memandangku dan juga ponsel Mas Ibram yang kini di tangannya.Kemudian Tania membuka ponsel Mas Ibram. Kedua mata lebarnya fokus di sana."Tan, tolong antar aku pulang sekarang juga!" pintaku pada Tania.Gemuruh di dadaku sudah seperti gulungan ombak yang siap menerjang karang. Aku akan tendang penipu itu sekarang juga. Tak ada ampun untuk manusia hina sepertinya.Tania buru-buru menaruh ponsel Mas Ibram di pangkuannya. Kemudian dengan lincah, memacu mobil ke arah rumahku."Sampai rumah kamu mau gimana?" tanya Tania sembari menyetir."Aku akan usir dia langsung, Tan. Dia bukan manusia. Aku akan kembalikan dia ke tempat asalnya!" tekadku. Aku tak menangis, bersedih atau perasaan galau lainnya. Yan
Baca selengkapnya
Topeng yang Terbuka
Langkahku tak selebar tadi. Kuseret kakiku mendekati sofa dengan nyali tinggal separuh. Sejak dulu aku memang takut dengan Papa. Aku tak pernah berani melawan laki-laki itu. Papa terlalu keras untuk dijadikan lawan. Ucapannya tak terbantahkan."Viona bisa jelasin, Pa!" ucapku masih berusaha tenang."Duduk!" titah Papa.Sembari duduk, aku bertanya-tanya. Ada apa? Kenapa Papa terlihat begitu marah? Tak mungkin hanya karena aku pulang malam Papa semarah itu."Pa, Viona habis ....""Diam!" bentak Papa sembari kedua bola matanya melotot. "Dengar baik-baik! Sampai kapanpun, Papa enggak akan setuju kamu cerai dengan Ibram!"Mataku melebar mendengar itu. Aku menatap tak percaya pada wajah lelaki yang masih berdiri di depanku. Apa maksud Papa berkata begitu? Aku bahkan belum mengatakan apa-apa. Apalagi tentang perceraian."Maksud Papa?" Aku menuntut penjelasan kepada lelaki berkac
Baca selengkapnya
Tak Punya Malu
Aku terperangah menatap Ibram tak percaya. Aku benar-benar tidak menyangka, selama delapan tahun ternyata aku hidup dengan penipu licik seperti Ibram. Ya, dia lebih pantas langsung dipanggil nama saja. Tak pantas ia dipanggil dengan sebutan Mas. Terlalu sopan untuk seorang penipu. Lelaki itu tersenyum penuh kemenangan. Dia pikir, aku akan menyerah karena tak berhasil mengusirnya? Aku punya banyak cara, Ibram! Sampai mati aku tak ikhlas manusia rubah sepertimu menjadi parasit di rumah ini."Oke, kalau itu mau kamu, aku akan tempuh jalur hukum," ucapku dengan berusaha tenang pada lelaki tak tahu diri itu.Sebenarnya, aku tak ingin melakukan ini. Mengingat, bagaimanapun dia papa Cahaya. Namun, tak ada pilihan lain. Aku tak akan membiarkan lelaki sepertinya mendapatkan apa yang diinginkan."Silahkan, kalau kamu pikir bisa memperkarakan ini," sahut Mas Ibram sembari tersenyum meremehkanku."Kita lihat saja." Pak Sarno tergopoh memasuki ruang tamu. Lelaki paruh baya berbadan kekar itu ta
Baca selengkapnya
Lelaki yang Berstatus Suami
Setelah menghubungi Alvin, aku menghubungi Tania. Aku minta rekomendasi pengacara yang bagus darinya. Karena dulu Tania pun pernah menjalani apa yang akan aku jalani. Sesuatu yang dihalalkan, tetapi juga dibenci oleh Allah. Tania merekomendasikan seorang pengacara muda. Dia bernama Pak Wildan. Segera saja kuhubungi nomor telepon yang Tania berikan. Meskipun sudah cukup malam, tetapi pengacara tersebut masih mau membalas pesanku. Dia memintaku menyiapkan segala sesuatu yang besok diserahkan ke kantor polisi.Ibram masih tak tahu malu memintaku untuk mengurungkan niat melapor polisi. Segala bujuk dan rayu ia ucapkan. Dia pikir aku akan luluh?Tidak akan!Keesokan paginya saat aku membuka pintu, kutemukan Ibram tertidur di lantai persis di depan pintu kamar. Memang pantasnya dia tidur di situ.Aku hanya melewatinya begitu saja tanpa berniat membangunkannya. Di ruang makan, sudah ada Cahaya yang bersiap sarapan dengan Mbak Susi. An
Baca selengkapnya
Mulai Kelimpungan
Aku pasrah saat merasakan kesakitan luar biasa. Tak hanya di leherku saja, tetapi juga dada, kepala dan bagian tubuh lainnya. Bahkan perutku terasa mulas tiba-tiba.Namun, tak kusangka tiba-tiba Ibram melepas cengkeraman tangannya di leherku. Kedua jemari yang tadi mencekikku dengan kuat terlihat gemetar."Maafin aku, Ma! Maafin aku! Aku ...." Ucapannya terpotong saat melihat tubuhku luruh ke halaman berpaving sembari terus terbatuk-batuk. Dadaku masih sangat sesak. Bahkan aku masih kesulitan bernafas."Ma, maaf ...," ucapnya lagi. "Aku tadi sangat emosi. Tolong, maafin aku!"Aku masih tak merespon ucapannya. Sekedar untuk bernafas saja masih tersengal-sengal bagaimana aku bisa bicara.Diraihnya tubuh lemasku dalam gendongan Ibram. Sorot mata lelaki itu tampak begitu khawatir.Apakah Ibram berkepribadian ganda?Ah, entahlah. Aku tak peduli. Yang jelas aku tak sudi hidup bersama laki-laki ini.Ibram tergopoh membopongku memasuki rumah. Begitu berada di ruang tamu, dia berteriak memangg
Baca selengkapnya
Kejutan
Semakin ke bawah, ia mengancam Ibram. Ia akan mengungkap kebenarannya kepadaku kalau sampai tak segera mengirim uang tersebut. Lalu ia juga mengancam akan menghubungi nomor Ibram yang satunya. Berbagai kata kotor dan sumpah serapah Rena kirim untuk Ibram yang dia pikir tak juga mengaktifkan ponselnya.Mungkin karena Rena, tadi Ibram sampai nekat mencekikku. Tuntutan dan Tekanan Rena pada Ibram luar biasa. Lelaki itu pasti kalang kabut karena semua akses keuangan telah aku blokir."Mbok, tolong pijat kakiku!" pintaku saat menyadari Mbok Sar sejak tadi hanya berdiri memandangiku."Oh, iya, Bu."Setelah membaca pesan dari Rena, aku menghubungi Pak Sarno. Aku ingin tahu dia tadi ada dimana. Sekalian aku juga akan memintanya mengamankan rekaman CCTV halaman rumah. Karena tindakan Ibram tadi bisa untuk menambah barang bukti.Aku yakin, Ibram tak akan bisa lolos dari hukuman.Kulepas dahulu jilbab yang masi
Baca selengkapnya
Berlutut
Aku, Rena, dan Fabian kompak menoleh ke arahnya. Sorot mata Ibram menatap tak suka pada Rena.Rupanya laki-laki itu ada di rumah. Habis ngapain dia? Kenapa dari tadi baru muncul?"Mas!" Rena langsung berdiri. Bahkan dia melangkah ke arah Ibram. Namun, baru dua langkah kemudian terhenti."Ada apa? Kenapa ke sini?" Kali ini nada suara Ibram kembali normal. Tak seperti tadi yang terdengar terkejut dan tidak suka."Aku ... aku ...." Rena bergantian menatapku dan Ibram. Ia tampak ragu untuk mengatakan sesuatu."Lebih baik kamu pulang dulu!" pinta Ibram."T-tapi, Mas!" protes Rena."Bram, Rena pasti punya alasan datang ke sini. Kenapa diusir?" Aku ingin melihat drama mereka. "Iya, kan, Ren?" tanyaku seolah berpihak padanya. Aku jadi merasa seperti iblis dengan wajah malaikat. "I-iya, Mbak." Rena tampak salah tingkah."Jadi, ada apa? Ini Ibramnya sudah ada," ucapku sembari duduk.Rena pun melakukan h
Baca selengkapnya
Pelajaran dari Papa
Ibram langsung berdiri dari posisi berlututnya. Sementara Rena masih menundukkan kepala yang berada persis di depan kakiku."Pa!" Ibram melangkah mendekati Papa. Silahkan, hasut dan cari muka sepuasnya! Kamu pikir aku akan peduli dengan omongan Papa?"Ada apa, Bram? Siapa wanita itu?" tunjuk Papa pada Rena yang tidak juga mengangkat wajahnya.Aku memilih diam. Menyaksikan sandiwara mereka. Aku tak akan bersusah payah menjelaskan sesuatu pada orang yang tidak mempercayaiku. Percuma! Sampai berbusa pun, Papa tidak akan percaya.Toh, pada saatnya nanti kebenaran pasti akan terungkap. Jadi, aku tak khawatir soal fitnah yang Ibram lakukan.Rena mulai beringsut. Perlahan wanita berpenampilan persis ondel-ondel yang mau diarak keliling kampung itu berdiri menunduk menghadap Papa."Perkenalkan, saya Rena. Saya ... sepupu Mas Ibram," akunya pada Papa.Dahi Papa seketika mengernyit
Baca selengkapnya
Menantang Ibram
Mbok Sar datang membawa gelas dan juga botol berisi air mineral. Kemudian menyerahkan pada Papa. Lelaki yang tampak kelelahan itu langsung menenggaknya. Sejurus kemudian dahinya tampak basah oleh keringat."Sehat, Om?" sapa Tania pada Papa."Ya. Kamu ada keperluan apa?" ketus Papa. Lelaki itu masih terlihat emosi."Aku mau nemenin Viona visum, Om," jelas Tania.Sementara Ibram dan Rena masih berada di lantai. Rena menangis sembari memandangi wajah suaminya yang babak belur."Bagus!" komentar Papa. "Setelah itu langsung laporkan ke polisi. Nanti Papa akan lobi teman. Agar kasus ini secepatnya diproses," janji Papa.Mendengar itu, Ibram kembali merangkak mendekati kaki Papa. Rupanya dia tak kapok dihajar Papa."Pa, Ibram mohon, jangan laporin Ibram ke polisi! Kasihan Cahaya, Pa!" bujuk Ibram."Aku lebih kasihan pada putriku yang sudah kamu aniaya. Kamu pikir aku pernah menya
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status