Semakin ke bawah, ia mengancam Ibram. Ia akan mengungkap kebenarannya kepadaku kalau sampai tak segera mengirim uang tersebut. Lalu ia juga mengancam akan menghubungi nomor Ibram yang satunya. Berbagai kata kotor dan sumpah serapah Rena kirim untuk Ibram yang dia pikir tak juga mengaktifkan ponselnya.
Mungkin karena Rena, tadi Ibram sampai nekat mencekikku. Tuntutan dan Tekanan Rena pada Ibram luar biasa. Lelaki itu pasti kalang kabut karena semua akses keuangan telah aku blokir."Mbok, tolong pijat kakiku!" pintaku saat menyadari Mbok Sar sejak tadi hanya berdiri memandangiku."Oh, iya, Bu."Setelah membaca pesan dari Rena, aku menghubungi Pak Sarno. Aku ingin tahu dia tadi ada dimana. Sekalian aku juga akan memintanya mengamankan rekaman CCTV halaman rumah. Karena tindakan Ibram tadi bisa untuk menambah barang bukti.Aku yakin, Ibram tak akan bisa lolos dari hukuman.Kulepas dahulu jilbab yang masiAku, Rena, dan Fabian kompak menoleh ke arahnya. Sorot mata Ibram menatap tak suka pada Rena.Rupanya laki-laki itu ada di rumah. Habis ngapain dia? Kenapa dari tadi baru muncul?"Mas!" Rena langsung berdiri. Bahkan dia melangkah ke arah Ibram. Namun, baru dua langkah kemudian terhenti."Ada apa? Kenapa ke sini?" Kali ini nada suara Ibram kembali normal. Tak seperti tadi yang terdengar terkejut dan tidak suka."Aku ... aku ...." Rena bergantian menatapku dan Ibram. Ia tampak ragu untuk mengatakan sesuatu."Lebih baik kamu pulang dulu!" pinta Ibram."T-tapi, Mas!" protes Rena."Bram, Rena pasti punya alasan datang ke sini. Kenapa diusir?" Aku ingin melihat drama mereka. "Iya, kan, Ren?" tanyaku seolah berpihak padanya. Aku jadi merasa seperti iblis dengan wajah malaikat. "I-iya, Mbak." Rena tampak salah tingkah."Jadi, ada apa? Ini Ibramnya sudah ada," ucapku sembari duduk.Rena pun melakukan h
Ibram langsung berdiri dari posisi berlututnya. Sementara Rena masih menundukkan kepala yang berada persis di depan kakiku."Pa!" Ibram melangkah mendekati Papa. Silahkan, hasut dan cari muka sepuasnya! Kamu pikir aku akan peduli dengan omongan Papa?"Ada apa, Bram? Siapa wanita itu?" tunjuk Papa pada Rena yang tidak juga mengangkat wajahnya.Aku memilih diam. Menyaksikan sandiwara mereka. Aku tak akan bersusah payah menjelaskan sesuatu pada orang yang tidak mempercayaiku. Percuma! Sampai berbusa pun, Papa tidak akan percaya.Toh, pada saatnya nanti kebenaran pasti akan terungkap. Jadi, aku tak khawatir soal fitnah yang Ibram lakukan.Rena mulai beringsut. Perlahan wanita berpenampilan persis ondel-ondel yang mau diarak keliling kampung itu berdiri menunduk menghadap Papa."Perkenalkan, saya Rena. Saya ... sepupu Mas Ibram," akunya pada Papa.Dahi Papa seketika mengernyit
Mbok Sar datang membawa gelas dan juga botol berisi air mineral. Kemudian menyerahkan pada Papa. Lelaki yang tampak kelelahan itu langsung menenggaknya. Sejurus kemudian dahinya tampak basah oleh keringat."Sehat, Om?" sapa Tania pada Papa."Ya. Kamu ada keperluan apa?" ketus Papa. Lelaki itu masih terlihat emosi."Aku mau nemenin Viona visum, Om," jelas Tania.Sementara Ibram dan Rena masih berada di lantai. Rena menangis sembari memandangi wajah suaminya yang babak belur."Bagus!" komentar Papa. "Setelah itu langsung laporkan ke polisi. Nanti Papa akan lobi teman. Agar kasus ini secepatnya diproses," janji Papa.Mendengar itu, Ibram kembali merangkak mendekati kaki Papa. Rupanya dia tak kapok dihajar Papa."Pa, Ibram mohon, jangan laporin Ibram ke polisi! Kasihan Cahaya, Pa!" bujuk Ibram."Aku lebih kasihan pada putriku yang sudah kamu aniaya. Kamu pikir aku pernah menya
Ibram dan Rena bersamaan langsung menatapku tak percaya. Mereka pasti tidak menyangka aku akan meminta Ibram melakukan ini.Rena terus menggeleng sembari berkata, "Enggak! Enggak! Jangan, Mas! Jangan ceraikan aku!"Dalam hati aku tertawa puas melihat ketakutan mereka. Ini belum apa-apa dibanding hukuman yang nanti akan kalian terima. Sudah berani menipuku tanpa berpikir panjang. Kalian sama saja telah memasukan diri ke kandang harimau.Aku menatap Ibram dengan tatapan menantangnya. Sementara laki-laki itu tampak kebingungan."Gimana? Ayo, lakukan! Buktikan kalau memang kamu benar-benar cinta sama aku. Aku enggak suka omong kosong," ucapku. "Jatuhkan talak tiga kepadanya!""Enggak!" Rena berteriak histeris. "Jangan lakukan itu, Mas! Jangan!"Wanita itu gemetaran dengan wajah sepucat mayat. Kepalanya terus menggeleng dengan mimik ketakutan."Ma, kita bisa bicarakan ini baik-baik!" bujuk Ibram.Aku tersenyum sinis.
Papa termenung di ruang tamu. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk tangan sofa. Wajahnya masih merah padam. Kuletakkan secangkir teh melati di meja, persis di depan Papa."Tehnya, Pa!" tawarku kemudian duduk di sofa yang berada di samping Papa."Kapan kamu laporkan dia?" tanya Papa."Tadi pagi, Pa. Karena buktinya sudah cukup maka polisi langsung bertindak.""Papa minta maaf!" Lelaki yang biasanya sangat tegas dan tak mau dibantah itu menunduk. Sepertinya Papi sangat menyesal kemarin sempat membela Ibram."Iya, Pa. Enggak masalah. Viona sudah cukup dewasa untuk mengatasi masalah Viona sendiri.""Maaf karena kemarin tidak mendengarkan penjelasanmu!" Wajah tua Papa tampak bersalah. Mata yang kelopaknya sudah keriput itu memerah."Viona juga sebenarnya takut untuk cerita sama Papa. Viona takut kesehatan Papa terganggu." Kirain jemari Papa dan menggenggamnya dengan erat. Papa pun balas menggenggam jemariku."Papa cukup
Kami berjalan bersama menyusuri koridor rumah sakit."Sekalian makan malam, yuk!" ajak Tania."Boleh. Dimana?" sahutku."Horison aja, gimana?" usul Tania lagi."Oke. Kamu, gimana, Wil?" tanyaku."Kalian berdua aja, aku harus ke kantor polisi sama siapin semuanya buat kamu," jawab Wildan."Oke, makasih, ya," ucapku.Lelaki berbibir tipis itu tersenyum manis. Kenapa Tania tak menikah dengan Wildan saja? Mereka sama-sama singgel dan sudah cukup dekat? Nanti harus aku bahas saat berdua dengan Tania.Kami terus mengobrol panjang lebar sembari berjalan. Saat melewati koridor bagian informasi, langkahku terhenti. Aku melihat wajah yang sudah tidak asing. "Rian?" lirihku.Lelaki itu pun sama. Langkahnya terhenti. Rasanya bumi seperti berhenti berputar saat aku melihat kembali wajah orang yang dulu sangat aku cintai. Susah payah aku yakinkan Papa agar setuju aku bersamanya, tetapi dia malah m
Tak terasa kami sudah berdiri di halaman parkir rumah sakit. Wildan masih saja berdiri di samping mobil Tania yang dipakai bersamaku."Oh, ya, kalian mau makan malam dimana tadi?" tanya Wildan.Aku mengernyit. Bukannya tadi laki-laki itu tak tertarik untuk makan malam bersama kami?"Horison," jawab Tania. "Kenapa? Berubah pikiran? Mau ikut?""Iya, boleh, kan? Aku udah lapar juga. Daripada nanti makan sendirian. Mending makan dulu baru ke kantor polisi," jelasnya."Hm, bilang aja masih betah sama kita. Iya, enggak, Tan?" candaku."Ember!" sahut Tania."Pasti, lah. Siapa yang enggak betah bareng gadis-gadis cantik gini," balasnya."Bukan gadis lagi. Tapi jandis!" sahut Tania."Apaan tuh?" tanyaku."Janda rupa gadis," jawab Tania sambil terbahak."Bisa aja kamu, Tan. Tapi bener, kok. Biar janda enggak kalah sama yang masih gadis," can
Aku melangkah ke kamar dengan kepala sedikit ringan. Aku memang tak ingin Ibram menjadi seorang penjahat di mata Cahaya. Karena itu pasti akan membuatnya rendah diri memiliki Papa seorang penjahat. Penjelasan Mbak Susi tepat untuk Cahaya. Nanti ketika anak itu dewasa, ia bisa mengerti kejadian yang sebenarnya. Saat itu dia bisa menentukan, mana yang benar dan mana yang salah.Setelah membersihkan diri, aku merebahkan badan. Kubuka ponsel yang sejak tadi berada di tas. Kulihat banyak sekali pesan dari Rena. Intinya seperti yang ia bilang tadi. Ia mau diceraikan asal Ibram tak dipenjara. Dia pikir aku sebaik hati itu?Kemudian pesan dari Rian. Lelaki itu mengirim beberapa foto kebersamaan Ibram dengan Rena. Bahkan sejak beberapa bulan lalu sebelum aku mengetahuinya.Segera saja kukirim pesan padanya. [Kenapa kamu baru bilang padaku sekarang?][Besok kita sarapan di caffe Sehati, ya!] balasnya.