Setelah menghubungi Alvin, aku menghubungi Tania. Aku minta rekomendasi pengacara yang bagus darinya. Karena dulu Tania pun pernah menjalani apa yang akan aku jalani. Sesuatu yang dihalalkan, tetapi juga dibenci oleh Allah. Tania merekomendasikan seorang pengacara muda. Dia bernama Pak Wildan. Segera saja kuhubungi nomor telepon yang Tania berikan. Meskipun sudah cukup malam, tetapi pengacara tersebut masih mau membalas pesanku. Dia memintaku menyiapkan segala sesuatu yang besok diserahkan ke kantor polisi.Ibram masih tak tahu malu memintaku untuk mengurungkan niat melapor polisi. Segala bujuk dan rayu ia ucapkan. Dia pikir aku akan luluh?Tidak akan!Keesokan paginya saat aku membuka pintu, kutemukan Ibram tertidur di lantai persis di depan pintu kamar. Memang pantasnya dia tidur di situ.Aku hanya melewatinya begitu saja tanpa berniat membangunkannya. Di ruang makan, sudah ada Cahaya yang bersiap sarapan dengan Mbak Susi. An
Aku pasrah saat merasakan kesakitan luar biasa. Tak hanya di leherku saja, tetapi juga dada, kepala dan bagian tubuh lainnya. Bahkan perutku terasa mulas tiba-tiba.Namun, tak kusangka tiba-tiba Ibram melepas cengkeraman tangannya di leherku. Kedua jemari yang tadi mencekikku dengan kuat terlihat gemetar."Maafin aku, Ma! Maafin aku! Aku ...." Ucapannya terpotong saat melihat tubuhku luruh ke halaman berpaving sembari terus terbatuk-batuk. Dadaku masih sangat sesak. Bahkan aku masih kesulitan bernafas."Ma, maaf ...," ucapnya lagi. "Aku tadi sangat emosi. Tolong, maafin aku!"Aku masih tak merespon ucapannya. Sekedar untuk bernafas saja masih tersengal-sengal bagaimana aku bisa bicara.Diraihnya tubuh lemasku dalam gendongan Ibram. Sorot mata lelaki itu tampak begitu khawatir.Apakah Ibram berkepribadian ganda?Ah, entahlah. Aku tak peduli. Yang jelas aku tak sudi hidup bersama laki-laki ini.Ibram tergopoh membopongku memasuki rumah. Begitu berada di ruang tamu, dia berteriak memangg
Semakin ke bawah, ia mengancam Ibram. Ia akan mengungkap kebenarannya kepadaku kalau sampai tak segera mengirim uang tersebut. Lalu ia juga mengancam akan menghubungi nomor Ibram yang satunya. Berbagai kata kotor dan sumpah serapah Rena kirim untuk Ibram yang dia pikir tak juga mengaktifkan ponselnya.Mungkin karena Rena, tadi Ibram sampai nekat mencekikku. Tuntutan dan Tekanan Rena pada Ibram luar biasa. Lelaki itu pasti kalang kabut karena semua akses keuangan telah aku blokir."Mbok, tolong pijat kakiku!" pintaku saat menyadari Mbok Sar sejak tadi hanya berdiri memandangiku."Oh, iya, Bu."Setelah membaca pesan dari Rena, aku menghubungi Pak Sarno. Aku ingin tahu dia tadi ada dimana. Sekalian aku juga akan memintanya mengamankan rekaman CCTV halaman rumah. Karena tindakan Ibram tadi bisa untuk menambah barang bukti.Aku yakin, Ibram tak akan bisa lolos dari hukuman.Kulepas dahulu jilbab yang masi
Aku, Rena, dan Fabian kompak menoleh ke arahnya. Sorot mata Ibram menatap tak suka pada Rena.Rupanya laki-laki itu ada di rumah. Habis ngapain dia? Kenapa dari tadi baru muncul?"Mas!" Rena langsung berdiri. Bahkan dia melangkah ke arah Ibram. Namun, baru dua langkah kemudian terhenti."Ada apa? Kenapa ke sini?" Kali ini nada suara Ibram kembali normal. Tak seperti tadi yang terdengar terkejut dan tidak suka."Aku ... aku ...." Rena bergantian menatapku dan Ibram. Ia tampak ragu untuk mengatakan sesuatu."Lebih baik kamu pulang dulu!" pinta Ibram."T-tapi, Mas!" protes Rena."Bram, Rena pasti punya alasan datang ke sini. Kenapa diusir?" Aku ingin melihat drama mereka. "Iya, kan, Ren?" tanyaku seolah berpihak padanya. Aku jadi merasa seperti iblis dengan wajah malaikat. "I-iya, Mbak." Rena tampak salah tingkah."Jadi, ada apa? Ini Ibramnya sudah ada," ucapku sembari duduk.Rena pun melakukan h
Ibram langsung berdiri dari posisi berlututnya. Sementara Rena masih menundukkan kepala yang berada persis di depan kakiku."Pa!" Ibram melangkah mendekati Papa. Silahkan, hasut dan cari muka sepuasnya! Kamu pikir aku akan peduli dengan omongan Papa?"Ada apa, Bram? Siapa wanita itu?" tunjuk Papa pada Rena yang tidak juga mengangkat wajahnya.Aku memilih diam. Menyaksikan sandiwara mereka. Aku tak akan bersusah payah menjelaskan sesuatu pada orang yang tidak mempercayaiku. Percuma! Sampai berbusa pun, Papa tidak akan percaya.Toh, pada saatnya nanti kebenaran pasti akan terungkap. Jadi, aku tak khawatir soal fitnah yang Ibram lakukan.Rena mulai beringsut. Perlahan wanita berpenampilan persis ondel-ondel yang mau diarak keliling kampung itu berdiri menunduk menghadap Papa."Perkenalkan, saya Rena. Saya ... sepupu Mas Ibram," akunya pada Papa.Dahi Papa seketika mengernyit
Mbok Sar datang membawa gelas dan juga botol berisi air mineral. Kemudian menyerahkan pada Papa. Lelaki yang tampak kelelahan itu langsung menenggaknya. Sejurus kemudian dahinya tampak basah oleh keringat."Sehat, Om?" sapa Tania pada Papa."Ya. Kamu ada keperluan apa?" ketus Papa. Lelaki itu masih terlihat emosi."Aku mau nemenin Viona visum, Om," jelas Tania.Sementara Ibram dan Rena masih berada di lantai. Rena menangis sembari memandangi wajah suaminya yang babak belur."Bagus!" komentar Papa. "Setelah itu langsung laporkan ke polisi. Nanti Papa akan lobi teman. Agar kasus ini secepatnya diproses," janji Papa.Mendengar itu, Ibram kembali merangkak mendekati kaki Papa. Rupanya dia tak kapok dihajar Papa."Pa, Ibram mohon, jangan laporin Ibram ke polisi! Kasihan Cahaya, Pa!" bujuk Ibram."Aku lebih kasihan pada putriku yang sudah kamu aniaya. Kamu pikir aku pernah menya
Ibram dan Rena bersamaan langsung menatapku tak percaya. Mereka pasti tidak menyangka aku akan meminta Ibram melakukan ini.Rena terus menggeleng sembari berkata, "Enggak! Enggak! Jangan, Mas! Jangan ceraikan aku!"Dalam hati aku tertawa puas melihat ketakutan mereka. Ini belum apa-apa dibanding hukuman yang nanti akan kalian terima. Sudah berani menipuku tanpa berpikir panjang. Kalian sama saja telah memasukan diri ke kandang harimau.Aku menatap Ibram dengan tatapan menantangnya. Sementara laki-laki itu tampak kebingungan."Gimana? Ayo, lakukan! Buktikan kalau memang kamu benar-benar cinta sama aku. Aku enggak suka omong kosong," ucapku. "Jatuhkan talak tiga kepadanya!""Enggak!" Rena berteriak histeris. "Jangan lakukan itu, Mas! Jangan!"Wanita itu gemetaran dengan wajah sepucat mayat. Kepalanya terus menggeleng dengan mimik ketakutan."Ma, kita bisa bicarakan ini baik-baik!" bujuk Ibram.Aku tersenyum sinis.
Papa termenung di ruang tamu. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk tangan sofa. Wajahnya masih merah padam. Kuletakkan secangkir teh melati di meja, persis di depan Papa."Tehnya, Pa!" tawarku kemudian duduk di sofa yang berada di samping Papa."Kapan kamu laporkan dia?" tanya Papa."Tadi pagi, Pa. Karena buktinya sudah cukup maka polisi langsung bertindak.""Papa minta maaf!" Lelaki yang biasanya sangat tegas dan tak mau dibantah itu menunduk. Sepertinya Papi sangat menyesal kemarin sempat membela Ibram."Iya, Pa. Enggak masalah. Viona sudah cukup dewasa untuk mengatasi masalah Viona sendiri.""Maaf karena kemarin tidak mendengarkan penjelasanmu!" Wajah tua Papa tampak bersalah. Mata yang kelopaknya sudah keriput itu memerah."Viona juga sebenarnya takut untuk cerita sama Papa. Viona takut kesehatan Papa terganggu." Kirain jemari Papa dan menggenggamnya dengan erat. Papa pun balas menggenggam jemariku."Papa cukup