Lahat ng Kabanata ng Kesombonganmu Kubayar Tunai: Kabanata 71 - Kabanata 80
150 Kabanata
Misi Rahasia
"Hallo!" jawab suara seseorang yang kukenali sebagai suara Friska di ujung telepon. "Friska? Kok, Lo, yang jawab?"Sambungan seketika langsung dimatikan. Aneh. Sebenarnya ada apa lagi ini? Degup jantung yang kembali melaju cepat seakan menambah keyakinan bahwa Mas Daffi benar-benar sedang dalam keadaan tidak baik. Tanpa berpikir lama, aku berencana segera keluar rumah dan menuju rumah Mama Juwita tempat Mas Daffi berada saat itu. Tak lupa sebelumnya aku pamit dan mencium kening Liana yang sudah terlelap. Ia menggeliat pelan. Namun, matanya tetap terpejam. "Ibu pergi dulu, ya, Nak. Liana hati-hati, ya, di rumah sama Bik Sumi. Entah kenapa malam ini aku ingin sekali memandangi wajahnya lebih lama lagi, tapi karena waktu sangat terbatas membuatku tidak bisa melakukannya. "Lho, Bu? Mau ke mana malam-malam begini?" tanya Bik Sumi yang masih asik menonton televisi. "Apa ga bisa ditunda sampai besok pagi, Bu?""Saya ada urusan penting sebentar, Bik. Ga bisa ditunda. Oh iya, Bik, titip Lia
Magbasa pa
Penggerebekan
Hanya dalam waktu kurang lebih dua jam aku tiba di rumah Mama Juwita. Sengaja kuminta supir untuk berhenti lebih menepi ke arah rumah yang berada di seberangnya. Melalui pagar besi hitamnya yang cukup berjarak, dari sini aku bisa melihat kalau tidak ada siapapun yang terlihat bertamu. Suasananya tampak biasa. Namun, mobil Mama Juwita masih terlihat di garasi. Apa mereka ada di dalam? Atau sedang pergi tapi menggunakan mobil Friska? "Maaf, Bu. Kita sudah sampai."Suara supir taksi online yang kunaiki menyadarkanku dari lamunan. "Eh iya, Pak, maaf. Ini ongkosnya." Setelah menyerahkan dua lembar uang berwarna merah aku segera turun. Untungnya di sepanjang pinggir jalan dekat rumah Mama Juwita banyak berdiri pohon besar. Sehingga memudahkanku untuk menyembunyikan tubuh. Tak lama kemudian mobil jeep hijau lumut berhenti tak jauh dari tempatku berdiri. Dari dalamnya keluar seseorang yang menggunakan jaket hitam. Ia menghampiriku yang masih berdiri di posisi semula. Sedangkan satu orang pe
Magbasa pa
Pengorbanan
Mama Juwita menatapku nanar. Napasnya naik turun cukup cepat. Nampaknya ia sedang berusaha menahan emosi yang mulai datang. "Kamu, jangan sembarangan ngomong, ya! Perbuatan kriminal apa yang kamu maksud?" Friska ikut bicara. "Jangan pura-pura gak tau, Fris! Kamu sebaiknya hati-hati. Nanti setelah menemukan cukup bukti, aku sendiri yang akan menjebloskanmu ke penjara." Wajah putih Friska mulai memerah. Sepertinya kata-kataku tadi berhasil memancing amarahnya. "Buktikan! Buktikan aja kalau kamu bisa. Tapi sebaliknya, kalau kamu ga bisa ngasih bukti atas ucapanmu tadi. Kamu akan aku tuntut balik!" ancam wanita yang malam ini kembali tampil memukau dengan dress hijau lumutnya. "Pak Gitooo! Siapa yang izinkan wanita kampungan ini masuk? Kan, sudah saya perintahkan kalau dia dilarang keras masuk ke rumah ini! Kamu berani melanggar perintah saya? Mau saya pecat, hah!"Pak Gito yang mendengar teriakan Mama Juwita tergopoh-gopoh masuk. "Maafkan saya, Nyonya. Tadinya saya juga tidak mengizin
Magbasa pa
Mengintai
Tanpa menunggu lama segera kutelepon nomor itu. Tersambung tapi tidak diangkat. Mungkin ia belum sempat mematikan ponselnya. Kucoba lagi beberapa kali tapi hasilnya tetap sama. ***Tepat pukul tujuh malam aku sudah bersiap untuk kembali keluar rumah. Alasanku pada Bik Sumi masih sama seperti kemarin. Begitu pun pada Liana yang mengajukan banyak sekali pertanyaan. Ia juga mengeluh karena malam ini ia kembali harus makan malam berdua saja dengan Bik Sumi. Untung saja ia bisa mengerti setelah kuyakinkan kalau aku hanya akan pergi sebentar. Maafin ibu, Sayang. Ibu hanya ingin menolong papamu.Kali ini kuputuskan untuk pergi seorang diri menuju lokasi, tidak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti kemarin. Persiapan yang kulakukan juga lebih matang. Alat perekam dan kamera super mini sudah berada di genggaman. Restoran Malabar yang dimaksud oleh si pengirim pesan malam ini tampak ramai. Banyak orang datang berkunjung di jam makan malam seperti sekarang. Aku memesan meja di sudut resto
Magbasa pa
Sang Pahlawan
"Ri, Om dapat informasi dari Rafif kalau kau datang ke sana untuk mengintai Daffi. Iya?"Rafif? Refleks mataku melihat ke arahnya yang ternyata juga tengah memandang ke arahku. Untunglah Frans sepertinya tidak mengenaliku yang tengah hamil besar seperti ini. Terlebih penampilanku yang sudah jauh berbeda dibanding dulu. Tiba-tiba jantungku melaju cepat. Udara di sekitarku terasa menipis. Jadi sejak tadi Rafif tau kalau aku ada di sini? Tapi, kenapa dia tidak menghampiriku seperti biasa? Kenapa dia malah menghubungi Om Sahid?"Hallo!" Om Sahid menyadarkanku dari lamunan. "Iya, Om. Riana ...." Ah, panggilan terputus. Kucoba lagi untuk menghubungi Om Sahid, tapi pandangan mataku menangkap sosok Mas Daffi yang sudah keluar dari toilet dan kini tengah membayar makanannya. Fokusku terbagi, antara ingin menjelaskan pada Om Sahid, memperhatikan Mas Daffi serta dua orang di sisi barat yang kucurigai anggota BNN, dan menghubungi Rafif untuk meminta penjelasannya. Kulihat Mas Daffi dan pria yan
Magbasa pa
Tertangkap
Suara yang kuduga berasal dari ledakan timah panas itu sedikit banyak menyurutkan langkahku untuk terus berusaha masuk ke dalam. Terang saja, siapa yang tidak takut mendengar suara letusan senjata api? Walaupun nyaliku bisa terbilang tinggi, tapi di situasi seperti sekarang ini tetap saja merasa ciut. Sambil memegangi dada, kuraup udara sebanyak-banyaknya, seraya terus merapal doa. Pikiran buruk semakin merasuk ke pikiran. Siapa yang menembak tadi? Dan siapa yang tertembak? Ya Tuhan, kumohon semoga bukan Mas Daffi.Pasca suara ledakan tadi, suasana kembali hening. Hembusan angin mendadak berada dalam posisi pause hingga membuat puluhan pohon jati yang tumbuh di sekitar gudang pun ikut terdiam dan hanya berdiri kokoh memandangiku yang sedang ketakutan di tengah pekatnya malam ini. Kuhirup napas dalam sekali lagi. Kali ini selain berusaha memasukkan udara sebanyak mungkin ke dalam organ pernapasan kucoba juga untuk menenangkan calon bayiku di dalam perut yang masih bergolak. "Tenang say
Magbasa pa
Ketahuan
Selain bekerja di kantor produk suplement kesehatan, Mas Daffi memang dikenal sebagai Professional Cupper. Pekerjaannya adalah untuk menilai rasa kopi dengan cara objektif secara lebih dalam. Professional cupper yang kelak akan menentukan apakah kopi ini berkualitas baik atau buruk. Ia juga menganalisis kecacatan pada kopi, cup clarity, body dan karakteristik yang ada pada kopi lainnya lalu membuat penilaian secara numerik tentang kualitas kopi tersebut. Mas Daffilah yang menilai kopi yang kelak akan menentukan nasib kopi tersebut. Apakah untuk dijual atau bisa dilelang. Dulu Mas Daffi pernah cerita kalau ia mengambil jurusan ahli kopi di Universitas. Di sanalah dia mengenal Friska. Hanya bedanya, Mas Daffi tidak meneruskan profesinya di bidang kuliner seperti Friska yang sudah mendirikan restoran. Namun, ternyata restoran itu dibuat hanya sebagai kamuflase untuk transaksi obat-obatan terlarang. "Gue udah duga pasti lo cuma pura-pura amnesia, Daf." Friska tersenyum hambar. "Kalau lo
Magbasa pa
Dikejar Polisi
"Fris! Jangan keterlaluan!" Rafif berusaha menghentikan Friska. "Diem, lo! Gue bilang lo jangan ikut-ikutan!" bentak Friska pada Rafif. "Frans, lo ambil ponselnya yang tadi dia pake buat ngerekam. Hancurin! Abis itu lo ikut gue, bawa ni perempuan!" Selesai bicara, Friska langsung pergi begitu saja. Tak lama setelah itu, Frans menarik tanganku kasar. Ia membawaku keluar menyusul Friska. Bahkan ia tidak memberiku kesempatan untuk berbicara sedikitpun."Frans, lepasin dia!" "Riz, Lo ga denger tadi bos bilang apa? Lagian kenapa si, lo peduli banget sama ni cewek?""Karena gue sayang, gue cinta sama dia!" teriak Rafif hingga suaranya menggema di seluruh ruangan yang sontak membuat bola mataku hampir keluar. Refleks, kuarahkan pandangan kepada Mas Daffi yang masih terikat di sudut ruangan di sisi lain dari tempatku berdiri sekarang. Kini di mulutnya pun sudah terpasang lakban hitam. Sepertinya mereka memutuskan untuk menutup mulutnya karena ia terus berteriak. Dari raut wajahnya, ia terl
Magbasa pa
Kematian
Pasti ulah si Rizki. Dasar penghianat!"Frans benar, itu mobil polisi. Ada lampu sirine yang terpasang di atas mobil tersebut. Namun, suaranya tidak terdengar. Sepertinya mereka mematikan suaranya. Salah satu mobil itu melaju cepat dan mencoba untuk menyalip mobil Frans, tapi Frans yang memang jago menyetir terus membawa mobil untuk menghindari kejaran mereka. "Pemilik mobil B 4588 XYO harap berhenti!" seru suara yang berasal dari alat pengeras suara dari mobil di belakang kami. Namun, Frans tidak menghiraukan. Ia semakin menggila. "Frans mending lo berhenti. Serahin diri. Jangan bikin hukuman lo ntar semakin berat.""Diem, lo! Ini semua gara-gara lo tau!" Beberapa detik kemudian terdengar suara senjata api dengan bunyi yang sangat memekakkan telinga. "Aaaaargh!" Mobil seketika berguling ke arah kiri karena Frans mengemudikan dengan kecepatan yang cukup tinggi. Sepertinya peluru yang ditembakkan dari salah satu petugas yang ada di mobil belakang kami tepat mengenai ban mobil bela
Magbasa pa
Rizki dan Rafif
Sambil memegangi dada yang kini kembali terasa sesak, tangisanku pecah lagi. "Riana yang salah, Om. Riana ga mau denger kata Om waktu itu, Riana ceroboh dan ga mampu menjaga calon bayi Riana sendiri." Dadaku naik turun dan isakanku kembali terdengar memilukan. "Ikhlas, sabar, ya. Kita semua tidak tahu apa yang akan kita alami di masa depan. Om yakin, Kau hanya ingin melakukan yang terbaik saat itu untuk menyelamatkan Daffi."Tangisanku semakin pecah. Om Sahid mencoba untuk terus menenangkanku sambil terus mengusap pelan bahuku. Setelah puas menangis, kucoba meraup udara sebanyak-banyaknya. "Oh ya, Om ada kabar baik untukmu. Juwita dan Friska sudah berhasil tertangkap, begitu pula dengan Frans. Namun, sayang sekali, nyawa Frans tidak bisa terselamatkan karena kecelakaan itu. Begitu pula dengan ...."Mataku mengarah kepada Om Sahid. "Siapa, Om?""Rafif alias Rizki."Mataku terbelalak mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Om Sahid. "Dia mengakui semuanya, Run. Dia juga yang mem
Magbasa pa
PREV
1
...
678910
...
15
DMCA.com Protection Status