Semua Bab Ditinggal Suami Dinikahi Bos: Bab 11 - Bab 20
143 Bab
11. Tak Jodoh
Kutepis semua rasa rendah diri ini. Tak ada banyak waktu untuk sampai di rumah sakit. Aku jelas harus segera ke sana. Motor matic merah melaju kencang di jalanan yang cukup lengang. Demi Ibu- satu-satunya keluargaku yang masih ada aku akan segera sampai. Rumah sakit itu cukup besar. Menjadi yang terlengkap di kabupaten. Setelah roda motor matic merah menyentuh parkiran, aku berjalan ke dalam gedung itu. Mencari tempat ibu dirawat. Ponsel berbodi pipih kukeluarkan. Segera menghubungi Martia untuk tahu ruang inap ibu. Kuayunkan langkah menuju tempat yang disebutkan Martia di pesan whatsappnya.“Mir!” seru Martia. Aku melangkah ke arahnya.“Gimana ibuku, Mar? Baik-baik aja?” Kupanjangkan leher ke arah kaca pintu ruangan itu. Mencari tahu kondisi ibu.“Masih ditangani, Mir. Semoga baik-baik aja.” Martia mencoba menenangkanku.“Syukurlah. Makasih, Mar, dah bawa ibu ke sini,” ucapku seraya mengenyakkan diri di kursi tunggu. Martia mengikutinya.“Bukan aku, Mir. Aku juga dikasih tahu seseor
Baca selengkapnya
12. Bak Pinang Dibelah Dua
Setelah mengusap lenganku Mas Arhab duduk di salah satu kursi di ruang inap ibu. Dia mulai fokus dengan gawainya. Aku tetap memerhatikan Ibu lekat. Takut ada suatu hal yang terlewat. Belum pernah ibu sakit seperti ini. Ibu selalu bilang baik-baik saja saat aku menanyakan kabar. Ibu juga tak pernah mengeluhkan kehidupannya di desa. Setiap kali aku pulang, Ibu juga tampak nyaman dengan kondisinya. Aku tak pernah menduga akan seperti ini keadaannya. Kembali kupegang tangan keriput ibu. Menguntai doa pada langit agar beliau segera disembuhkan. Aku tertunduk takzim. Tanpa sadar sebuah bunyi keluar dari perutku.“Apaan, Mir?” Sontak Mas Arhab menimpali.“He.” Aku menatapnya malu.“Kamu lapar?”“He, iya. Dari pagi belum keisi ternyata perutnya.” Aku memang belum sarapan dan makan siang. Sementara waktu sudah hampir sore.“Tunggu bentar ya,” ucapnya lantas berdiri.“Mau ke mana, Mas?” "Cari roti buat ganjal perut kamu.” Lagi Mas Arhab menghiaskan senyum di wajahnya. Aku tersipu malu.Selepa
Baca selengkapnya
13.Perih
Mas Baja dan Ibu mertua terus berjalan ke arah ruang inap Ibu. Menyadari hal itu, aku segera menyusul mereka. Takut hal buruk akan terjadi pada Ibu. “Jangan buru-buru, Mir. Kamu belum jadi makan.” Tangan Mas Arhab menghentikan langkahku. “Duduk dulu barang sejenak. Ini rotinya.”Apa daya aku memang sangat lapar. Sebuah pikiran positif berusaha kukuatkan. Tidak mungkin Mas Baja dan Ibu mertua berbuat macam-macam. Kuputuskan untuk menerima tawaran Mas Arhab. Sebuah bangku panjang di sisi kiri koridor rumah sakit kupilih. Aku duduk tenang di sana. Melahap roti berisi coklat dengan gambar kartun favorit Akila. Satu suap aku masih bisa menikmati. Suapan berikutnya pun sama. Namun, aku kembali menangis. Kali ini bukan hanya karena hatiku yang perih, tetapi rasa malu terhadap orang di sampingku. Aku sungguh tidak bisa menerka apa yang ada dalam pikirannya. Apakah ia akan menganggapku sebagai manusia rendah seperti ucapan ibu mertua tadi? Ataukah ia tak peduli? Aku tak sanggup membayangkanny
Baca selengkapnya
14. Kenangan Mas Baja dan Raline Aditama
Masih segar dalam ingatan senyum wanita berambut panjang nan legam itu. Pewaris Aditama Grup yang merupakan perusahaan penyedia jasa alat berat di kota. Parasnya memang cantik. Aku mengakui itu dengan sadar. Bahkan saat Mas Baja tak sengaja menemukan sisa foto mereka di laci salah satu lemari kamarnya, aku benar-benar setuju dengan predikat itu. Namun sayang, sikap dan preferensinya berbeda jauh dengan wajah ayunya. Raline Aditama seenak sendiri memutuskan kerjasama juga hubungan asmara dengan Mas Baja. Hanya karena Mas Baja tak berhasil membawakannya tas mewah dengan merek ternama.“Berapa tahun, Mas, hubungan kalian?” tanyaku saat kami pertama kali tinggal satu rumah. Kami baru pulang berkunjung dari rumah ibu mertua.“Empat tahun dua bulan.” Mas Baja menerbitkan senyum tipis.“Waow lama juga.” Mataku mengerjap. Dibalas dengan kekehan Mas Baja. “Apa obrolan pernikahan sudah ada?” Aku memang selalu penasaran perihal kehidupan Mas Baja sebelum mengenalku. Proses PDKT kami yang cukup
Baca selengkapnya
15. Siapkah Aku dengan Status Itu?
Malam pun membayang. Pagi yang selalu dinanti sebagian pencari rizki hadir kembali. Kondisi ibu masih saja sama. Semalaman saat aku berjaga tak ada progres berarti. Tubuhku mulai terasa lelah. Pergi tanpa persiapan membuatku lupa membawa baju ganti. Kucium lengan yang sejak semalam menguarkan bau tak sedap. Aku tetap mandi hanya saja masih menggunakan baju yang sama. Pintu kamar inap ibu terbuka. Perawat mengecek kondisinya dan tak lupa menguatkanku untuk tabah. Aku cukup membalas dengan senyum.“Mari, Sus,” ucap Martia yang tiba-tiba datang saat pintu kamar inap ibu masih terbuka. Perasaan lega datang membasahi jiwa. Setidaknya masih ada sahabatku yang tak pernah alpa memberi dukungan.“Kamu gak buka toko, Mar. Jam segini udah datang?” tanyaku saat perawat sudah benar-benar pergi.“Nanti tetep buka, Mir. Aku mampir ke sini dulu. Nih, tak bawain baju sama sarapan.” Martia meletakannya di atas meja. Lagi rasa syukur hadir di hati ini. Aku ... tidak mutlak sendiri.“Repot aja, Mar,
Baca selengkapnya
16. Kejadian di Kantor
Dia ... Mas Baja. Dia ... Lelaki yang istimewa. Seorang Kontraktor yang membangun jalan desa. Dia ... Yang juga mengulurkan tangan saat aku sangat membutuhkan. Apa yang membuatku bertahan selama ini? Enam tahun menjalani pernikahan tanpa restu mertua bukan semata karena cinta. Bertahan di setiap masalah rumah tangga yang menyapa bukan juga karena rasa sayang yang begitu besar. Semua ini terlalui karena balas budi yang hadir bersamaan dengan rasa nyaman. Aku membutuhkan Mas Baja kala itu.Dicampakan Mas Arhab tanpa ada penjelasan membuat hatiku hancur berkeping. Tak ada kata putus yang terucap juga permintaan maaf. Semuanya berjalan seperti biasa. Seakan aku tak pernah dekat dengannya. Selepas dari lembah biru aku semakin tahu di mana tempat terbaikku. Mencintai dan dicintai oleh anak seorang tokoh masyarakat adalah kemustahilan. Tidak sepatutnya aku mengejar cintanya. Satu tahun perjalanan kami hanyalah perasaan singkat yang tidak mungkin berlanjut ke jenjang yang lebih tinggi. Ma
Baca selengkapnya
17. Pelakor Kelas Kakap
"Gimana Amira? Apa Bos kamu saja yang menggantikan kamu untuk dipecat?" Dengan keangkuhannya Raline kembali bertanya. Sengaja memberi pilihan sulit agar aku berkata iya untuk pemecatan ini. "Bu, anda tidak bisa seperti itu. Pabrik ini punya prosedur dalam mengurus karyawan. Mau ini anak perusahaan milik Ibu, tetap saja menyalahi aturan, Bu." "Kamu kok ribet amat, Teo. Tinggal pilih siapa yang mau dipecat. Oh, apa dua-duanya sekalian? Iya?" Mata Raline mengarah pada Bos Teo. Lalu dengan cepat menatapku lagi."Bagaimana, Amira? Mau ngorbanin orang lain demi kamu?" tanyanya penuh penekanan.Diam. Tak ada jawab dari mulutku. "Emang ya, gak tahu diri. Gak pantas hidup, kamu!" ucapnya dengan kasar. Jujur aku tak sanggup menghadapi hal semacam ini. Jujur aku tak mampu memilah mana keputusan yang baik. Namun, melihat Bos Teo yang meski kadang garang, aku tak bisa mengorbankannya. Memang salahku juga nasib buruk yang kuterima harus seperti ini. "Saya saja. Saya saja yang dipecat. Bos Teo
Baca selengkapnya
18. Pelik
Dadaku berdenyut pedih. Mengingat pakaian mereka yang teronggok di lantai kamar itu. Juga kerlingan manja Mas Baja untuk sang putri konglomerat. Bahkan, kami belum pernah melakukannya di sana. Satu malam pun, aku belum pernah menginap di rumah itu. Namun, perempuan dengan mulut bar-bar, yang katanya Bos Besar bisa dengan nyaman bersama Mas Baja mengembangkan layar cinta. Apa jangan-jangan semua ada hubungannya dengan ibu mertua? Apa beliau yang mengaturnya? Kuhela napas sejenak untuk menghalau sesak. Jika dipikirkan lebih dalam memang tampak ada keterkaitan. Terlebih di momen itu tidak ada ibu dan juga Akila. Apa mungkin pertemuan keluarga besar baru dilakukan? Membahas hubungan mereka yang akan berlanjut ke pernikahan? “Kamu baik-baik saja, Amira?” Bos Teo sudah berada di belakangku. Dari derup langkahnya aku bisa tahu.“Baik, Pak. Saya baik-baik saja,” jawabku. Meski rasanya kepala mau pecah juga tubuh kian terasa lemah.“Apa perlu saya antar keluar?”“Tidak, Pak. Tidak usah. Say
Baca selengkapnya
20. Kamu Jahat
Bertahan dalam sebuah hubungan yang sudah tidak sehat hanya akan membuatku semakin tersesat. Namun, memutuskan mengakhiri sebuah ikatan pernikahan tentu akan meninggalkan konsekuensi tersendiri. Karena melepas sesuatu tak akan semudah saat menerimanya.Jika ditanya apa aku baik-baik saja? Jawabannya jelas tidak. Keadaan ini memaksaku untuk kuat menopang beban berat seorang diri. Dulu ... aku menerima Mas Baja dengan tangan terbuka. Menyambutnya yang secara nyata memberi cinta. Tepat saat aku nyaris terjatuh dalam sebuah jurang. Apa jadinya jika malaikat penyelamatmu sendiri berbalik arah melukai? Tentu sakit itu tak terperi.Bukan, bukan hanya soal cinta saja yang menjadi persoalan. Pernikahan kami sudah membuahkan hasil. Sudah menghadirkan satu malaikat kecil. Mahika Akila Baja- nama yang dipilihkan Mas Baja untuk putri kami. Mahika dalam bahasa sansekerta adalah bentuk lain dari bumi. Sedang Akila kebahagiaan juga kehormatan. Putri kami adalah tempat yang memberi kebahagiaan untuk pe
Baca selengkapnya
21. Titik Balik
Getar ponsel membangunkanku. Mengembalikan kembali kesadaran. Buru-buru aku meraihnya. “Ya. Gimana, Mar?” tanyaku sembari duduk.Amira! Kamu lupa kalau nitipin Ibu ke Mas Arhab? Udah jam berapa ini? Suara Martia terdengar panik. Kulihat sebentar layar ponsel untuk mengecek penanda waktu. Sudah pukul empat sore dan aku terlelap selama itu. Mati, aku!“Aku benar-benar lupa, Mar. Aduh gimana ini?”Lah, payah kamu, Mir. Mas Arhab WA aku nanyain kira-kira kamu balik jam berapa?“Iya. Tadi pagi aku bilang bakal balik siang. Tapi ini udah jam empat, Mar. Aku gak mungkin berani buat balik,” terangku. Empat jam waktu perjalanan dan menjelang malam terlalu berbahaya.Ya udah, WA dulu gih, apa gimana. Bilang kamu gak bisa balik. Nanti biar aku yang jagain ibu kamu. Dengan baik hati Martia menawari.“Gak ngrepotin, Mar?”Dah gak apa-apa, Mir.“Serius?”Iya. Dah sana kabarin Mas Arhab dulu. Kasihan dia jadi tahanan kamu.“Kabarin? Pakai apa?” tanyaku polos.Ya pakai WA, lah. Dia kan gak punya n
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
15
DMCA.com Protection Status