Ditinggal Suami Dinikahi Bos

Ditinggal Suami Dinikahi Bos

By:  Hamira Irrier  Completed
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
3 ratings
143Chapters
12.6Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Ditinggal Suami, dinikahi Bos adalah novel yang menggambarkan kehidupan perempuan bernama Amira yang harus berjuang melunasi hutang mantan suaminya. Ia yang tidak punya pilihan lain terpaksa melakukan perjanjian konyol dengan mantan bosnya. "Kamu harus mau, Amira. Jika tidak aku tidak akan melunasinya," ucap Teo--lelaki bermata biru yang suka bersikap semau sendiri.

View More
Ditinggal Suami Dinikahi Bos Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
user avatar
Agung99
ceritanya seru kak, suka banget setiap hari nungguin
2024-02-21 18:06:14
1
user avatar
Nurlaela
bagus, alurnya bagus dan menghibur
2023-09-04 16:40:09
1
user avatar
Hamira Irrier
Hai, salam kenal. Aku Hamira. Semoga kalian suka dengan cerita ini. Terima kasih
2022-11-08 20:07:48
8
143 Chapters
1. Kabar Kematian
Pagi ini aku terbangun seperti biasa. Setelah semalam memadu kasih dengan suami tercinta. Sampai hampir jam dua belas malam kami baru selesai. Dan kami tertidur pulas setelahnya. Seperti biasa aku yang pertama menggeliat saat mentari mulai memasuki kisi-kisi jendela kamar. Seperti pagi-pagi sebelumnya setelah kami menghabiskan malam, pasti aku kesiangan. Buru-buru aku turun dari ranjang, membiarkan suamiku tetap tertidur lelap.Langkahku sangat ringan. Tubuh ini juga terasa bugar. Sebelum menuju kamar mandi kusempatkan mengintip putri kami yang juga masih terlelap di kamar sebelah. Biasanya ia akan ikut bangun saat aku mencium pipinya. Namun, kuurungkan niatku pagi ini. Tubuhku masih bau. Pukul setengah enam pagi rumah masih sepi. Belum ada aktivitas kesibukan seperti biasa. Dengan cepat aku menyambar handuk dan membersihkan diri di kamar mandi.Guyuran air selalu membuatku merasa tenang. Dari pagi ini aku akan memulai aktivitas bekerja setelah beberapa hari melakukan WFH. Wangi sabun
Read more
2. Kolom Komentar
Mas Baja tak membuka obrolan tambahan. Ia masih ayik dengan gawainya. Aku yang merasa diabaikan pun menghentikan aktivitas memasak. Kumatikan kompor dua tungku itu lalu beranjak ke kamar depan. Putri kami sudah bangun. Ia asyik dengan mainannya."Ibu kenapa? Sedih?" tanyanya saat melihat setetes air lolos dari mataku. Aku pun menggeleng. "Jangan sedih, Bu. Sini Akila peluk," ucapnya dengan merentangkan kedua tangan. Aku pun tak sanggup menahan rasa sedih itu. Dengan cepat kuhamburkan tubuh pada peluknya."Doain Ibu, Kak. Doain Ibu bisa dapat kerja di desa." Tangan Akila mengusap punggungku lembut.Selesai berpelukan dengan Akila, aku menyeka air mata. Tak bisa kubayangkan jika tak ada dia di rumah ini. Sudah pasti hari-hari akan terasa sangat menyesakkan. Gawai yang tadi teronggok di salah satu sisi ranjang Akila kulihat kembali. Dengan cepat menyentuh benda pipih itu saat aplikasi pesan menampilkan adanya pesan baru.[Maksudnya apa, Nduk? Kenapa tiap ada masalah Ibu selalu dibawa-baw
Read more
3. Ledakan Ingatan
Setelah sekian lama menghilang. Apakah aku sama saja membuka akses komunikasi untuknya?***Sama seperti gadis-gadis desa pada umumnya. Setelah lulus SMA harapanku hanyalah menikah dengan laki-laki pilihanku atau keluarga. Aku yang sadar betul dengan ekonomi keluarga tidak akan memaksakan diri untuk melanjutkan kuliah. Meski sekuat tenaga orang tuaku mengupayakannya. Masih segar diingatan saat ia yang kucinta justru mematahkan satu-satunya harapan itu."Nduk, jangan lupa kuenya dibawa kalau kamu mau mampir ke rumah Arhab." Sebuah keresek hitam Ibu siapkan. "Gak mungkin mampir lah, Bu. Kan ini acaranya gak di masjid.""Ya putar arah, Amira. Dari tempat tema kamu terus belok ke kanan kamu ambil jalan turunan. Lurus terus nyampe kan ke rumah Arhab." Ibu terus memaksaku. Meski aku tahu tidak mungkin kami akan bertemu di sana. Entah sejak kapan semua berawal. Saat kami bertemu di salah satu pernikahan temanku, yang juga suadaranya aku mulai terbiasa dengan suara lembutnya. Mas Arhab kad
Read more
4. Jatuh Talak
“Amira! Apa yang kamu lakukan!” Mas Baja berjalan maju ke arahku. Ia kembali ke ruang televisi. “Kamu tahu ini satu-satunya barang yang masih bisa dijual bukan? Kenapa malah kamu jatuhkan?!” Mata Mas Baja terarah pada televisi tabung itu. Dulu kami punya yang lebih baik. Berbentuk layar pipih.“Maaf, ma-af, Mas.” Aku benar-benar kehilangan akal. Kata-kata Mas Baja tentang perempuan murahan membuatku muak.Pintu kamar Akila berderit. Gadis itu pasti penasaran apa yang terjadi. Meski takut, ia memunculkan diri.“Kenapa rusak, Bu?” tanya Akila melihat televisi itu.“Ibu gak sengaja, Nak. Gak sengaja ngejatuhinnya.”“Kamu cepat siap-siap, Akila. Kita ke rumah nenek saja. Ibu kamu memang payah.” Mas Baja menarik tangan Akila. “Mas, jangan begitu, Mas. Makanya kamu dengar dulu penjelasanku. Tidak langsung pergi. Aku juga tahu kamu akan ke tempat perempuan itu, bukan?” Sudah beberapa bulan ini aku mencurigai Mas Baja. Ia seperti melakukan kebohongan besar di belakangku.“Hah? Perempuan? Kam
Read more
5. Pekerjaan yang Tertunda
Mobil silver itu benar-benar pergi. Pintu rumah masih terbuka begitu juga dengan pintu gerbang di ujung halaman. Mas Baja seakan sengaja tidak menutupnya. Ia pergi tanpa perlu menengok ke belakang, seperti yang biasa ia lakukan. Perlahan aku bangkit dari posisi duduk. Mengayunkan langkah ke arah daun pintu lalu menutupnya. Ucapan Mas Baja mengusik kembali ruang hening yang selama ini begitu nyaman untuk kusinggahi. Foto dalam kolom komentar itu seolah menunjukkan orang yang sudah lama pergi ingin kembali menyapa dengan cara yang berbeda. Seketika aku bergidik ngeri membayangkannya. Seperti daun pintu ini. Meski tertutup rapat aku tak menguncinya. Apakah hatiku memang tidak pernah benar-benar terkunci untuk seseorang di masa itu? Segera kutepis semua pikiran aneh. “Kamu tidak boleh goyah, Amira. Setelah ini bersikaplah seperti biasa. Seolah tidak ada masalah dengan Mas Baja. Ya. Kamu hanya perlu melakukan seperti itu.” Kulanjutkan kembali niat untuk berangkat kerja. Sudah sangat ter
Read more
6. Bertemu Ibu Mertua
Sembari mengambil motor di parkiran aku memikirkan pesanan Mas Baja. Martabak telur dengan dua telur bebek. Uang seratus ribuan yang sudah tidak lengkap lagi karena harus kualokasikan untuk membeli bensin, akan semakin berkurang sore ini. Sementara gajianku harus menunggu sampai tanggal empat. Tidak seperti perusahaan pada umumnya yang tanggal dua puluh lima gaji sudah masuk ke rekening. Aku tetap meneruskan perjalanan meski sesekali perutku berbunyi. Berkendara ke arah barat dari kantor setelah dua puluh menit, membuatku menemukan penjual martabak langganan keluarga Mas Baja. Mereka terutama Ibu sangat suka dengan martabak terang bulan ini. Pernah suatu hari aku membelikan dengan merek lain, Ibu sama sekali tidak menyentuhnya. Jantungku berdebar saat tampak dari jauh tenda berwarna biru milik penjual itu belum terbentang. Jangan-jangan hari ini libur. Aku pun menarik kencang gas di tangan kanan. Memastikan dugaanku itu. Tepat saat roda motorku berhenti di depan gerobak, terdapat tul
Read more
7. Bukan Cinderella
Teriakan Mas Baja tak kuhiraukan sama sekali. Dari kaca spion tampak dia mengumpat. Sejenak kuhela napas. Rasanya teramat sesak. Terlebih aku harus kembali tanpa Akila. Gadis kecil itu sudah pasti akan dikelilingi dengan materi. Gadis kecil itu sudah pasti akan bisa mendapatkan semua barang yang ia inginkan. Namun, aku tak yakin ia bahagia. Motor matic merah melaju di jalanan yang semakin gelap, menuju satu-satunya tempat untukku. Andai ada satu orang saja yang bisa kumintai tolong sudah pasti aku memilih tidak ke rumah itu. Setengah jam berkendara pagar besi itu menyapa. Pagi tadi aku sengaja tak menguncinya. Berharap Mas Baja akan pulang bersama Akila. Sayang, pintu tak terkunci itu tidak berarti. Kudorong pintu gerbang ke sebelah kanan setelah turun dari motor. Kembali menaiki dan memakirkannya di garasi. Rasanya badan lelah sekali. Melihat bangunan mewah ini membuat keningku mengernyit. Dua hari lagi sudah tanggal satu. Sementara uang untuk cicilan belum nampak hilalnya. Aku pun
Read more
8. Rahasia Rumah Tangga Kami
Terlalu larut dalam kenangan itu membuatku sampai lupa diri. Buru-buru kuangkat bungkus martabak dan masuk ke rumah. Aku akan segera merebah. Malam ini kucukupkan sampai di sini. Menangis bukanlah sebuah solusi. Hal semacam ini hanya akan melegakan perasaan saja dan semua tetap sama. Besok uang untuk cicilan tetap harus kusiapkan. Pintu jati berukuran besar itu kututup rapat. Langkahku sedikit gontai saat sampai di ruang tengah. Televisi tabung itu masih teronggok di lantai. Aku lupa merapikannya. Perlahan kudekatkan diri pada bangkai televisi yang sudah pecah monitornya. Bodoh. Teramat bodoh sampai menghancurkan barang. Biasanya ini kerjaan Mas Baja. Sayang, kali ini karena tanganku sendiri. Kuangkat televisi itu dan mengembalikan ke tempat semula. Saat menatapnya hatiku kian berlubang. Nasib buruk tak henti menjumpai setelah menikah dengan Mas Baja. Apa yang tampak di permukaan kadang tak sama dengan dasar. Semuanya sangat berbeda. Kuhela napas berat. Mendongak untuk menghalau se
Read more
9. Tentang Mas Baja
“Yang benar, Mbak kalau ngomong. Jangan sembarangan!” seru Arga. Aku bahkan belum sempat membalas ucapan senior perempuan ini. Malas membuat masalah terpaksa aku memilih diam.“Aku gak sembarangan, Ga. Banyak buktinya. Dia aja yang gak tahu diri” Wajah senior perempuan di kantor kami semakin sinis. Ia membenciku hanya karena Bos tidak memecatku. Lama-lama aku ingin menyumpal mulutnya juga. “Ngomong gak ada bukti itu pembual, Mbak!” Arga terus menimpali ucapan senior. Mungkin dia paham jika perempuan yang bertengkar akan lebih fatal. Konsentrasiku pun menjadi terbagi. Aku tak mampu memfokuskan diri pada pekerjaan dan ingin menyeran balik ucapan senior. Beruntung ponselku bergetar diiringi dengan nada dering kencang. Aku pun mengurungkan niat dan beralih ke panggilan itu. Nama Martia terpampang di layar.“Ya, ada apa, Mar?”[Pulang, Mir, sekarang juga. Ibu kamu masuk rumah sakit!] Kalimat itu menghantam gendang telingaku. “Kapan, Mar? Gimana kondisinya?!” teriakku karena panik. Arga
Read more
10. Bukan Menantu Impian
Siapa dia dari mana asalnya. Aku jelas sangat paham. Sejak awal wanita itu memang milik Mas Baja. Namun, aku mencoba memanipulasinya. Menganggap rumah tangga kami tenang seperti aliran sungai tanpa riak. Nyatanya aku salah besar. Laki-laki dan seseorang tidak bisa berubah secepat itu. Satu tahun bukan waktu yang cepat untuk mengabaikan semua masalah. Namun, aku terus memaksakan diri berjalan di biduk ini.Sudah bukan hal baru aku mendapati chat mesra dari wanita itu. Lebih intensnya saat Mas Baja kerap melakukan kunjungan kerja ke berbagai kota. Bisnis yang ia kembangkan menjadi alasan. "Biasa, cuma relasi, Mir. Paling biar aku mau kerja sama makanya chat begitu.""Tapi, Mas nomor ini sering banget lho," ucapku seraya menunjukkan layar ponsel."Dah, blokir aja." Dengan tanganku sendiri aku memblokir nomor wanita yang kerap mengirimkan pesan pada Mas Baja. Tak pernah tahu jika ada banyak cara untuk mereka berkomunikasi. Bodohnya aku luluh karena tindakan tegas Mas Baja. Kututup pint
Read more
DMCA.com Protection Status