All Chapters of Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku: Chapter 21 - Chapter 30
42 Chapters
18 A. Gombal Amoh
Pak Hanan membawaku ke menuju rumah miliknya yang berada di sebuah kawasan pemukiman elit di bilangan kota ini. Satpam yang berjaga di gerbang masuk tampak tersenyum tatkala Pak Hanan menyapanya dari balik kaca mobil. Lelaki berseragam putih-biru dongker yang mengenakan topi bertuliskan ‘security’ itu kelihatan menatapku agak aneh ketika aku ikut mengangguk ramah ke arahnya. Batinku, mungkin penampilanku yang awut-awutan inilah yang jadi penyebab. Jangankan Pak Hanan. Sekuriti penjaga gerbang perumahan saja sampai terkaget-kaget ketika melihat mukaku. Mungkin, di mata orang-orang yang terbiasa menatap wanita-wanita bersih nan cantik ini, wujudku tak ubahnya seperti gombal amoh alias kain perca untuk lap meja dapur yang kotor. Hiks, betapa menyedihkan diriku ternyata. Seperti kata Pak Hanan tadi, pokoknya habis ini aku harus mandi! Setelah melewati portal yang dibukakan oleh sekuriti tadi, mobil sedan Pak Hanan terus melaju di jalan perumahan y
Read more
18 B. Pertengkaran Hebat
“Bacot! Aku masih istrimu. Rumah ini juga sebenarnya adalah hakku!” pekik Bu Jelita dari dalam kamar. Suara pertengkaran mereka begitu menggema ke seluruh penjuru rumah yang membuat aku sebagai tamu auto merasa keder sendiri.“Hakmu? Hak kepala bapakmu! Kamu menikah denganku hanya bawa celana dalam dan kutangmu saja. Jangankan rumah, menghasilkan uang saj akamu tidak pernah!” Pak Hanan membalas ucapan sang istri dengan kalimat pedas nan tajam.Mendengar hujatan Pak Hanan, seketika kakiku gemetar. Trauma akan pertengkaran yang terjadi di antara aku dan mertuaku tadi pagi tiba-tiba mengantui lagi. Ditambah dengan pekik jerit Pak Hanan dan sang istri, rasanya mentalku langsung down.“Dasar perempuan tidak tahu diri! Sudah kupungut kamu dari dalam got, setelah merasa dirimu berharga seperti intan berlian, kamu malah jadi pengkhianat! Cepat keluar dari rumahku, perempuan jalang!” maki Pak Hanan sambil mendobrak pintu kamarnya.“Astaghfirullah,” gumamku sambil memejamkan mata.Tubuhku teras
Read more
19. Misteri Demi Misteri
“Dia hanya pembantu, kan? Bukan perempuan yang mau kamu gunakan untuk membalas dendam?”Bu Jelita bicara lagi. Sudah babak belur pun, kulihat keangkuhannya masih begitu paripurna. Dari nada bicara dan delikan matanya, jelas dia sedang merendahkanku.Kuhapus cepat air mataku yang membasahi pipi. Rasanya tidak perlu lagi aku mengasihani Bu Jelita. Perempuan kasar dan sombong itu sepertinya memang pantas mendapatkan ‘hadiah’ baku hantam dari suaminya.“Apa urusanmu, Lita? Kamu tidak ada hak lagi untuk menanyakan tentang apa yang akan kuperbuat. Sekarang, tinggalkan rumahku!” hardik Pak Hanan sambil berjalan ke arahnya.Dengan mata kepalaku sendiri, kulihat jelas bahwa kaki Pak Hanan menendang pelan ke betis mulus milik Bu Jelita yang memang mengenakan mini dress berwarna salem tersebut. Bu Jelita pun langsung menyibak rambut panjangnya yang sudah acak-acakkan dan hampir menutupi wajah cantiknya yang kini biru-biru karena tamparan. Perempuan itu mendongak sambil memperhatikan Pak Hanan pe
Read more
20. Syok Berat
Aku putuskan untuk segera mandi agar Pak Hanan tidak terlalu lama menunggu di bawah. Tentu sebagai pembantu baru, aku tak mau mengecewakan beliau. Perlu kuingat bahwa sekarang aku tak punya tempat tinggal untuk bernaung, selain rumah Pak Hanan ini. Saat masuk ke kamar mandinya yang cukup mewah untuk ukuran orang susah sepertiku, aku dibuat takjub kala menemukan pemanas air. Kalau tidak salah namanya water heater. Jadi, di kamar mandi plus toilet ini terdapat shower air panas dan air dingin. Masyaallah, gumamku dalam hati. Ternyata tak seperti yang kuduga sebelumnya. Hidupku tak melulu sengsara, meski kini harus ikut dengan Pak Hanan yang agak tempramental tersebut. Di bilik mandi yang disekat dengan kaca tebal itu aku mandi dengan kucuran air hangat. Kepalaku yang lengket karena belum keramas tiga hari pun langsung terasa segar luar biasa. Aku baru sadar akan kebenaran protes dari Pak Hanan. Wajar kalau majikanku itu bilang ada b
Read more
21. Seperti Mimpi
“T-tapi … saya nggak mungkin numpang di sini tanpa ngapa-ngapain, Pak. Saya nggak mau jadi benalu di rumah Bapak. Lagipula … saya juga bukan saudara Bapak.” Aku begitu gamang mendapati kenyataan ini. Di satu sisi, aku sudah langsung kerasan tinggal di rumah Pak Hanan, meski di awal harus melihat pertengkaran hebat di antara beliau dan istrinya. Namun, di sisi lain, aku cukup tahu diri dan enggan jika harus menumpang tanpa bekerja untuknya. “Kamu ini cerewet, ya!” keluh Pak Hanan sambil menyambar cangkir tehnya. Terdengar suara seruputan dari arah depan sana. Nikmat sekali Pak Hanan menyeruput teh buatan Mbak Lisa yang kutengok juga tak dibubuhinya gula tersebut. Apa tidak ketawaran, ya? “B-bukan begitu, Pak. Nggak enak juga sama … i-istri Bapak,” sahutku sambil memperhatikan gerak gerik Pak Hanan. “Istri? Istri yang mana? Jelita, maksudmu?” Pak Hanan buru-buru menaruh cangkir dan tatakannya ke atas meja.
Read more
22. Sahabat
“Nanti Tante Fika tolong kamu ajarkan cara berpakaian yang baik dan benar, ya. Maklum, beliau ini dari desa terpencil. Katniss pasti ingat sama Tante Fika, kan? Dia ini dulu juga pernah kerja di perusahaan ekspedisinya, Daddy,” jelas Pak Hanan sambil menatap lekat anak perempuannya. “Oh dari desa, ya? Pantesan!” celetuk Katniss sinis. “Aku nggak ingat, Dad! Ingatanku cuma buat hal-hal yang penting aja!” Katniss lalu memandangiku dengan tatapan yang sangat meremehkan. Ucapan Katniss benar-benar penuh dengan sarkas yang menyayat hati. Sabar, pikirku. Anak ini masih kecil, mungkin masih perlu penataran khusus untuk bibir tipisnya yang lentur itu. Gadis cantik bertubuh tinggi semampai dengan rambut ikal kecokelatan itu pun berjalan dengan kaus kaki yang masih menempel di kaki mulusnya. Entah terhasut setan mana, Katniss malah sengaja menubruk pundakku saat berjalan ke arah meja makan sana. Aku ternganga saja dengan tingkahnya yang su
Read more
23 A. Ngeyel
“Sebaik-baiknya Pak Hanan, mana mungkin mau ngasih tinggal orang asing ke rumah, Fik. Orang kita mau silaturahmi tiap lebaran aja dia nggak ngebolehin, kok. Pasti halal bihalalnya juga dibikin di kantor.” Helena meneruskan ucapannya dengan nada yang cukup sinis. “Hmm, benar juga katamu, Hel,” jawabku mulai kehilangan selera untuk bicara panjang lebar dengannya. “Jadi, sekarang kamu di mana? Betulan di rumahnya Pak Hanan, Fik?” “Nggak, Hel. Aku bohong. Hehe.” Aku pura-pura tertawa, padahal hatiku sebenarnya tengah menyimpan perasaan yang cukup aneh kepada Helena. “Tuh, kan! Kamu tuh, senang banget bikin aku syok! Sekarang kamu di mana? Biar aku samperin kalau memang masih di kota.” Helena seperti mendesakku. “Aku udah di bis, Hel. Sekitar dua jam lagi sampai kampung. Diongkosin Pak Hanan.” Terpaksa aku membohongi Helena. Percuma jujur pun. Sepertinya Helena malah tidak terima kenyataan jik
Read more
23 B. Pelakor
“Mbak Fika, kalau mau protes langsung ke Tuan aja. Saya nggak tahu apa-apa.” Muka Mbak Lisa yang dihiasi kerutan halus itu terlihat keberatan. Aku mendecak kecil. Bukan tak bersyukur diberi baju bekas oleh Pak Hanan. Yang jadi masalahnya, kalau sampai Bu Jelita lihat, apa ini tidak bakalan jadi masalah? “Oke, Mbak. Makasih banyak, ya. Oh, ya, Bu Jelita ke mana ya, Mbak?” bisikku dengan ekspresi resah. Mbak Lisa yang lebih pendek tubuhnya dan kini telah bertukar pakaian menjadi daster batik selutut itu mengendikkan bahu. Perempuan yang rambutnya telah berhias uban itu berkata dengan acuh tak acuh, “Jangan tanya saya, Mbak. Saya nggak tahu apa-apa.” Mbak Lisa yang mengenakan bando hitam dan mengikat rambut sepundaknya dengan jedai plastik motif zebra itu pun balik badan. Dia turun ke lantai bawah, tanpa mengucapkan salam perpisahan padaku. Tentu saja diperlakukan begitu membuatku langsung merinding. “Duh, Mbak Lisa.
Read more
24. Hilang Respek
BAB 24Hilang Respek “Bukan. Masa aku simpanan Daddy-mu? Kurasa selera Daddy-mu pasti lebih berkelas daripada cewek kampung sepertiku.” Kujawab kata-kata Katniss dengan cukup sinis. Biarlah dikata merendahkan derajat sendiri. Biar anak itu puas. “Ya, betul juga, sih. Oke. Aku mau siap-siap dulu. Sekalian mau salat Ashar.” Katniss sambil memuntir-muntir rambut ikalnya, berbalik dan lari dari kamarku. Anak itu tidak menutup kembali pintu kamar yang kutempati. Melihat punggung si cantik itu lenyap dari pandangan, aku lega. Entah mengapa, Katniss malah seperti momok mengerikan di rumah ini. “Jangan sampai anak itu membuatku stroke,” gumamku sambil menghela napas dalam. Setelah Katniss pergi, aku langsung salat Ashar. Tadi sebenarnya setelah Zuhur, aku mau langsung melaksanakan salat Ashar, tapi sayangnya Mbak Lisa malah menggangguku dengan memberikan baju-baju yang katanya Katniss adalah baju untuk disumba
Read more
25. Tameng Untuknya
Kuabaikan sejenak panggilan dari Helena sampai ponselku henti bergetar. Namun, gadis itu tampaknya engga menyerah. Dia lagi-lagi meneleponku dan terpaksa harus kuangkat. “Halo, Hel. Sorry, masih di jalan,” jawabku malas. “Fika, kenapa kamu kirimin aku pulsa seratus ribu? Duit dari mana kamu, Fik? Buat ongkos aja kamu udah susah. Astaga!” Suara Helena terdengar khawatir di seberang sana. Semoga saja bukan pura-pura khawatir, pikirku. Ya Allah, aku jadi mudah suuzan pada perempuan cantik itu. Padahal, hubungan kami sebelum-sebelumnya sangat mesra layaknya adik kakak yang saling sayang. “Nggak apa-apa, Hel. Ambil aja. Aku terlalu banyak ngerepotin. Itu dikasih sama anaknya Pak Hanan tadi.” Aku tidak bisa berbohong. Sebab, di depanku ada Katniss. Sekecil apa pun suaraku, pasti Katniss bisa mendengar isi pembicaraanku kepada Helena. “Anaknya? Kok, sampai anaknya ngasih kamu pulsa segala, Fik? Ini kamu masih
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status