All Chapters of Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku: Chapter 11 - Chapter 20
42 Chapters
11. Terkejut
Tak ada yang sudi menolongku. Baik Helena, Dewangga, Firman, maupun pelanggan-pelanggan ekspedisi yang berdatangan lainnya. Rasanya sedih bukan main, diriku kini bak sampah yang tak dipedulikan oleh sesiapa pun. Akhirnya aku ikut bersama Pak Hanan. Masuk ke sedan BMW putih mentereng miliknya yang seingatku baru saja di beli sebulan sebelum aku dan Mas Rian menikah. Jangan tanya seperti apa banyaknya air mataku, yang pasti sangat sebak. “Nggak usah nangis kamu! Ngapain kamu nangis segala kaya orang ditinggal mati suami?!” Pak Hanan membentakku ketika dirinya tengah menyalakan mesin mobil. Aku kesal. Bukan main rasanya. Sudah jatuh, tertimpa tangga dan tai ayam lancung pula. Hidupku hari ini seolah tengah dipeluk oleh takdir sial yang enggan pergi meski hanya sejenak. Kuputuskan untuk diam. Percuma sekarang menangis pun, pikirku. Pak Hanan dengan segala ketegaannya, pasti akan membawaku pergi. Entah itu ke rumah sakit
Read more
12. Sebuah Luka
“I-ikut Bapak, deh,” gagapku gugup. Alis Pak Hanan saling bertaut. Bibirnya yang merah dengan bagian bawah tampak ditumbuhi bulu halus itu mengerucut tipis. Dia lalu mengerling ke arah si pelayan yang sudah menyibak gorden penutup etalase. “Nasi putihnya dua. Lauknya bawain komplet aja ke meja, biar kita bisa pilih. Oh, ya, minumnya es teh tiga gelas,” ucap Pak Hanan santai. Pelayan bertubuh sedang dengan potongan rambut belah tengah itu mengangguk patuh. Dia tersenyum ramah sembari mengedarkan pandang ke etalase yang telah dipenuhi ragam lauk. Sejurus kemudian, dua orang rekannya yang lain datang sambil menjinjing nasi panas dalam termos besar berwarna biru. “Silakan ditunggu, Pak, Bu. Makanannya akan segera kami hidangkan,” ucap si pelayan rambut belah tengah itu kepada kami. Pak Hanan pun menepuk pundakku. Aku yang terpana memperhatikan banyaknya lauk yang berususun-susun dalam piring berwarna putih itu pun gelag
Read more
13. Dipaksa Bertemu
“Udah, ah! Jangan bahas yang aneh-aneh dulu. Otakku ngebul!” Pak Hanan dengan mulut penuh dan tangan yang berlumuran minyak serta kuah itu memungkas kalimatnya sendiri. Aku tak bereaksi apa-apa. Hanya diam. Menebak-nebak apa yang telah terjadi pada Pak Hanan pun, aku kesulitan. Perut yang lapar perlahan terisi oleh sajian yang Pak Hanan pesan. Sudah lama sekali aku tidak makan di restoran begini. Apalagi dengan lauk yang belakangan kunilai sangat mewah. Makan rendang daging sapi, terakhir kali pas lebaran Idul Adha dua bulan yang lalu. Itu juga karena dapat pembagian dari masjid. Kalau tidak dapat pembagian, ya wassalam! Uang belanja semuanya diberikan kepada ibu mertuaku. Suamiku beralasan, katanya sebagai orang yang menumpang kami berdua harus tahu diri. Aku juga tidak berani menuntut apa pun, karena pikirku Mas Rian pasti lebih paham akan yang terbaik. Enam bulan mengabdi sebagai istri. Jangankan beli bedak, lips
Read more
14 A. Derita
Perasaanku semakin tak keru-keruan saat aku dan Pak Hanan sudah memasuki sedan BMW putih miliknya. Meski dia sempat mengajak bercanda dengan memanggilku ‘Dik Fika’, nyatanya candaan itu sama sekali tak menghibur. Pikiranku kusut seperti pita kaset yang ditarik awut-awutan. Penyebabnya? Tentu saja rencana Pak Hanan yang akan membawaku ke rumah sakit. Dia ingin menyerahkanku kepada Mas Rian. Ini benar-benar tega, pikirku. Sudah kujelaskan bahwa Mas Rian dan kedua orangtuanya hanya ingin memanfaatkanku. Namun, Pak Hanan sama sekali seperti tak memiliki nurani dan seperti sengaja mendorongku ke dalam lubang penderitaan baru. Di dalam mobil, aku bungkam. Tak bersuara. Apalagi memulai percakapan. Bukannya tak mau berterima kasih atas traktiran Pak Hanan. Hanya saja, apa yang mantan bosku lakukan itu seperti di luar nalar. Benakku bertanya, di manakah belas kasihan Pak Hanan kepada aku yang telah menjadi korban keganasan suami serta mer
Read more
14 B. Apa Maksudmu?
Pak Hanan menyejajari langkahnya di sebelahku. Aku tak kuasa untuk berjalan terlalu cepat. Bahkan, kepalaku terasa pusing dan sedikit berkunang-kunang ketika kami melaju menuju gedung utama rumah sakit. “Bos, aku kira, Bos masih lama ke sini.” Sebuah suara tiba-tiba menyeruak keras di belakang kami ketika aku dan Pak Hanan sudah di depan ambang pintu masuk yang terbaut dari kaca. Aku kaget. Sontak kutoleh ke belakang. Ketika melihat sesosok pria tinggi besar dengan kulit hitam dan wajah yang sangar, dadaku makin mencelos. Pria itu berpotongan layaknya preman. Celana jinsnya belel dan sobek-sobek. Lihatlah ke arah lehernya. Pria dengan wajah khas Indonesia Timur itu mengenakan kalung emas berbentuk rantai sisik naga yang cukup tebal. Di jari manis kanannya pun, kulihat dia mengenakan sebuah cincin emas dengan motif cetakan bergambar naga. Dari gaya yang seperti itu, kuduga dia adalah seorang debt collector alias
Read more
15 A. Hancurnya Sebuah Kesombongan
“Pak, tolong jangan buat saya jadi serba salah begini,” ucapku rikuh sambil masih berusaha mengelak dari dekapannya. “Udah. Kamu ikut aja apa kataku. Apa kamu pengen kalau hidupmu lebih susah lagi?” Pak Hanan mendekatkan wajahnya lagi. Kalau sudah begini, aku langsung kagok luar biasa. Cepat kupalingkan wajah darinya. Terdengar suara decihan dari mulut Pak Hanan. Pria beraroma kayu manis, sitrus, dan bergamot itu lalu berjalan lagi. Kali ini ayunan langkahnya lebih santai dan tentu saja masih merangkul pundakku. Elia sudah terlebih dahulu sampai di depan pintu bangsal Bimasakti yang dijelaskan oleh suster tadi. Kutengok, pria berperawakan atletis itu tak lagi mengetuk pintu. Melainkan, langsung masuk dengan gerakan santai tanpa beban. “Ya Allah,” gumamku sambil memegangi dada sendiri. Debaran di dadaku begitu kencang. Aku limbung lagi. Rasanya telapak kaki ini tak berpijak di bumi, saking ngerinya.
Read more
15 B. Aku Mohon
“M-maaf,” gagap Bapak gelagapan sambil tertunduk lesu. Bapak dan Ibu sekarang kompak menunduk sambil menaruh kedua tangan mereka di depan. Keduanya tak berkutik sama sekali. Jangankan melawan, sekadar mendelik saja, kelihatannya mereka gentar. Mas Rian yang telah berganti pakaian menjadi piyama lengan pendek warna biru milik rumah sakit itu kelihatan pucat sekali. Kulihat, di pelipis kanannya juga ada luka lecet yang berwarna cokelat, mungkin karena dibubuhi betadine. Ekspresi suamiku sangat memelas, seperti minta untuk dimaafkan. “Jadi, aku mau tanya ke kamu, Rian. Tolong jawab jujur. Kalau tidak, anak buahku, Elia, tak akan segan membocorkan kepalamu!” Pak Hanan menuding wajah suamiku dengan telunjuknya. Suamiku makin tersudut. Lelaki itu kian ketakutan dengan kedua mata yang dia pejamkan rapat. Ibu bapaknya kelihatan tidak terima dan sekarang malah saling pandang. “Duit tiga puluh juta itu, sebenarnya buat ap
Read more
16 A. Telanjur Sakit
“P-pak, tolong jangan buat masalah ini makin—” Ocehan Ibu yang disambil dengan cucuran air mata itu pun langsung dibantah oleh Pak Hanan, “Diam Anda!” Aku ikut tersentak mendengar bentakkan bosnya Mas Rian tersebut. Malah aku yang merasa sangat malu dan tak sanggup untuk memperhatikan raut muka Ibu. Masalah ini terasa makin pelik pastinya bagi Mas Rian sekeluarga. “Laki-laki penjudi seperti ini terus Anda bela? Sebagai seorang ibu, otak Anda ditaruh di mana?” Pak Hanan menunjuk-nunjuk pelipisnya dengan muka menyeringai. Kulihat sekilas, Ibu tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia menangis sesegukkan sambil menutupi wajahnya dengan lengan kanan. Ada rasa puas di hatiku melihat orang yang tadi sibuk mencaci maki diriku, kini terpuruk hancur. “Rian, kamu saya pecat!” Pak Hanan menuding muka Mas Rian. Suamiku pun kini ikut menangis. Air matanya sebak membasahi wajah yang pucat pasi serta luka-luka itu. Apakah a
Read more
16 B. Mencium Kakiku
“Rian yang lebih duluan menarik jilbabku. Dia yang hendak menarikku dari atas ojeg. Apa maksudnya melakukan itu, kalau bukan untuk mencelakaiku duluan?!” Aku sampai berkacak pinggang menghadap ke arah Mas Rian. Pria itu tak berdaya sama sekali. Dia hanya bisa menangis sesegukan tanpa bunyi suara sama sekali. “Rian, kita cerai! Aku akan segera mengurus berkas-berkasnya. Jangan kira karena aku miskin begini, aku tidak mampu hidup tanpa kamu!” Puas sekali aku menumpahkan segala kekesalanku kepada pria yang sebentar lagi akan menyandang status duda tersebut. Usia kami memang sangat muda. Aku 22 dan Mas Rian sendiri 24. Namun, aku sungguh rela menjadi janda di umur yang sangat belia ini, demi menjaga kewarasanku. Baru enam bulan menikah saja, Mas Rian sudah menyimpan banyak dusta. Apalagi jika rumah tangga ini dipertahankan sampai enam tahun lamanya? “Jadi, semua sudah jelas di sini. Rian, silakan ambil uang dua puluh j
Read more
17. Pembantu
“Elia, terima kasih untuk bantuanmu. Sisa fee-mu sudah kutransfer.” Pak Hanan memperlihatkan layar ponselnya ke depan wajah Elia. Elia langsung memeluk lelaki berkulit putih yang berdiri di sebelahku itu. Kini, kami bertiga tengah berbincang di halaman parkir, tepatnya di depan sedan BMW putih milik mantan bosku, Pak Hanan. “Aku yang terima kasih, Bos. Kalau ada apa-apa lagi, tolong hubungi aku segera, Bos. Sebenarnya, upah yang Bos kasih terlalu besar untuk pekerjaan sesepele tadi,” sahut Elia seraya menepuk-nepuk pundak Pak Hanan. Aku tak mau ikut campur urusan mereka. Hanya diam mematung saja. Sesekali kucuri pandang ke arah keduanya yang memang sejak tiba di sini, sibuk membicarakan masalah ‘pekerjaan’. Pekerjaan apalagi kalau bukan yang tadi. Jadi, Elia diupah oleh Pak Hanan hanya untuk menakut-nakuti Mas Rian sekeluarga. Sebenarnya, tanpa membawa Elia pun, mereka sudah keder duluan sebab melihat kemurkaan pemilik JNR cabang
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status