Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku

Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku

Oleh:  Meisya Jasmine  Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
2 Peringkat
42Bab
13.6KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Saat ayah dari Fika meninggal dunia, mertuanya malah meminta jatah warisan dengan sikap yang manis dan tak berdosa. Fika sangat geram. Terlebih, suaminya pun malah membela kedua orangtuanya yang ternyata sangat mata duitan. Fika tak tinggal diam. Dia melawan dan berniat untuk menjanda, ketimbang harus dihina miskin dan benalu oleh keluarga suaminya.

Lihat lebih banyak
Saat Mertua Meminta Jatah Warisanku Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
default avatar
Kiyowo Girl
Sukaaaa sekali buku ini... Cuss masuk rak buku jadi favoritku setelah novel punya Kak Qeqe yang Istri pilihan pewaris lumpuh.
2023-02-09 16:32:46
1
user avatar
Meisya Jasmine
Teman2 kesayangannya aku, jangan lupa kasih ulasan sebanyak2nya ya.
2023-01-04 00:04:25
0
42 Bab
1. Tiba-Tiba Manis
BAB 1Tiba-Tiba Manis “Fi, Ibu dengar, kalian sudah pembagian warisan, ya? Jadi, kamu dapet berapa, Fi?” Pagi-pagi sekali ibu mertuaku mengejutkan. Sosoknya sudah berdiri di belakangku. Aku syok, sebab tumben sekali dia mau menimbrung di dapur ketika aku tengah sibuk menyiapkan sarapan. “Eh, Ibu.” Aku sedikit gugup. Senyum Ibu mengembang. Beliau tiba-tiba menyambar sutil yang kupegang. Aku terkesiap penuh tanya akan sikapnya yang aneh tersebut. “Kamu masak nasi goreng, Fi? Ya ampun, wanginya enak banget, lho. Ibu bantu, ya?” Wanita 49 tahun yang mengenakan daster batik warna cokelat itu mengembangkan senyum. Tangannya kini lihai bermain sutil di atas wajan. Sekali lagi, aku heran. “Tumben udah bangun, Bu?” tanyaku pelan. Kupandangi mertuaku yang biasanya tidak banyak bicara itu. Setengah tahun jadi menantunya, baru sekarang dia mau ikut terjun ke dapur. Sikapnya jadi berubah
Baca selengkapnya
2. Aku Tak Bodoh
BAB 2Aku Tak Bodoh “Menipu? Menipu bagaimana sih, maksudnya, Bu?” Aku bertanya kepada Ibu sambil beristighfar dalam hati. Mas Rian yang semula terbatuk-batuk itu pun tiba-tiba saja mencengkeram lenganku. Ketika kutoleh, wajah Mas Rian sudah merah padam. “Kenapa kamu nggak pernah cerita sebelumnya, Fi?” Pertanyaan Mas Rian bagai pecut yang mencambuk hatiku. Suami yang kukenal selama ini tak begini harusnya. Mana sosok Mas Rian yang kerap perhatian dan selalu sayang padaku itu? “Lho, cerita? Tentang rumah dan tanah yang ditinggali almarhum ayahku? Kenapa aku harus cerita masalah kepemilikan rumah itu segala, Mas?” Mas Rian mendecak kesal. Cengkeraman tangannya pun dia lepas dari lenganku. Terdengar helaan napas yang masygul dan berat. “Fika, seharusnya sejak awal kamu ceritakan kepada kami kalau ayahmu ternyata tidak punya apa-apa!” Ibu mertuaku yang selama ini tak banyak bicara, tiba-tiba
Baca selengkapnya
3. Bukan Perempuan Bodoh
BAB 3Bukan Perempuan Bodoh “Kurang ajar kamu, Fika! Dasar perempuan miskin! Nggak tahu diri!” Ibu berteriak nyaring. Wanita yang mengikat rambut hitamnya ke belakang itu mengejar ke arah tempatku berdiri. Tangan Ibu sudah terangkat tinggi. Mertuaku yang berkulit kuning langsat dan berwajah mirip dengan Mas Rian itu pun hendak menampar pipiku. Sayang, tangannya ditahan oleh Mas Rian yang tubuhnya telah penuh tumpahan nasi goreng. “Bu, cukup! Rian mohon, hentikan pertengkaran ini!” Suamiku berteriak di hadapa ibunya. Aku bergeser. Berusaha untuk keluar dari kepungan Mas Rian dan Ibu yang masih sibuk berkelahi. Namun, ruang yang mereka berikan begitu sempit hingga rasanya aku terjepit di antara tubuh keduanya. “Istrimu kurang ajar, Yan! Kamu itu lagian bodoh banget jadi laki-laki! Sudah disiram pakai nasi goreng begitu, masih aja kamu belain!” Ibu tampak sangat emosi. Tubuh ramping Ibu yang memang selalu
Baca selengkapnya
4. Selamat Tinggal!
BAB 4Selamat Tinggal! Mas Rian tak terima akan sikapku. Tangan pria yang menyembulkan urat-urat berwarna kehijauan itu pun mencengkeram lenganku erat. Tentu saja langsung kutepis kasar. “Lepas!” sergahku berang. “Nggak! Aku nggak mau ngelepas kamu!” bentaknya balik. Mata suamiku yang kerap menatap sendu, kini berubah garang. Manik hitamnya membeliak besar. Seakan aku ini musuh lamanya. “Kalau ternyata aku hanya dinikahi karena kalian mengincar harta warisan, itu nggak bakalan kalian dapat, Mas! Jadi, lepaskan aku sekarang dan biarkan aku pulang ke kampung halamanku!” Aku berteriak nyaring. Tak peduli akan sesakit apa tenggorokanku. Yang penting, beban di dada plong. Mas Rian mendengus. Mimik wajahnya jelas menerangkan betapa geramnya dia kepadaku. Jangan sampai dia main tangan seperti ibunya tadi, pikirku. Kalau sampai dia memainkan tangannya ke tubuhku, jangan salahkan aku
Baca selengkapnya
5. Sakit Jiwa
BAB 5Sakit Jiwa “Tega kamu, Fika.” Suara Mas Rian gemetar. Tanpa dinyana, lelaki 24 tahun itu menitikkan air matanya. Meluncur begitu saja kristal bening itu ke pipinya yang mulus. Aku tersenyum. Bukan karena bahagia melihatnya menangis. Namun, ini adalah sebuah senyum yang sama penuh lukanya. “Jangan playing victim, Mas. Tangisanmu tidak akan mengubah apa pun,” desisku eneg. Mas Rian tak menyahut lagi. Buru-buru dia seka air mata di pipinya. Lelaki berkaus merah itu lalu menepis-nepis sisa nasi yang masih menyangkut di pakaian kerjanya. “Makasih sudah memfitnahku playing victim, Fi. Aku tahu kalau aku yang salah. Sedangkan kamu itu manusia suci yang tidak pernah punya salah, apalagi dosa.” Ucapan aneh yang Mas Rian katakan tadi hanyalah sebuah upaya untuk menekanku. Sarkasme dari bibir manismu itu tidak akan membuatku merasa bersalah. Sedikit pun aku tak berniat untuk memaafkan, terlebi
Baca selengkapnya
6. Dikejar Setan
BAB 6Dikejar Setan Aku berlari sekuat tenaga dengan napas yang terengah-engah. Tak kupedulikan lagi tatapan heran orang-orang di sekitar lingkungan rumah mertuaku. Jalanan komplek yang cukup ramai pun, nekat kuterabas dengan sandal jepit yang tapaknya telah menipis. Sekitar lima puluh meter di depan sana, kulihat ada sesosok tukang ojeg berjaket hijau. Pria yang tengah menepi di bahu jalan itu, tampak tengah fokus memperhatikan ponsel di tangan kanannya. Aku berteriak, demi membuat bapak-bapak ojeg online itu menoleh. “Pak! Bapak! Saya mau naik!” pekikku heboh. “Mbak, kenapa lari-larian begitu?” Seseorang di sebelah kananku menegur.Kutoleh, ternyata ibu-ibu yang sering senam pagi Minggu dengan ibu mertuaku. Beliau yang mengendara motor matik dan memelankan laju kendaraannya itu, memperhatikan wajahku bingung. Seingatku, nama beliau adalah Bu Tari.Aku tak peduli. Kupelengosi muka ibu-ibu yang mengenakan daster hitam dan jilbab
Baca selengkapnya
7. Utang Suamiku
“Neng, itu kenapa? Mas yang tadi jatoh?” Bapak ojeg bertanya denganku. Dari nada suara beliau, terdengar sangat resah dan cemas. Kami setali tiga uang. Sama-sama tak tenang, sebab bunyi gedubrak serta pekik jerit di belakang sana. “Nggak tahu, Pak! Nggak lihat. Pak, ayo buruan kabur aja!” pintaku mendesak bapak ojeg. “I-iya, Neng,” gagap bapak ojeg di tengah desauan angin dan hiruk pikuk jalanan yang mulai macet. Untung saja, tak ada yang mencegat kami. Aku pun tidak mampu untuk menoleh ke belakang. Mataku kini terpejam saking takutnya. “Neng, ini kita ke mana?” “Ke kantor JNR yang di jalan Senopati, Pak! Depan supermarket Hari Ini!” Kantor yang kumaksudkan adalah tempat bekerjanya Mas Rian. Pernah menjadi tempat bekerjaku juga. Pasti kalian bertanya-tanya, mengapa aku malah pergi ke sana. Aku ingin menemui Helena. Dia adalah satu-satunya sahabat karibku di kota ini. Kami be
Baca selengkapnya
8. Rahasia Besar Mas Rian
“P-pak Hanan,” gumamku sambil memperhatikan wajah pria berkaus polo warna putih dengan garis-garis biru di bagian dadanya. Pria tinggi dengan potongan rambut caesar haircut itu menekan tombol kunci remotnya hingga terdengar suara ‘tin-tin’ dari mobil bagusnya. Tatapannya sekilas tajam ke arahku. Dia terus berjalan mendekat, membuatku sangat deg-degan. Pak Hanan adalah owner alias pemilik ekspedisi JNR cabang Senopati. Perusahaan JNR adalah perusahaan jasa di bidang pengiriman barang dari dalam dan luar kota, yang bisa dimiliki orang umum dengan membeli waralaba alias franchise-nya. Selain memiliki perusahaan ekspedisi ini, Pak Hanan juga pemilik minimarket franchise yang lokasinya hanya seratus meter dari sini. Lelaki berkulit putih dengan jambang dan jenggot tipis itu menatapku tanpa berkedip. Dia melirikku dari atas kepala hingga ke ujung kaki. Dari ekspresinya, kutebak mantan atasanku itu menganggap aneh terhadap penampilanku.
Baca selengkapnya
9. Celaka
“Pak, tolong jangan bilang-bilang kalau saya di sini!” mohonku sambil mencengkeram lengan berbulu milik Pak Hanan. Mata Pak Hanan memicing sadis. Pria itu lalu mendelik dan memajukan dagunya ke depan. “Singkirkan tanganmu,” perintahnya cukup ketus. Refleks, aku melepaskan cengkeramanku pada lengannya. Suara dering ponsel milik Pak Hanan masih memekik keras di antara kami. Semakin was-was saja hatiku gara-gara dering nyaring tersebut. Pak Hanan lalu mengangkat telepon dari suamiku. Degupan jantungku langsung keras bertalu. Aku berdoa, semoga Mas Rian tidak apa-apa dan yang terjatuh tadi juga bukan orang lain. “Halo, Rian! Ngapain kamu nelepon saya? Bukannya segera masuk kantor, malah nelepon-nelepon nggak jelas begini!” geram Pak Hanan sampai bola matanya melotot besar. Kugenggam tangan Helena erat-erat. Kami berdua kini saling berpandangan. Sejurus kemudian, keluarlah sosok Dewangga dan Firman dari bilik yang berada
Baca selengkapnya
10. Utangmu Bukan Utangku
“Pak, tapi saya nggak menikmati uang itu sama sekali!” Tanpa dapat dikontrol lagi, aku menjerit histeris di depan Pak Hanan. Lelaki yang memiliki tubuh dengan rambut-rambut yang cukup lebat itu tampak terkesiap. Helena yang masih standby di samping kananku pun langsung merangkul erat-erat. “Demi Allah, jangankan makan duit tiga puluh juta itu, Pak! Ngeliatnya aja saya nggak pernah!” tegasku dengan suara yang melengking. Dua klien yang sedang duduk di depan meja komputer itu pun lagi-lagi menoleh. Muka mereka terlihat tak nyaman. Aku sudah tidak memikirkan lagi akan tatapan aneh itu, yang penting masalah ini segera kelar. “Maksud saya ke sini adalah minta pertolongan Helena, Pak. Saya cuma mau pulang. Bukan mau mempertanggung jawabkan sebuah kesalahan yang bukan saya pelakunya!” tukasku terengah-engah. Kali ini, teleponku yang menginterupsi percakapan. Deringnya terdengar nyaring dari saku piyama lusuhku. Cepat kusek
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status