Semua Bab JODOH PILIHAN MAMA: Bab 21 - Bab 30
79 Bab
16b
Aditya bangkit dari posisinya. Ia mengambil ponsel dan membuka salah satu aplikasi. “Balik hari Senin apa Selasa?” tanya Aditya. Dia tengah membatalkan penerbangan kembali ke Jakarta. “Aku ada kuliah, Mas.” Aditya tertawa. Lupa kalau dia menikahi anak kuliahan. “Senin kuliah? Jam berapa?" “Senin ngerjain tugas. Selasa kuliah.” “Ngerjain tugasnya nggak harus ke kampus, kan?” tanya Aditya. Intan merasa, ini adalah percakapan dengan Aditya yang paling panjang di ruang privat. Meski beberapa hari terakhir Aditya sering ke kampusnya, tapi dia jarang menanyakan hal privat. Di kampus Aditya masih misterius. Datang dan pergi seolah tanpa tujuan. Hal yang sangat aneh bagi seorang Aditya, makhluk serius.“Emang Mas Adit nggak kerja?” tanya Intan. “Oh, aku gampang. Bisa cuti.” Intan menoleh. Ternyata Aditya tengah menatapnya. Buru-buru Intan memalingkan kembali mukanya. “Ya Alloh, pacaran aja nggak pernah. Ta'aruf nggak pernah. Tahu-tahu ada pria asing di sampingnya.” “Kenapa?” “Ngga
Baca selengkapnya
17a
“Nak Adit, Ayah dan Ibu titip Intan, ya. Kesempatan Ayah dan Ibu mendidiknya, kini sudah berpindah ke pundakmu. Ayah dan Ibu percaya, Nak Adit pasti bisa menjadi imam yang baik untuk Intan. Ayah dan Ibu minta, tolong jaga amanah ini,” nasehat Pak Arman saat Aditya pamit. “Insyaalloh, Ayah. Adit akan menjaga Intan dengan sebaik-baiknya,” janji pemuda itu. Sementara Intan masih kesal dengan Aditya. Jawabannya yang tidak lugas, membuatnya merasa dipermainkan. Bisa-bisanya, orang tuanya setuju-setuju saja menikahkan dia dengan pria yang sekarang menjadi suaminya. Ya pasti setuju. Semua orang juga tahu, Aditya itu di mata orang luar adalah perfect young man. Nggak heran kalau Sarah sampai minta balikan. Hanya orang tua Sarah waktu itu saja yang belum membuka mata. Kalau iya, hampir semua orang tua pasti ingin menjadikan Aditya sebagai menantunya. Sholeh, pinter, mapan, pandai bergaul, punya tatakrama, hormat pada orangtua, dan masih banya
Baca selengkapnya
17b
Pagi-pagi seperti biasa Intan sudah siap mau berbelanja sayuran ke Mang Udin di dekat Gardu Satpam. Dilihatnya mbak-mbak ART penghuni kompleks sudah pada kumpul di sana. Mereka tengah memilah-milah belanjaannya masing-masing. Selama Intan tinggal di rumah Bu Handoyo, Intan sering berinteraksi dengan mereka. Kalau saat menginap pun, pasti salah satu tugas Intan adalah belanja sebelum berangkat kuliah. Mang Udin sudah mulai mangkal sejak jam 5 pagi. “Wah pengantin baru datang,” ledek mbak-mbak yang asyik belanja itu. Deg. Seketika mata Intan melebar. Kok pada tahu? Batin Intan.“Kemaren Bu Handoyo bagi-bagi berkat. Katanya kamu dinikahkan di kampung sama Mas Adit ya?” tanya Mira, ART-nya Pak Rusman yang tinggal di sebelah rumah Aditya. "Dari mana Mbak Mira tahu?" Padahal, dia sedang menyusun rencana konspirasi menyamar jadi pembantu. Eh, malah tetangga sudah tahu kalau
Baca selengkapnya
18a
Flashback“Mah, aku perhatiin, Adit tuh akhir-akhir ini sering jalan sama Intan,” ujar Dimas saat baru pulang kerja. Lelaki itu langsung mengambil air di kulkas dapur.Mama yang sedari tadi sibuk mengupas bawang, menghentikan kegiatannya, Ia menoleh dan tersenyum pada putra tengahnya. “Serius kamu?” Dimas ikut tersenyum melihat ekspresi bahagia mamanya. Sudah sekian bulan sejak Aditya dekat dengan Sarah, mamanya selalu bermuram durja. “Serius, lah, Ma. Kapan Dimas nggak serius. Dimas lihat sendiri, kok.” “Lihat dimana??” Dimas tertawa. Dia lupa kalau sudah janji nggak akan membocorkan rahasia ini.“Mama itu mengkhawatirkan adikmu. Dia kan nggak seperti kamu yang gampang bergaul. Pacaran, putus. Besok dapat lagi. Lha kalau si Adit? Dia ini sejak SMA ngga pernah dekat sama cewek. Kuliah, masih anti cewek. Apalagi kuliah S
Baca selengkapnya
18b
Hingga suatu hari, saat pengumuman penerimaan mahasiswa baru.  “Intan keterima dimana, Dik?” Bu Handoyo langsung menelpon sahabatnya, tatkala para tetangga sudah heboh musim penerimaan mahasiswa. “Alhamdulillah, seusai cita-citanya,” sahut Bu Arman.  Bu Handoyo sudah tahu sejak lama, kalau Intan ingin sekolah di Jakarta.  “Biar tahu ibukota, Bude. Mas Adit suka ngledek kalau Intan kampungan. Mau Intan tunjukin ke dia, kalau Intan juga nggak kalah sama orang kota,” ujarnya, tepat di depan Aditya kala itu.  Saat itu, Intan tersinggung, karena Aditya menyindirnya saat semua orang memuji masakannya.  “Keren kamu, Dik. Masih remaja sudah pinter masak. Gadis jaman sekarang, mana ada yang suka ke dapur. Ya, nggak, Ma,” puji Danang saat menikmati makan malam di rumah neneknya. Kebetulan Ibu Intan bercerita kalau itu masakan Intan.  “Halah, buat apa pinter masak. Pesen catering saja banyak!” sahut Aditya de
Baca selengkapnya
19a
Flashback sebelum lamaran Intan “Mas, kamu nggak masalah nikah sama Sarah?” tanya Aditya usai makan malam. Mereka makan malam berempat seperti biasa. Sementara Intan sudah kembali ke kosannya. “Aku sudah bilang, kalau aku nggak ada masalah. Ini merupakan bagian dari amanah Om Anwar,” sahut Dimas. Pemuda itu tampak biasa saja, tak ada beban. Mungkin karena dia sudah terbiasa menghadapi masalah percintain. Berkali jatuh cinta, dan putus begitu saja. “Tapi ini untuk seumur hidup, Mas. Bukan main-main. Lagi pula, kalian belum saling mengenal. Belum ada rasa cinta,” sahut Aditya khawatir. Apalagi, dia begitu mengenal kharakter Sarah. Meski baik, tetapi cukup keras. “Tidak selalu berumah tangga harus diawali oleh cinta. Banyak keluarga yang dibangun tanpa cinta, tetapi buktinya mereka langgeng sampai tua. Papa dan mama contohnya. Ya, kan Ma?” Bu Handoyo yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan anaknya, sedikit tergagap. Dia tidak terlalu fokus. Otaknya masih memikirkan bagaima
Baca selengkapnya
19b
Seperti kebiasaan, Dimas sudah pulang dari masjid pukul 5 pagi. Namun, kondisi rumah masih sepi. Tak ada pergerakan. Biasanya, di rumah Bu Handoyo, Mama Dimas, jam 5 pagi semua orang sudah bersiap melakukan aktiftas pagi. “Dik, sudah hampir jam enam. Bangun. Kamu nggak sholat kah?” tanya Dimas ke Sarah yang masih bergelung di kasur. “Sudah tadi, Mas. Aku tidur lagi,” jawab Sarah sambil bermalas-malasan, lalu ia menarik selimutnya kembali.  “Dik, Mas mau siap-siap ke kantor. Bangun dulu. Siapin sarapan buat mama dan papa,” perintah Dimas.  Ada rasa nyeri di dadanya melihat suasana rumah seperti itu. Sarah yang masih di dalam kamar, begitu juga dnegan mertuanya. Padahal, hari sudah terang. Hal yang tidak pernah ditemui di rumahnya dahulu.  Mama dan Papanya selalu bangun pagi. Bahkan seisi rumah. Tak ada istilah malas di pagi hari. Rejeki bisa dipatok ayam, begitu mamanya bilang.  Meski Pak Handoyo tidak membantu di da
Baca selengkapnya
20
Sabtu pagi, Sarah sudah bersiap-siap berangkat ke rumah mertuanya. “Mas, kalau aku nanti berubah pikiran nggak mau nginap, jangan dipaksa, ya?” kata Sarah sambil menutup resleting tas jinjing yang sudah diisi dengan baju ganti.  “Kenapa? Kamu belum sanggup ketemu Adit?” tanya Dimas sambil tersenyum. Dimas mengerti, tak banyak orang yang dengan cepat dapat move on dari sang mantan.  “Tenang, Adit itu sifatnya memang begitu. Dingin sama perempuan. Si Intan tuh, yang sudah kenal dari kecil saja, dia masih jutek. Apalagi kamu yang baru kemaren dikenalnya,” jelas Dimas.  “Intan?” guman Sarah. Keningnya berkerut mendengar nama itu lagi.  Sebegitu pentingkah dia di keluarga Handoyo? Bukankah dia hanya anak teman mamanya Dimas? Tapi Sarah segera menepis penasarannya. Nanti lama kelamaan juga akan tahu sendiri, rahasia di balik semua ini, gumannya dalam hati. “Tapi, dulu awal-awal kenal aku, dia nggak begitu. Setelah tahu ma
Baca selengkapnya
21
Sarah sejak datang ke rumah keluarga Handoyo, hatinya diliputi keresahan. Ingin rasanya segera pulang dari rumah itu. Aditya yang berubah, membuatnya merasa tak nyaman. Mama mertuanya yang masih belum mengajaknya bicara, membuatnya menjadi canggung. Dia merasa tak dapat menjadi dirinya sendiri. Bahkan, memegang ponsel saja, dia tak berani. Dalam benak Sarah, dia sedikit heran. Mengapa tak ada penghuni rumah itu yang memegang ponsel selama dia di sana? Apakah karena dia sudah kecanduan ponsel, sehingga menjadi kebiasaannya setiap saat tak dapat meninggalkan benda pipih itu. Ada rasa keinginan yang kuat mengecek ponselnya, tapi rasa canggung membuatnya urung. Sejak resign dari kantor dan hanya mengurus papa dan mamanya yang belum sehat di rumah, Sarah memang banyak menghabiskan waktu dengan ponselnya. Dia merasa jenuh dengan hidupnya. Melihat benda pipih itu, membuatnya dapat menhilangkan kepenatan, meski sejenak. Baru beberapa jam saja, Sarah sudah mulai rindu dengan benda pipih it
Baca selengkapnya
22a
Sarah mengerjapkan matanya. Dia kesiangan bangun! Ini gara-gara semalam dia tidak bisa tidur.  Dimas sudah tidak ada di sebelahnya. Pasti dia sudah ke masjid. Tapi, kenapa Dimas tidak membangunkannya? Bukannya tiap habis dari masjid pria itu selalu membangunkannya.  Ah, Sarah jadi malu jika nanti ketauan bangun kesiangan di rumah Aditya ini.  Sarah segera bangkit. Menyisir rambutnya yang berantakan, lalu mengendap-endap ke kamar mandi. Dalam hati, dia berharap tidak ada yang melihat muka bantalnya. Saat tiba di depan pintu kamar mandi.  Sial! Terkunci.  Sebenarnya di lantai bawah ada kamar mandi juga. Namun, Sarah sudah mendengar suara ramai dari lantai satu. Artinya semua penghuni di rumah ini Sudah bangun, kecuali dia. Padahal waktu baru menunjukkan pukul setengah enam pagi! Clek, Sarah yang masih berdiri di depan pintu, menahan napasnya.  Seorang pemuda berwajah dingin yang memak
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234568
DMCA.com Protection Status