Aditya merasa nyaman dengan Sarah. Sayangnya ibunya tidak setuju karena perbedaan latar belakang. Ibunya lebih suka menjodohkan Aditya dengan Intan, gadis belia yang sudah dianggap keluarga. Padahal, sejak lama Aditya tak menyukai Intan. Setiap bertemu dengannya, bawaannya emosional. Anehnya, seluruh keluarganya terus menerus memuji gadis itu, hingga membuat Aditya makin jengah. Akan kah dia menerima Intan sebagai jodohnya? Yuk ikuti kisahnya...
Lihat lebih banyak"Bude, sop kimlonya nanti tinggal manasin aja, ya!" Intan, mahasiswa tingkat akhir itu sudah menyusun semua menu di meja makan. Termasuk sup kimlo favorit Aditya ada di panci pemanas.
Hari itu, Aditya, putra bungsu keluarga Handoyo pulang dari luar negeri, setelah selesai mengenyam pendiidkan masternya.
"Kamu nggak ikut ke bandara, jemput masmu?" tanya Bu Handoyo. Wanita itu adalah sahabat dari ibunya Intan. Intan diminta tinggal di rumah itu sejak dua tahun lalu, tepatnya saat Aditya berangkat ke luar negeri.
Sejak dulu sebenarnya Intan diminta tinggal di rumah keluarga Handoyo. Namun, Aditya yang saat itu masih berstatus mahasiswa, menolak dengan keras. Padahal dia sendiri tinggal di luar kota.
"Nggak, Ma. Intan itu bukan mahrom. Adit nggak mau."
"Lha, kan di rumah ini bukan kamu berdua sama Intan. Ada mama, papa, Mas Dimas. Lagian, Intan kan bisa jadi teman mama kalau di sini."
"Nggak. Adit nggak setuju. Bisa jadi fitnah ntar." Adit beralasan.
"Siapa yang mau fitnah? Kalau Intan anaknya genit, baru bisa fitnah. Anaknya sopan dan baik. Apalagi udah kita anggap saudara."
"Pokoknya Adit nggak setuju, titik!"
Semua orang tak berani menentang. Hingga keberangkatan Aditya dua tahun lalu.
"Salam aja Bude, buat Mas Adit. Kebetulan Intan ada kuliah." Intan mencari alasan. Meski sebenarnya kuliahnya masih jam siang.
"Kamu janji ya, meski ada Mas Adit, kamu tetap harus ke sini, ya!"
Bu Handoyo sebenarnya galau. Di satu sisi, dia senang anak bungsunya pulang. Namun, di sisi lain, dia sedih karena Intan harus meninggalkan rumahnya.
Dua tahun lamanya tinggal di rumah itu, mereka sudah sangat dekat. Sudah seperti ibu dan anak. Intan paling tahu apa yang diinginkan Bu Handoyo. Apalagi, Bu Handoyo yang memiliki tiga anak dan semuanya laki-laki, sejak dulu menginginkan anak perempuan.
Aditya dan Intan bukan tak kenal satu sama lain. Sikap Aditya yang dingin pada wanita, tak membuat Intan merasa canggung. Intan sudah menganggap Adit seperti kakaknya sendiri. Apalagi Aditya adalah sahabat kakaknya juga.
--
"Betah amat, dua tahun nggak pulang." Dimas, kakak kedua Aditya berkomentar. DImas, Pak Handoyo dan Bu Handoyo menjemput Aditya di bandara.
"Yah, kesempatan, Mas. Kapan lagi bisa ke Eropa. Kalau liburan, mesti dimanfaatkan buat jalan-jalan."
"Ayo, cuci tangan, trus langsung makan, baru istirahat," usul Bu Handoyo begitu Aditya masuk rumah.
Pak Handoyo sudah kembali ke kantor.
"Wah, harum banget. Mama masak apa?" Aditya menghindu aroma sop kimlo yang membuat perutnya keroncongan.
"Mana mungkin masakan mama," ledek Dimas.
"Emang?" Aditya mengerutkan dahinya.
Bu Handoyo tersenyum. "Adikmu yang masak," sahutnya.
Semua orang tahu. Adikmu, maksudnya adalah Intan.
Nafsu makan Aditya bisa saja lenyap, jika bukan karena dorongan kebutuhan. Namun, apa daya, tidak ada pilihan lain.
"Semua Intan yang masak?" Aditya mencomot perkedel jagung.
Di Belanda, bukan tak ada masakan Indonesia. Tapi, jajan adalah barang mewah. Dia harus menguras kocek dalam-dalam untuk itu. Pernah saking pinginnya makan bakwan, dia beli bumbu instan di toko Asia. Namun, hasilnya, tak seenak bayangannya, hingga hanya berakhir di tempat sampah.
"Enak kan?" Bu Handoyo tersenyum puas, melihat putranya makan dengan lahap.
Aditya mencebik. Dalam hati dia mengakui kelezatannya. Bahkan, dia nambah sampai dua kali sup kimlo buatan Intan.
--
Beberapa bulan kemudian
Aditya mengikuti langkah Sarah. Mereka memasuki sebuah butik.
Hari itu, Sarah akan mengambil gaun untuk pesta makan malam di rumahnya. Keluarganya akan menyelenggarakan jamuan minggu depan. Pesta makan malam untuk perkenalan keluarga calon kakak iparnya. Tak lama kakak kandung Sarah akan melanjutkan ke jenjang yang serius dengan pacarnya.
“Mas, kamu harus datang pakai baju yang senada, ya.” Sarah tersenyum pada Aditya.
Pria itu tentu saja mengangguk disertai dengan senyum yang selalu mempesona.
Aditya dan Sarah menjalin hubungan dekat, meskipun tidak bisa disebut pacaran. Aditya tidak pernah menyatakan status hubungan mereka. Keduanya selama ini hanya jalan berdua. Tanpa gandengan tangan, tanpa pelukan dan tanpa sentuhan fisik lainnya.
Aditya sangat menghargai Sarah. Pemuda itu memilih menjaga kesopanan meskipun tak dipungkiri dia menyukai Sarah.
Tanpa keduanya sadari, sepasang mata mengamati keduanya yang kini sedang meninggalkan butik itu. Tangan Aditya menenteng tas berbahan kertas bertuliskan nama butik ternama berisi gaun milik Sarah.
"Kapan kamu akan kenalan sama papaku?" tanya Sarah saat keduannya sudah berada di mobil.
Aditya menoleh, lalu ia hanya membalasnya dengan senyuman.
"Ayolah Mas. Kita ‘kan jalan sudah lama. Papaku nanya terus,---" rajuk Sarah.
Meskipun keduanya selama ini menjalin hubungan tanpa status yang jelas, Sarah ingin mempertegas status mereka. Sarah tak ingin kehilangan Aditya, pria yang bagi Sarah adalah sosok yang sempurna. Tampan, pekerja keras dan cerdas.
Aditya menarik nafas. Dia baru beberapa tahun bekerja di kantor yang sama tempat Sarah berkarir.
Aditya mengalihkan pandangannya ke jalan. Tak lama kemudian ia menginjak pedal gas perlahan, menjalankan mobilnya. Mobil Sarah tepatnya.
Mobil itu keluar dari pelataran butik menuju rumah Sarah. Rumah keluarga Sarah berada di kawasan elit. Ukuran rumahnya rata-rata besar dengan halaman yang luas. Sangat berbeda dengan kompleks perumahan di mana Aditya dan kedua orang tuanya tinggal. Hanya kompleks kelas menengah bawah, dengan rumah tipe kecil dan tanpa halaman. Hanya teras yang disulap menjadi carport untuk parkir empat buah motor, miliknya, ayah, ibu dan kakaknya.
"Kalau begitu, Sabtu besok, ya?" Sarah mencoba bernegosiasi.
"Nanti aku pikirkan lagi..." sahut Aditya dengan datar. Mobil yang dikendarainya sudah mendekati rumah Sarah.
Aditya selalu meminggirkan mobil Sarah di depan kedai kopi yang terletak tak jauh dari gang menuju rumah Sarah. Setiap hari Aditya menitipkan motornya di sana dan mengambilnya di sore atau malam hari.
Aditya belum punya nyali berkenalan dengan orang tua Sarah. Statusnya sebagai staf junior engineer di kantornya belum cukup bergengsi jika dibandingkan dengan status orangtua Sarah.
Setelah Aditya turun dari mobil, Sarah kemudian menukar posisinya di depan kemudi. Ia lalu menjalankan mobil itu sednrii hingga rumahnya.
Sementara, Aditya masih berdiri di tepi jalan, hingga mobil Sarah menghilang ditikungan.
Aditya menghela nafas. Selalu saja ada yang menganggunya jika Sarah mulai membicarakan perihal hubungan mereka.
Setelah mengambil motor dan mengangsurkan lembaran warna ungu ke pemilik kedai, dipacunya motor tersebut menuju rumahnya. Pikirannya masih mengelana. Entah sampai kapan dia akan memutuskan untuk maju, atau mundur untuk hidup bersama Sarah.
***ETW***
Usai memarkir motornya di depan rumah, lelaki berparas tampan itu masuk.
"Ketemu Sarah lagi?" tanya Bu Handoyo. Mama Aditya itu sedang memasak di dapur. Wajahnya dan intonasi suaranya datar, memberi kesan tidak suka.
Wanita paruh baya ini memiliki insting yang tajam. Tatkala menyadari putra bungsunya ini dekat dengan seorang gadis, dia buru-buru menyelidiki siapa wanita yang mampu menjadi tambatan hati putranya yang selama ini tak pernah dekat dengan lawan jenis.
Sang putra bungsu bukanlah tipe pemuda yang main-main perihal pasangan hidup. Saat dia dekat, artinya dia sudah hendak memastikan kemana kaki melangkah.
Berbeda dengan putra keduanya yang mudah dekat dengan siapa saja. Hingga sekarang pun putra keduanya meski sudah berganti-ganti pacar, tak jua memutuskan pada siapa hati ditambatkan.
Bagi Bu Handoyo, bobot, bibit dan bebet itu penting. Tapi, hal lain yang tak boleh dilupa adalah pasangan sekufu. Pasangan yang memiliki kelas dan tatanan sosial yang sama. Pendidikan yang sama, ekonomi yang sama, sosial yang sama, pemahaman agama yang sama, sehingga kelak di kemudian hari, pernikahan akan berjalan langgeng disebabkan permasalahan dasar sudah terselesaikan.
Bu Handoyo cukup menyadari posisi keluarganya bukanlah berasal dari keluarga menengah ke atas. Mereka hanya tinggal di kompleks kelas menengah ke bawah. Perumahan ukuran kecil, penduduk yang padat, tapi guyup satu sama lain. Bukan perumahan elit yang pagarnya tinggi dan sepi. Dari sini saja, sudah dapat dinilai, kelas sosial dan kelas ekonominya.
Bu Handoyo menginginkan, anaknya pun mendapat pasangan yang setara. Bukan berasal dari kalangan sultan yang bisa jadi akan merendahkannya. Ataupun kalangan lebih bawah yang bisa jadi akan merasa rendah diri.
Mendengar pertanyaan mamanya, Aditya menghentikan langkahnya. Biasanya dia akan langsung ke kamar usai mencium punggung tangan mamanya.
Kali ini, lelaki tampan itu memilih mencuci tangan di wastafel dapur, lalu membuka pintu kulkas. Matanya mencari-cari botol air dingin untuk melepas dahaganya.
"Jika kamu tidak yakin, tidak usah dilanjutkan. Itu namanya memberikan harapan palsu," tukas Bu Handoyo sambil mengaduk sayur supnya dalam panic yang dijerang di atas kompor. Nada bicaranya masih sama, datar.
Aditya menatap mamanya sambil mengambil gelas yang ada di lemari. Pria itu duduk di kursi yang mengitari meja makan tak jauh dari mamanya berdiri. Air putih dingin dari botol segera dituangnya dalam gelas. Lalu, meneguknya dengan perlahan.
Aditya menarik nafasnya. Ingin bertanya dari mana mama tahu hubungannya dengan Sarah, tetapi ia ragu. Mamanya sering sulit ditebak. Tapi, pertanyaan mamanya memang secara tak langsung menciptakan pertanyaan baru dalam lubuk hatinya. Apakah dia sudah mantap, atau dia malah tidak yakin. Benar kata mamanya.
Aditya tidak tahu, apakah dia mencintai Sarah? Tapi dia merasa nyaman. Sarah selalu berusaha membuatnya merasa dihargai.
"Adit yakin, Ma," jawab Aditya singkat. Pria berusia dua puluh lima tahun itu menatap gelasnya yang sudah kosong, lalu sesekali menatap mamanya yang sibuk memasak.
"Apa kamu pikir Mama akan percaya?” tanya Bu Handoyo. Kepalanya menoleh ke arah putranya.
“Apa yang kamu harapkan darinya? Cinta? Apa kamu akan hidup selamanya dengan cinta?"
Ada guratan kekecewaan di raut wajah wanita yang telah melahirkan Aditya ini.
Ditariknya kursi yang berseberangan dengan Aditya. Matanya menatap putranya yang kini telah dewasa itu dengan tatapan sayang.
Sementara Aditya hanya menunduk. Tatapan matanya tak lepas dari gelas yang masih dipegangnya.
"Dengar Mama, ya, Nak. Kamu dan dia itu berbeda. Kamu jangan hanya mempertimbangkan dirimu. Lihat juga papa dan mamamu. Lihat juga saudaramu," sambung Bu Handoyo.
Aditya masih terdiam. Meski kepalanya menunduk. Sesekali ia mencuri pandang menatap mamanya.
"Sekarang, Sarah bisa menerima kamu karena cinta. Tapi kamu tidak akan tahu apa yang akan terjadi nanti. Mama tidak mau, ke depannya kamu diremehkan karena berasal dari keluarga yang biasa,” terang mama Aditya. Panjang lebar ia menjelaskan berharap putranya dapat memahami kata perkata yang diucapkannya.
"Baik, Ma. Nanti Adit pikirkan."
Aditya menyudahi pembicaraan dengan mamanya. Kursi yang dia duduki digeser sedikit ke belakang, memberikan akses kakinya untuk berdiri. Lalu dia beranjak ke kamarnya di lantai dua.
Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu hanya dapat menatap punggung anaknya yang menaiki tangga, sambil menghela nafas.
EPILOGSarah sudah menyiapkan sarapan untuk Dimas, Papa dan Mamanya, dibantu oleh ART. Kondisi kesehartan Pak Anwar sudah stabil. Begitu juga Bu Anwar. Mereka bahagia karena Sarah dan Dimas kembali tinggal bersama mereka. “Mama sudah kangen ingin menimang cucu,” ujar Bu Anwar, wanita yang biasanya pendiam itu, di sela-sela sarapannya. Mendengar pertanyaan mamanya tentang keturunan, membuat hati Sarah terasa tersayat oleh kesalahannya sendiri. Dia yang salah, yang membuat bayi dalam kandungannya menjadi tiada. Dan kini, seperti mendapat teguran, karena belum kembali mendapatkan apa yang tiap wanita bersuami inginkan. Sarah dan Dimas saling berpandangan. Sarah terdiam sambil menelan ludah. Sementara Dimas tersenyum, sebagaimana kebiasaannya setiap hendak meanggapi pertanyaan dari siapa saja. “Sabar, Ma. Insyaalloh kalau sudah waktunya, nanti juga dipercaya sama Alloh,” jawab Dimas. “Kalian jangan menunda. Jangan seperti kakakmu yang mementingkan pekerjaaan. Pekerjaan itu taka da ha
Sampai di Jakarta, Dimas dan Sarah langsung bertolak ke kantor. Ada meeting dengan klien yang sudah diagendakan.“Kamu ikut saja, biar kamu tahu perkembangannya,” ujar Dimas pada Sarah. Wanita itu ikut masuk ke ruangan Dimas. Dia sendiri mendapatkan tempat duduk bersama staf lainnya di salah satu kubikel. Meskipun Sarah istrinya, tapi Dimas tak memperlakukan istimewa. Apalagi, memang Sarah yang meminta ditempatkan di bagian keuangan. “Nanti kalau perusahaan sudah selesai dengan problem yang melilit sejak ditinggal papa kamu, kita bisa perluasan lagi kantor. Kamu bisa mendapatkan ruangan sendiri. Dan posisimu juga bisa di naikkan,” ujar Dimas kala dia tak dapat memberikan posisi yang diharapkan Sarah. Lagi pula, dia tak pernah memaksa Sarah untuk bekerja di kantor yang semula memang hanya merekrut para fresh graduate, malah lulusan D3 dan SMK. Yang penting mau bekerja keras, meski Dimas harus berlelah-lelah mengajari dari nol. Dimas segera menyalakan komputernya. Mencetak bahan rapa
Hari ini hari terakhir Intan dan teman-temannya magang di kantor Aditya. Sementara sesuai rencana, Aditya sudah memesan makanan untuk tasyakuran mengumumkan status barunya. Setelah merenungkan kata-kata Intan, benar juga. Semestinya dia harus mengabarkan status itu. Selain menghindarkan fitnah, juga menghindarkan dari kejaran pengagum gelap masing-masing. Aditya sudah meminta ijin menggunakan ruang meeting besar untuk acara tasyakuran yang akan diselenggarakan saat jam istirahat. Hanya staf di divisinya dan di divisi Intan yang diundang. “Baik, bapak dan ibu sekalian. Kami bedua sengaja mengundang bapak dan ibu di sini, karena ada beberapa hal yang ingin kami sampaikan,” ucap Aditya. Lelaki itu berdiri di depan, sementara pada staf di dua divisi itu duduk melingkar di kursi yang mengelilingi meja itu. ruangan meeting besar itu berkapasitas sekitar tiga puluh orang. Selain staf, pada office boy dan cleaning service pun juga di undang. Intan berdiri di sebelah Aditya. Sementara tem
Pagi-pagi Sarah dan Dimas sudah tiba di bandara. Seperti dugaan Sarah, Hana sudah menjemput di hotel dan mengantarkan mereka berdua ke bandara. Dugaan kuat Sarah, gadis itu memang agak mencurigakan. Namun, Sarah tak menangkap sesuatu yang mencurigakan dari Dimas. Apakah lelaki selalu seperti itu? dapat menyimpan rasa yang dipendamnya? Sarah mengamati setiap gerak gerik Dimas. Begitu tiba di bandara, Dimas turun begitu saja. Tak ada lambaian tangan atau bahkan menunggu mobil yang ditumpangi Rustam dan Hana hilang di tikungan. Tidak ada drama. Atau semua ini karena ada dirinya? Batin Sarah. Mereka berdua berjalan menyusuri koridor bandara, dan langsung menuju ruang tunggu bandara. “Kamu mau mampir minum kopi dulu?” tawar Dimas kala melewati kedai kopi di dalam. “Masih lama?” tanya Sarah. Dimas segera mengecek jam di pergelangan tangannya. “Tiga puluh menit. Cukuplah,” sahut Dimas. Keduanya lalu memilih duduk di sofa pojok, karena café itu lumayan sepi. “Katakan padaku, kenapa k
Aditya melangkah cepat ke ruangan Intan. Dia tak boleh terlambat. Karena pasti gadis itu akan keluar duluan dari ruangannya tepat saat jam makan siang. Aditya menatap jam di pergelangan tangannya sejenak. Masih kurang satu menit. Lalu dia kembali memasuki ruangan di lantai 6 itu. Baru beberapa langkah, Amir yang kebetulan menoleh ke pintu keluar menatapnya sembari mengulaskan senyum di bibir. Pemuda itu lalu bangkit dari duduknya. “Wah, lagi akur, Bro?” seloroh Amir sembari mendekat ke Aditya.Aditya yang pandangannya sedari tadi fokus ke meja kerja Intan terpaksa menoleh, lalu memberikan sapaan. Meskipun hatinya kesal, namun, bukan tabiat Aditya bermuka masam pada orang lain. Dia hanya bermuka masam pada orang yang hatinya sudah dekat. Mama, Papa dan dua kakak lelakinya. Tapi, pada Intan? Sejak gadis itu masih remaja, Aditya selalu bermuka kecut padanya. Apakah ini tanda-tanda kalau hatinya sudah tertambat sejak remaja? Lelaki itu lalu berhenti di depan meja Intan. Sementara Amir
“Jadi mereka sudah tahu kalau Mas Adit sudah menikah?” tanya Intan lagi. Aditya berdiri karena sudah selesai mengenakan sepatunya. “Ayo berangkat keburu panas!” ujarnya tanpa memberikan jawaban. Keduanya melangkah keluar dari rumahnya. “Beneran aku boleh bareng?” tanya Intan meyakinkan. Jangan sampai dia sudah kena PHP, tahunya tetep jalan kaki. Lumayan juga karena sudah lumayan siang. Panas!Aditya tak menjawab. Lelaki itu hanya menatap lurus ke depan hingga langkahnya terhenti di depan lift. Saat lift terhenti di lantai 5, Aditya segera menggeser tubuhnya ke dekat Intan tatkala melihat Amir dan Irfan masuk. “Tumben berangkat bareng,” kata Irfan sambil menatap Aditya dan Intan bergantian. Aditya hanya menjawab dengan mencebikkan mulutnya. Sementara Intan hanya mengangguk seraya tersenyum.“Mesti deket-deket nih sama calon kakak ipar,” sahut Amir seraya menggeser tubuhnya, sontak membuat Aditya menoleh ke arah Intan seraya melebarkan matanya. Intan melirik Aditya sekilas, lalu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen