Semua Bab JODOH PILIHAN MAMA: Bab 51 - Bab 60
79 Bab
36a
Bisnis Dimas yang merupakan warisan dari papa mertuanya yang menyisakan banyak hutang, pelan-pelan sudah menggeliat. Namun, Dimas tidak serta merta mengubah gaya hidupnya. Dia mengutamakan menutup hutang-hutang mertuanya terlebih dahulu sambil mengembalikan asset-aset yang dulu terjual. Sementara Aditya lebih memilih menjauh dan tak mau mencampuri urusan Sarah. Biarlah waktu akan membuktikan jika dia tak hendak sama sekali ingin kembali ke Sarah. Bahkan, Aditya cenderung menghindar saat berpapasan di kantor. Melihat sosoknya saja sudah malas. Sesekali Aditya melihat Sarah bersama Ferdi, dan kini sudah menjadi buah bibir. Namun, semuanya hanya disimpan dalam hati saja. Dia malas jika mendekat dan memperingatkan, justru dia yang akan dicap tidak move on. Namun, jauh di lubuk hati Aditya, dia berharap, dengan membaiknya kondisi ekonomi Dimas, Sarah pun akan berubah. Dia tak lagi terlalu dekat dengan Ferdi, meski selama ini masih praduga. “Mas
Baca selengkapnya
36b
“Alhamdulillah, Ma, positif!” seru Dimas sambil menuruni tangga. Wajah Bu Handoyo dan Pak Handoyo yang sedang santai di ruang tamu serta merta berbinar. “Alhamdulillah, Nak. Selamat ya.” Bu Handoyo berdiri, lalu memeluk putra tengahnya. Sepertinya, wanita paruh baya itu benar-benar telah melupakan masalahnya dengan Sarah. Dimas tersenyum lega. Tak perlu ada lagi yang dirisaukan. Sejak Aditya menjauh darinya, dia sudah berusaha mempercayai Sarah. Apalagi, fakta yang diucapkan Sarah, di matanya, terlihat benar. Aditya bisa jadi iri pada Sarah. Bisa jadi Aditya menyesal meninggalkan Sarah.“Ya sudah. Jangan naik turun tangga dulu. Istirahat saja di kamar atas. Nanti biar Intan yang mengantarkan makanan ke sana,” ujar Bu Handoyo sambil menepuk lengan putra tengahnya. Mendengar titah Bu Handoyo, Intan buru-buru ke dapur. Menyiapkan makan dan minum untuk Sarah. Aditya segera mengiku
Baca selengkapnya
BAB 37a
Baru dua hari Sarah tinggal di rumanya, Aditya sudah merasa tidak nyaman. Setiap pagi, dia melihat Sarah yang baru bangun tidur, keluar kamar dengan baju yang terbuka, entah sengaja atau tidak. Padahal, mamanya saja tidak pernah melakukannya.  Di rumah itu, ada aturan, tidak boleh ada yang keluar kamar dengan baju sembarangan. Harus menutup aurat. Termasuk tidak boleh keluar kamar mandi hanya dengan handuk.  Lelaki itu masuk ke kamar Intan. Gadis itu tengah duduk di kursi belajarnya, sibuk belajar.  Tak ada kursi lain di kamar itu. Terpaksa Aditya duduk di sisi ranjang “Dik, aku mau ngekos di deket kantor. Malas aku di sini ada Mas Dimas sama Sarah,” kata Aditya setelah mendudukkan badannya. Lelaki itu menatap Intan yang menengok ke arahnya.  Intan lalu membalikkan kursinya. Mengamati lekat wajah suaminya. “Kamu tahu ‘kan, Sarah kalau di rumah pakai baju kayak apa? Aku risih lihatnya,” lanjut Aditya lagi. 
Baca selengkapnya
Bab 37b
Intan lalu duduk di tepi ranjang yang berdekatan posisinya dengan meja. Matanya tetap tertuju ke layar laptop.  “Aku habis ngikuti Sarah, kesini!” kata Aditya setengah berbisik. Telunjuknya menunjuk pada gambar yang tertera di layar. Ada banyak percakapan di situ, karena yang dibuka Aditya adalah situs forum percakapan yang membahas suatu topik tertentu.  Mata Intan menjelajah. Membaca satu persatu deretan kalimat yang ada di bawah gambar. Aditya mendekatkan laptop itu, dan menghadapkan layarnya pada Intan. Agar gadis itu dengan mudah membacanya.  Mata Intan membulat. Mulutnya menganga saat menyadari apa yang dibacanya, sekaligus mengaitkan dengan perkataan Aditya.  Intan membekap mulutnya sendiri yang masih menganga. Sementara Aditya yang duduk dihadapannya mengangguk.  “Kamu nggak salah lihat?” tanya Intan. Matanya menatap lekat pada Aditya.  Lelaki itu lalu menyodorkan ponsel miliknya yang tergeletak di
Baca selengkapnya
Bab 38a
“Maafin aku ya, Mas,” tutur Sarah saat Dimas datang. Pria itu langsung mengecup puncak kepala istrinya. “Yang penting kamu selamat,” tuturnya. “Aku tinggal ya, Mas.” Intan segera menyusul Aditya yang sedari tadi tak mau menemui Sarah. Pemuda itu hanya menunggu di teras ruang perawatan atau di kantin. Sementara Bu Handoyo dan Pak Handoyo sudah diminta Intan pulang. “Mama dan Papa pulang aja. Ada aku dan Mas Adit. Kalau ada apa-apa nanti aku kabari,” begitu Intan menyuruh mertuanya pulang, agar tidak cemas. “Makasih ya, Tan, Dit. Untung ada kalian,” ucap Bu Handoyo sebelum pulang. Kini Intan sudah di kantin rumah sakit dengan Aditya. “Kita pulang aja, yuk,” ajak Aditya. “Bentar. Nunggu Mas Dimas selesai ngobrol dulu. Kita pamit sekalian tanya Mas Dimas, barang kali perlu sesuatu,” sahut Intan.“Gampang. Ntar kita telpon. Kita G*send-in aja klo butuh apa-apa.” Aditya tak sabar. Dia malas berhubungan dengan pasangan itu. Meski sebenarnya Aditya sayang dengan kakaknya. Dia marah de
Baca selengkapnya
38b
Hari sudah malam. Sarah sengaja tidak menutup rapat pintu kamarnya. Posisi kamar Aditya yang tepat di sebelah kamar Dimas, membuat Sarah yakin, jika nanti Aditya masuk kamar, dia akan mendengarnya. Sudah beberapa hari dia tidak melihat Aditya mondar-mandir di lantai atas. Pemuda itu hanya terlihat jika hendak berangkat ke kantor saja. Selebihnya, senyap. Mungkinkah mengurung diri di kamar. Jika iya, tentu dia butuh ke toilet, atau ke bawah mengambil minum. Masak iya, hanya di kamar tanpa keluar? Batin Sarah.Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Sarah bangkit dari duduknya. Kepalanya mendekat ke pintu. Dia mengintip dari celah yang terbuka. Sepi! Wanita itu tak mendengar apapun. Bahkan, usai makan malam, sepertinya Aditya belum naik ke lantai atas. Sarah bergegas turun ke lantai satu. Lantai satu sudah gelap. Lampu sudah dimatikan. Hanya kamar Intan yang terlihat lampunya masih menyala.&nbs
Baca selengkapnya
39a
🍁🍁🍁🍁🍁 Aditya segera memasukkan gulungan Kasur ke dalam kolong tempat tidur. Beruntung saat pintu terbuka setengah, posisinya berada di belakang pintu.  Mata Sarah serta merta menjelajah ke dalam kamar Intan dari celah pintu yang sedikit terbuka, terhalang oleh kepala Intan yang menyembul.  Dada Sarah yang bergemuruh menahan kesal mendadak hilang. Tak dilihatnya kelebat bayang Aditya dalam kamar itu. bagaimana bisa dia menuduh tanpa bukti? Bisa-bisa, dia yang disangka tidak bisa move on.  “Ada apa, Mbak Sarah, malam-malam?” tanya Intan, mencoba biasa saja. Meski dalam hatinya ada kecemasan, karena Aditya masih bersembunyi di belakang pintu. Intan harus memastikan bahwa mereka aman tanpa membuat Sarah curiga.  “Apa aku bisa main ke kamarmu? Aku tidak bisa tidur. Takut di atas sepi tidak ada orang,” ujar Sarah mencari alasan.  Intan terdiam sejenak. Kalau sampai Sarah masuk ke kamarnya. Habis
Baca selengkapnya
39b
“Mama depan aja,” titah Aditya saat mereka baru keluar dari rumah. Dia tak mau kalau Sarah yang duduk di depan, dan akan terlihat mereka sebagai pasangan.  Aditya tak peduli kalau itu mobil Sarah. Dia harus bisa memegang kendali. Dia tak ingin lemah.  Buru-buru Sarah mempersilahkan Bu Handoyo, meski diam-diam hatinya pun dongkol. Perlahan dia dapat membaca kharakter asli Aditya yang ternyata keras. Jauh berbeda saat mereka masih bersama. Dahulu, Aditya sangat lembut, perhatian dan selalu menuruti apa maunya. Bahkan cenderung mengalah. Ternyata di rumah, tidak demikian. Aditya begitu egois, pikir Sarah.  Perjalanan rumah ke pasar tak terlalu jauh. Tapi, di mobil, hanya ada keheningan. Sesekali saja Intan menyahut mencoba mencairkan suasana. Tapi, selalu gagal. Karena yang menyahut hanya Bu Handoyo.  “Kamu tunggu di sini saja. Tuh ada café di sana. Bisa ngadem dulu,” kata Bu Handoyo saat tiba di parkiran sambil menun
Baca selengkapnya
39c
“Mas, kamu tuh ngurus bisnis yang di mana lagi sih, Mas?” tanya Sarah.  Dimas yang baru pulang, sedikit mengerutkan keningnya. Tumben istrinya ingin tahu perihal bisnisnya. Dulu, saja saat masih di ujung kehancuran, Sarah tak mau tahu. Dia memilih bekerja di tempat lamanya dengan gaji yang menggiurkan. Meski sebenarnya Dimas memang melarangnya, karena gengsi tak mampu membayar mahal. Dimas memilih membayar karyawan muda yang baru lulus, yang belum mengenal banyak uang, hingga gajinya tak terlalu mahal.   “Mas, apa boleh aku pindah kerja di tempatmu saja. Aku malas sekantor sama Adit. Kamu tahu kan, dia masih saja mengangguku,” adu Sarah.  Dimas manatap Sarah lekat. Benarkah Aditya masih menganggunya? Bukannya justru saat Sarah pendarahan, Aditya yang pertama datang menolongnya?  Sejak Sarah di rumah, memang Dimas sudah jarang bicara berdua dengan Aditya. Mereka hanya bertemu di ruang makan saja. Itu pun hanya bicara s
Baca selengkapnya
BAB 40a
“Bu Sarah, Pak Dimas sudah di ruangan. Silahkan jika hendak menemui. Ruangannya di lantai 17,” tukas resepsionis dengan sopan. Gadis itu mendekat ke sofa dimana Sarah duduk sambil membungkukkan badannya.  Setelah mengangguk dan mengucapkan terimakasih, Sarah melangkah ke lift.  Wanita itu tetap saja tak dapat menutupi kegundahannya. Berulang dia menghela napas. Dia harus mampu bersikap biasa saja jika ingin mengungkapkan kecurigaannya.  Namun, tetap saja dia berharap, kecurigaannya tak berkenyataan.  Dimas adalah pria yang baik, meski Sarah sering merasa bosan dengan kebaikan yang cenderung berlebihan.  Memang, akhir-akhir ini, Dimas sering keluar dan sangat sibuk. Alasannya adalah mengembangkan bisnis. Meski kenyataannya sekarang jauh lebih baik.  Beberapa kali memang Dimas mengajak Sarah pindah rumah, tak lagi tinggal dengan orang tua Dimas yang sempit.  Di rumah orang tua Dimas, tidak ada p
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status