Lahat ng Kabanata ng JODOH PILIHAN MAMA: Kabanata 81 - Kabanata 90

Sarah berjalan cepat, demikian juga Dimas mengikutinya di belakang. Wanita itu tak berani memelankan langkahnya demi menunggu suaminya. Begitu juga Dimas. Dia enggan melangkah sejajar dengan Sarah karena ingin membendung gejolak emosinya. Matanya membulat tatkala Sarah memencet angka di hotel itu. angka yang sama dengan lantai dimana dia menginap. Dimas masih menahan diri untuk tidak bersuara hingga Sarah membuka pintu kamar hotelnya. Jantung Dimas makin bergemuruh tatkala mengetahui bahwa Sarah memesan kamar hotel tepat di sebelah kamar yang dipesannya. Bagaimana bisa kebetulan? Sementara dia membooking dari Jakarta. Dimas menghela napasnya. Sarah bukanlah wanita bodoh. Bahkan, tergolong cerdas. Itu pula yang membuat karir di perusahaan lama dipertahankan, dan dia dengan mudah masuk kembali saat menghendaki. Namun, kebetulan macam apa yang membawa Sarah ke kota pahlawan di mana dia berada? Apakah Sarah berusaha mengikutinya? Wibawa sebagai seorang suami, serasa diabaikan membuat

Aditya masih diam tak ingin menatap Intan saat keluar dari kamar mandi. Padahal, Intan sudah menyiapkan martabak telor di atas piring dan menuang sausnya ke mangkok. “Aku langsung ke masjid!” kata Aditya ketus. Intan hanya mencebik. Kebiasaan tukang ngambek! Dengus Intan. Namun, tiba-tiba Intan teringat, kalau dia akan dipulangkan ke rumah mama mertuanya? Apa kabar magangnya yang tinggal beberapa minggu lagi. Jauh kalau dia harus naik angkutan umum tiap hari. Pasti capek. Belum lagi, bagaimana kalau Runi memanfaatkan kesempatannya tidak bersama Aditya untuk semakin mendekati pemuda itu. Sepulang dari masjid, Aditya masih bermuka masam. “Mas, sholat itu mencegah perbuatan keji dan munkar. Kalau habis sholat masih marah, berarti tadi sholatnya masih mikir yang enggak khusyuk,” goda Intan yang duduk di kursi mini bar, menunggu Aditya untuk makan martabak yang sudah terhidang. “Halah! Sok tahu kamu!” Aditya mencibir, lalu masuk ke kamar tanpa mengindahkan Intan yang masih menunggu

Pagi-pagi Intan seperti biasa, sudah menyiapkan dua piring omelet untuk sarapan dan dua cangkir kopi seduhan tangannya. Campuran bubuk kopi, krimmer dan gula yang pas, menguarkan aroma yang menggungah selera. Aditya yang sejak pulang ke rumah sering menikmati kopi buatan Intan, kini merasa tak rugi gadis itu ikut tinggal bersamanya. Karena kopi buatan Intan tak kan dapat ditemui dikenai kopi mahal sekalipun. Takaran kopi, gula dan krimernya pas. Tidak terlalu pahit, ataupun tidak terlalu hambar. Aditya semalaman masih irit bicara. Meski sebenarnya Intan sudah biasa menghadapi lelaki dominan diam, berbanding terbalik dengan Dimas yang royal bicara. “Ingat ya, kalau hari ini Amir cerita yang enggak-enggak lagi tentang kamu, nanti sore aku anter kamu pulang!” gertak Aditya saat usai sarapan pagi. Lelaki itu lalu mengepa mulutnya usai menyesap kopi buatan Intan. Intan mendongakkan kepalanya. Matanya melebar. Masih saja dibahas, guman Intan. Gadis itu menggaruk kepalanya yang tidak gat

Aditya melangkah cepat ke ruangan Intan. Dia tak boleh terlambat. Karena pasti gadis itu akan keluar duluan dari ruangannya tepat saat jam makan siang. Aditya menatap jam di pergelangan tangannya sejenak. Masih kurang satu menit. Lalu dia kembali memasuki ruangan di lantai 6 itu. Baru beberapa langkah, Amir yang kebetulan menoleh ke pintu keluar menatapnya sembari mengulaskan senyum di bibir. Pemuda itu lalu bangkit dari duduknya. “Wah, lagi akur, Bro?” seloroh Amir sembari mendekat ke Aditya.Aditya yang pandangannya sedari tadi fokus ke meja kerja Intan terpaksa menoleh, lalu memberikan sapaan. Meskipun hatinya kesal, namun, bukan tabiat Aditya bermuka masam pada orang lain. Dia hanya bermuka masam pada orang yang hatinya sudah dekat. Mama, Papa dan dua kakak lelakinya. Tapi, pada Intan? Sejak gadis itu masih remaja, Aditya selalu bermuka kecut padanya. Apakah ini tanda-tanda kalau hatinya sudah tertambat sejak remaja? Lelaki itu lalu berhenti di depan meja Intan. Sementara Amir

Hari ini hari terakhir Intan dan teman-temannya magang di kantor Aditya. Sementara sesuai rencana, Aditya sudah memesan makanan untuk tasyakuran mengumumkan status barunya. Setelah merenungkan kata-kata Intan, benar juga. Semestinya dia harus mengabarkan status itu. Selain menghindarkan fitnah, juga menghindarkan dari kejaran pengagum gelap masing-masing. Aditya sudah meminta ijin menggunakan ruang meeting besar untuk acara tasyakuran yang akan diselenggarakan saat jam istirahat. Hanya staf di divisinya dan di divisi Intan yang diundang. “Baik, bapak dan ibu sekalian. Kami bedua sengaja mengundang bapak dan ibu di sini, karena ada beberapa hal yang ingin kami sampaikan,” ucap Aditya. Lelaki itu berdiri di depan, sementara pada staf di dua divisi itu duduk melingkar di kursi yang mengelilingi meja itu. ruangan meeting besar itu berkapasitas sekitar tiga puluh orang. Selain staf, pada office boy dan cleaning service pun juga di undang. Intan berdiri di sebelah Aditya. Sementara tem