All Chapters of Di Antara Dua Pilihan : Chapter 131 - Chapter 140
147 Chapters
Part 141 Awal Agustus 2
Kebetulan hari terakhir ini, Hugo sebagai pembicara di depan. Berbagi pengalaman dan motivasi kepada peserta seminar. Memberi semangat kepada mereka yang baru merintis bisnis. Hari terakhir lebih santai, banyak tanya jawab dan gurauan yang membuat suasana ballroom sangat riuh.Acara selesai dan langsung ditutup jam dua belas siang, dilanjutkan dengan lunch bersama. Namun Marisa hanya makan buah dan puding. Dia tidak menyentuh nasi sama sekali karena sudah berjanji akan menemani Aksara untuk makan siang.Sebisa mungkin Marisa menghindari berbincang dengan Hugo, meski laki-laki itu berusaha mencari celah untuk mendekatinya. Marisa tidak menggubris pandang kekaguman Hugo terhadapnya. Marisa sadar statusnya sebagai seorang istri. Satu per satu peserta seminar undur diri, begitu juga dengan Marisa. Dia pamitan pada Citra, Shinta, dan beberapa orang yang berada di dekatnya. Kemudian menghilang sebelum Hugo mengetahui kalau dia hendak pergi.Saat masuk kamar, sudah ada hidangan untuk makan
Read more
Part 142 Puncak Rasa 1
"Ris, kita nggak usah ke sana saja. Nanti mas kirim pesan permintaan maaf pada Pak Kyai," ujar Aksara saat mereka rebahan setelah salat zhuhur.Kenzi sudah terlelap setelah digantikan bajunya dan selesai minum susu. Kamar kos Aksara kali ini lebih luas daripada sebelumnya. Aksara bayar sendiri untuk sewanya, sedangkan kosan yang lama adalah fasilitas dari perusahaan."Kita ke sana sebentar saja, Mas. Untuk menghargai niat baik Pak Kyai yang sudah mengundang kita. Aku ngerasa nggak enak karena beliau juga ngomong ke aku tadi."Aksara memiringkan tubuh menghadap ke istrinya. "Mas nggak ingin setelah dari sana kita berselisih paham lagi. Sudahlah, biar saja mereka beranggapan apapun pada kita.""Kadang aku juga bingung dengan situasi yang seperti ini. Mbak Hafsah juga masih ada di sini. Setelah pindah, apa Mas pernah bertemu dengannya?""Enggak, semenjak pindah kosan. Mas juga pindah laundry, nggak pernah keluar kecuali ke kantor dan beli makan."Hening. Keduanya menyusuri arus perasaan
Read more
Part 143 Puncak Rasa 2
Hafsah memeluk Marisa, kemudian mencium pipi Kenzi. Gadis bergamis kembang-kembang itu tampak ceria. Tidak menunduk diam seperti saat bertemu di rumah makan tadi siang.Marisa tak mau kalah, dia menunjukkan wajah sumringah. Meski dadanya bergemuruh. Meski Aksara sudah meyakinkannya, bahwa dialah satu-satunya wanita yang memiliki puncak rasa itu."Mari masuk, sudah ditunggu Abah dan Pakdhe di dalam." Hafsah melangkah lebih dulu menuju pendopo, kemudian terus ke arah pintu utama rumah dengan eksterior yang masih mempertahankan khas adat Jawa Timur.Rumah klasik itu terlihat elegan dengan sentuhan perawatan modern. Pilar-pilar besar dari kayu jati tampak memberikan ciri khas tersendiri. Atap rumah berbentuk joglo dengan ukir-ukiran khas yang menciptakan budaya Jawa yang kental."Assalamu'alaikum," ucap Aksara ketika berada di depan pintu."Wa'alaikumsalam," jawab serempak Pak Kyai Abdul Qodir dan laki-laki yang memakai baju koko warna putih serta peci hitam. Wajah mereka sangat mirip. Mu
Read more
Part 144 Harga Diri 1
"Kamu nggak usah takut, Mbak. Cerita saja. Oh, saya panggil Dek saja ya. Umurmu masih jauh dibawah saya pastinya." Kholifah ternyata sangat ramah. Cara bicaranya cukup tenang dan pandangannya sangat bersahabat."Saya sudah tahu semuanya. Sempat penasaran dengan sosok yang bernama Aksara dan malam ini saya bisa bertemu dengannya sekaligus bertemu istrinya."Marisa tersenyum samar. Tidak peduli Kholifah siapa, akhirnya Marisa membenarkan semuanya. "Saya mengalami pasang surut dengan perasaan sendiri karena hal ini, Mbak. Padahal suami saya sudah menolak. Saya nggak paham maunya Mbak Hafsah apa? Mungkin baginya ini hal biasa, tapi sangat meresahkan buat saya. Jika Mbak Hafsah siap menjadi istri kedua, belum tentu pria yang diinginkannya siap beristri dua. Saya pikir segalanya telah selesai saat itu juga, ketika terakhir Mas Aksa menolak berpoligami. Tapi kenyataannya tidak."Kholifah memerhatikan Marisa. Sebagai sesama wanita, ia paham apa yang dirasakan perempuan muda di sebelahnya. Apa
Read more
Part 145 Harga Diri 2
Marisa diam sejenak, menarik napas, dan kembali memandang pada Hafsah yang duduk dengan wajah pucat di hadapannya. Bibirnya bergetar dan tidak berani menatap Marisa. Dia tidak malu berulang kali mengucapkan permintaan maaf. Merendahkan diri dan mengakui kesalahan yang dilimpahkan padanya, sekaligus untuk menjatuhkan perempuan munafik dihadapannya."Saya yang terlalu berlebihan. Seharusnya sejak awal saya menyadari, jika ingin bersama Anda, tentu Mas Aksara nggak mungkin memilih saya. Sekali lagi saya minta maaf pada Pak Kyai, Bu Haji, dan Mbak Hafsah. Karena berprasangka buruk pada perempuan terhormat seperti Anda. Kesalahpahaman yang membuat saya stres berlebihan dan kehilangan calon bayi saya tiga minggu yang lalu." Meski dadanya nyaris meledak, tenggorokan rasanya tersekat, tapi Marisa bisa menuntaskan kata-katanya.Pak Kyai menatap Marisa yang tegar menghadapi keluarganya. Pria sepuh yang sesungguhnya tahu permasalahan setelah diberitahu oleh Kholifah, tapi tak sanggup berkata-kat
Read more
Part 146 Pertemuan Pagi Itu 1
Aksara meletakkan kembali ponselnya tatkala benda itu berhenti berpendar. Siapa yang menelepon istrinya subuh-subuh begini.Tak lama kemudian Marisa keluar dari kamar mandi memakai handuk kimono warna merah jambu. Rambutnya yang basah terbelit handuk kecil."Ada apa, Mas?" tanya Marisa saat mengetahui sang suami duduk sambil memperhatikan ponselnya."Ada yang menelepon tadi. Waktu mau mas angkat langsung dimatikan."Marisa meraih ponselnya dan membuka folder panggilan masuk. Benar, ada sederet angka yang baginya pun asing."Siapa?""Entahlah, aku juga nggak tahu." Marisa kembali meletakkan ponselnya."Bos Point Logistic?"Marisa tertawa melihat raut tak suka di wajah suaminya. "Mas, kan sudah memblokir nomernya.""Siapa tahu menghubungi pakai nomer lain? Kamu bilang dia terlibat kerjasama dengan Pak Daniel, kan.""Hu um. Tapi belum di mulai, Mas. Masih tahap pembicaraan," jawab Marisa seraya menggosok rambut basahnya menggunakan handuk."Kamu sering bertemu dengannya?"Marisa memandan
Read more
Part 147 Pertemuan Pagi Itu 2
Ketika hati telah merelakan segala yang terjadi dan menganggap semua selesai, meski dirinya yang dituduh sebagai istri 'baperan', tak mengapa. Asal jangan lagi bertemu dan berkaitan lagi dengan gadis itu. Namun kenapa sekarang Hafsah mengajaknya ketemuan?"Mbak Risa, belum pulang 'kan? Tolong saya ingin bertemu. Di mana tempatnya, saya ngikut saja," kata Hafsah."Sebentar." Marisa menjauhkan ponselnya dan minta pertimbangan sang suami. Aksara awalnya keberatan. Sudah cukuplah persoalan kemarin. Tidak perlu lagi dibahas dan untuk apa bertemu lagi. Namun jika ingat Pak Kyai, Marisa sendiri merasa tak enak hati. Laki-laki itu sebenarnya sangat baik, mungkin beliau pula yang menyarankan ke putrinya untuk meminta maaf.Akhirnya Aksara akur dengan pertimbangan yang disampaikan Marisa, untuk menunggu Hafsah datang ke Rumah Makan Mewah. Ketika tengah menikmati sarapan, Hafsah datang di temani oleh Kholifah.Marisa menawari sarapan, tapi kedua wanita itu menolak. Dengan berurai air mata, Hafsa
Read more
Part 148 Kabar Gembira 1
"Oke, mas harus nganterin kamu ke mana ini?" tanya Aksara setelah mobil keluar dari area gedung olahraga dan berhenti di depan pintu pagar. Ia harus memastikan hendak ke mana mengambil jalur yang tepat."Ambil arah kiri saja, Mas.""Serius mas nanya. Sebenarnya kita mau ke mana?" Aksara bingung juga."Tempat praktek dokter Yunita," jawab Marisa yang membuat suaminya terkejut."Sayang, kamu hamil?"Marisa tersenyum lantas dikeluarkannya sebuah benda dari dalam tas. Ditunjukkan pada sang suami, sebuah testpack seperti biasa yang sering ia pakai untuk mengecek kehamilan secara instan."MasyaAllah, Sayang, serius ini?" Aksara memerhatikan benda di tangannya setelah menyalakan lampu kabin mobil. Kabar yang ditunggunya diam-diam pasca Marisa keguguran empat bulan yang lalu."InsyaAllah. Makanya kita ke dokter Yunita untuk mastiin. Soalnya aku baru telat haid sekitar semingguan," jawab Marisa sambil tersenyum."Oke." Aksara mematikan lampu kabin setelah itu meluncur pergi. Tak sabar ingin me
Read more
Part 149 Kabar Gembira 2
Diam. Aksara memerhatikan jalanan yang ramai kendaraan dihadapan. Tak menyangka saja, keharmonisan yang tercipta tiga bulan ini ada sisi lain yang disembunyikan istrinya. Bahkan sangat rapi hingga dirinya tidak menyadari. Marisa memang pandai bermain rasa. Senyumnya merekah sepanjang hari. Melayani dirinya dan Kenzi dengan baik. Urusan ranjang yang tidak pernah diabaikan. Bahkan lebih membara dari sebelumnya. Marisa sangat pintar memang. Bagaimana sang istri meyakinkannya saat ia cemburu karena Marisa sering bertemu Hugo untuk urusan pekerjaan. Padahal batin Marisa sendiri masih perlu diyakinkan oleh urusan tentang Hafsah. "Tapi itu kisah selama tiga bulan kemarin, Mas. Kalau sekarang aku memutuskan untuk hamil, berarti semua keraguan itu bisa kuatasi sendiri." Marisa bicara sambil tersenyum. Aksara menarik lengannya pelan hingga Marisa bersandar di bahunya, sedangkan tangan kanannya fokus pegang kemudi. "Makasih, Sayang. Semoga sampai kapan pun kita bisa mengatasi ujian rumah tan
Read more
Part 150 Undangan 1
"Kenzi masih tidur. Nggak usah khawatir. Mas sudah lihat tadi." Aksara menahan tubuh istrinya.Marisa urung bangkit dari atas pembaringan. Dia menatap sang suami yang mendadak sakau. Pagi ini Aksara berada pada titik kulminasi kesabarannya. Marisa kasihan dan merasa berdosa jika menghindari, karena dokter pun sebenarnya tidak melarang.Kamar kembali hening. Bisik lirih dan deru nafas yang terdengar di telinga masing-masing. Pengalaman beberapa bulan yang lalu membuat Aksara sangat berhati-hati. Meski dikuasai 'keinginan tingkat tinggi', tapi ia tidak ingin mengulang kesalahan yang pernah dilakukannya. Sebab dia pun sangat menginginkan anak itu. Semoga saja Marisa akan memberinya bayi perempuan yang cantik dan lucu. Pagi yang berakhir manis. Terbayar tunai hutang Marisa pada sang suami. Aksara tersenyum bahagia, secerah mentari pagi."I love you," bisiknya.Marisa mengeratkan pelukan. Perutnya yang sudah mulai membuncit di usia kehamilan sepuluh minggu, bersinggungan dengan tubuh Aks
Read more
PREV
1
...
101112131415
DMCA.com Protection Status