Semua Bab Daster Buat Istriku: Bab 41 - Bab 50
95 Bab
Bab 41. Kukirim Reno Ke Penjara
**** “Ya, aku akan mengikuti saran kamu! Sekarang ambilkan untukku semua dokumen itu!” ucapku pura-pura menyetujui rencananya. “Baik, sebentar saya ambilkan.” Kuhela nafas panjang. Otakku tak henti berpikir. Bahkan pikiran ini semakin berkecamuk. Kini aku sadar, apa yang dikeluhkan oleh Pak Alatas kemarin itu benar adanya. Bahwa dia dikelilingi oleh orang-orang yang hendak menghancurkan dirinya, karena punya maksud dan tujuan tak benar. Bahkan pria paruh baya itu tak beda membedakan yang mana musuh dan yang mana teman. LIhatlah, bahkan seorang sekretaris saja bisa begini mencurigakan bagiku. “Ini, Pak. Berkas-berkasnya.” Risma masuk lagi dengan beberapa map berwarna merah dan biru di tangannya. “Ini proposal awal yang kita ajukan. Ini surat perjanjian kerja sama kedua belah pihak. Dan yang ini surat orderan tahap pertama. Semua sudah lengkap,” paparnya seraya menyerahkan map itu satu persatu kepadaku. “Hem,” sahutku bergumam, seraya mengamati isi map pertama. Kucoba memaham
Baca selengkapnya
Bab 42. OB Kaki Tangan Reno Musuh Dalam Selimut
**** Aku baru saja mengakhiri rapat tertutup dengan para manager dan sekretaris manager di perusahaan milik Mbak Viona ini. Atas petunjuk Pak Alatas yang kutelpon tadi siang, kubereskan semua kuruwetan yang terjadi. Sekretaris Manager Pemasaran kuperintahkan memegang kendali di bidang pemasaran. Reno sudah dibawa polisi. Kursi manager pemasaran tak mungkin kosong kalau ingin perusahaan ini tetap berjalan. Aku tahu Reno pasti akan membayar pengacara termahal dan terhebat untuk membela kasusnya. Sama seperti dulu, saat dia menuntutku hingga aku terkurung lama di dalam penjara. Padahal dia yang telah mencuri istriku. Kali ini, aku yakin dia akan berbuat yang sama. Pasti dia akan memutar balikkan fakta. Dia yang melakukan penipuan dan penggelapan uang perusahaan atas pengiriman barang kepada PT IRA Properti, tapi dengan kelicikan dan uang yang dia punya, bisa saja aku yang berakhir di penjara. Tetapi, kali ini itu tak akan terjadi. Aku memegang kartu matinya. Aku akan mengguna
Baca selengkapnya
Bab 43. Mantan Istriku Menemukan Alamat Baruku
**** “Rekam pakai hape Abang!” titahku kepada Bang Karmin. Pria itu mengangguk, lalu mengutak-atik ponselnya. Aku belum punya ponsel seperti itu. Ponsel jadul milikku tak memiliki alat untuk merekam. “Saya takut menghadap dia, Pak Reno! Saya takut dia akan menanyakan tentang dokumen yang saya buang ke tempat sampah itu. Soalnya, saya baru ingat, waktu itu saya sempat melihat dia ada di dekat pembuangan sampah halaman depan saat saya buang kardus itu. Saat itu dia memang sedang cari rongsokan. Saya takut, Pak Reno! Saya takut dia menyelidiki hal itu. Kalau saya ketahuan sekongkol dengan Pak Reno mencuri dokumen penting itu bagaimana? Saya tidak mau di penjara, Pak! Saya takut dipecat! Saya takut, Pak Reno!” Bang Karmin sontak menatapku. Sepertinya dia sangat terkejut dengan pengakuan OB itu. Segera kutempelkan telunjuk di bibirku, sebagai isyarat agar dia tetap tenang dan lanjutkan merekam. “Oh, istri Pak Reno sudah menghubungi pengacara handal? Dia bisa membebaskan Bapak dar
Baca selengkapnya
Bab 44. Kuseret Ninda Ke Trotoar jalan
**** “Ninda … mau apa dia ke sini?” gumamku tersentak kaget. Perempuan itu melangkahkan kakinya panjang – panjang menuju ke arah kami. “Bang … aku mencari Abang di rumah kumuh itu! Di sana aku bertemu perempuan lebay, sok cantik, sok garang, sok kuat. Kami sempat adu mulut juga. Tapi, saat kubilang aku mau jumpai Abang untuk minta maaf, dia akhirnya luluh juga. Ternyata meskipun garang di punya hati yang baik juga. Nah, dia memberi aku alamat baru abang.” Ninda berceloteh sambil berjalan masuk. Kami semua membisu. Aku bingung mau bersikap bagaimana pada perempuan murahan itu. Dan parahnya aku merasa sangat takut Bu Asya akan marah dan menduga yang tidak tidak dengan kedatangan Ninda ke sini. Jujur, aku sangat takut dia cemburu. Eh, apa pula aku ini. Kok, bisa pula aku berpikir kalau Bu Asya bakal cemburu. Memangnya dia suka sama aku? Bah! Aku semakin ngawur saja. “Bima, Sayang … Ini Mama, Nak! Mama kangeeeen … banget, sini, Sayang!” ucap Ninda berjalan mendekati anakku. S
Baca selengkapnya
Bab 45. Aku Terluka Lagi
**** Mungkin sekarang Bu Asya semakin tak simpati padaku. Mungkin sekarang dia benci, jijik, kecewa, dan entahlah … aku sangat takut. Aku kini berdiri di depannya, tanpa bicara sepatah jua. Aku takut untuk bersuara. Sikapnya yang tenang dan begitu anggun justru semakin menakutiku. Sepertinya ini kali terakhir dia ada di depanku. selanjutnya mungkin dia akan menghindariku. Itu semakin membuatku resah. “Jadi ….” Bibir ranum merah lembut itu bergerak pelan. Tetapi suaranya menggantung. Kuberanikan diri untuk menatapnya. “Jadi?” tanyaku mengulanga kata-katanya. “Maaf, saya baru tahu kalau Bu Ninda itu adalah mamanya Bima,” ucapnya dengan nada yang begitu tenang. Aku tercekat. Betapa aku ingin mengatakan kalau bagiku Ninda bukan ibu anakku. Bagiku Ibu Bima sudah lama mati. Tetapi, melihat wajah anggun dan begitu berkharisma, kemampuanku untuk bersuara mendadak sirna. “Saya turut prihatin atas perceraian Bapak dengan Bu Ninda. Satu yang ingin saya tekankan, bahwa tak baik merahasi
Baca selengkapnya
Bab 46. Masakan Bu Asya Ingatkan Getirnya Masa Lalu Bima
***** “Iya, tapi … Bu Guru bilang, Bima harus makan bareng Papa.” Bima melorotkan tubuhnya dari gendonganku. “Ayo, Pa! Kita ke meja makan, Bima udah laper banget!” ajaknya sedikit memaksa. Telunjuk tanganku dia tarik kencang menuju ruang makan. Penasaran, kuikuti langkah kecilnya. Aroma makanan langsung tercium dari arah ruang makan menyerang cuping hidungku. Benar saja, makanan sudah terhidang di atas meja makan besar dan panjang yang tersedia di sana. Kupindai menu makanan itu dengan netraku. Beberapa jenis makanan yang begitu sederhana dan sangat mengguggah selera. Satu piring besar ayam goreng bumbu kelawas, satu piring besar tempe dan tahu goreng, satu mangkuk sup iga sapi, satu mangkuk kecil saos sambal tomat hasil olahan sendiri, bukan saos dari botol, dan satu toples kerupuk. Benarkah Bu Asya yang memasak ini semua? “Ini tadi, dibeli Bu Guru, ya?” selidikku seraya menarik sebuah kursi. Kugendong Bima dan kududukkan dia di sana. Lalu kuhenyakkan tubuhku di sampingnya
Baca selengkapnya
Bab 47. Gara-gara Pakaian Dalam
***** Aku terpana. Bu Asya menyambutku dengan senyum termanisnya. Bima yang sudah berseragam rapi, tengah menikmati nasi goreng di sampingnya. “I – ibu … su sudah datang?” tanyaku terbata. “Iya, saya ditelpon Mbak Asri. Katanya dia tidak bisa cepat datang ke sini, untuk membuat sarapan. Soalnya anaknya demam. Nanti agak siangan baru dia bisa datang, setelah bawa anaknya berobat dulu. Itu sebabnya saya datang. Sekalian jemput Bima sekolah, biar kami berangkat bareng.” “Oh.” Hanya itu yang terucap di bibirku. “Pak Bara mandi, sana! Terus sarapan! Atau Bapak mau sarapan di kantor saja, ya?” “Iii, em, gimana juga boleh. Baik, saya mandi dulu!” Aku gelagapan. “Ya!” Buru-buru aku kembali ke kamar utama. Langsung menuju kamar mandi yang tersedia di sana. Melakukan rutinitas mandi, lalu segera keluar lagi setelah menyeka asal tubuh basahku dengan sebuah handuk. Hanya dengan mengenakan handuk sebatas pinggang aku keluar dari kamar mandi. “Ups, Bu Asya!” Aku terkejut saat mendapati
Baca selengkapnya
Bab 48. Kukira Bu Asya   Sudah Berhenti Menjodohkanku Dengan Adiknya
**** Sungguh aku tak merasa lapar sedikitpun. Semua rasa hilang ditimpa rasa maluku. Tetapi, perasaanku akan tambah runyam bila mengecewakan Bu Asya lagi. “Baik, saya menunggu di mobil! Bapak sarapan saja dulu!” Karmin memutuskan. Aku melangkah menuju ruang makan. “Papa, lihat ini, wadah bekal makan siang Bima!” Bima menyambutku dengan sebuah wadah bekal di tangannya. “Keren, kan? Ini sudah sama dengan punya teman-teman. Steven tidak akan menghina Bima lagi! Bu Guru yang membelikannya untuk Bima, Pa!” lanjutnya begitu gembira. Sontak kulirik gadis itu, tatapan kami beradu. Tapi hanya sesaat. Detik berikutnya dia sudah menunduk. “Iya, bagus! Belajar yang baik, ya! Jangan kecewakan Bu Guru!” ucapku mengusap kepalanya. Kutarik sebuah kursi, lalu kuhenyakkan tubuhku di sana. Bu Asya mengisi sebuah piring dengan nasi goreng buatannya, sepertinya itu untukku. “Bima tunggu di mobil, ya, Bu Guru!” ucap Bima menyadang tas sekolahnya. “Papa, Bima berangkat sekolah, ya!” pamitnya pad
Baca selengkapnya
Bab 49. Pertengkaran Dengan Bu Asya
**** “Ya, Bu Asya sangat egois. Ibu hanya memikirkan kepentingan Ibu saja! Demi tidak kehilangan papa Ibu, Ibu rela mengorbankan perasaan orang lain,” sungutku semakin kesal. “Saya tidak bermaksud mengorbankan Bapak. Ok, kalau saat ini Pak Bara belum bisa mencintai Viona. saya yakin dengan berjalannya waktu, Pak Bara pasti bisa pelan pelan mencintai dia. Saya akan bantu agar kalian dekat, saya akan bantu agar Pak Bara bisa jatuh cinta sama Viona.” “Lalu, bagaimana dengan perasaanku sendiri?” “Perasaan Bapak?” “Ya, perasaanku kepada Bu Asya? Ke mana kutaruh perasaanku ini? Jawab, Bu Asya! Bisakah Ibu membunuh rasa sayangku pada Bu Asya yang sudah terlanjur tumbuh subur ini? Ibu bisa? jawab!” teriakku mengebrak meja makan, lalu bangkit dari dudukku. Kutatap dia dengan tatapan tajam. Perempuan itu tercekat. Bibirnya kini mengatup rapat. Dia bahkan tak mampu lagi menatapku. “Bunuh dulu rasa cintaku pada Bu Asya! Kalau Ibu berhasil, baik, aku berjanji akan kupenuhi permintaan Ibu
Baca selengkapnya
Bab 50. Sekretaris Ganjenku
***** “Kalau Bapak enggak mulung, kita mau makan apa?” Sayup, kudengar suara itu. Sepertinya dari bilik Bang Harjo. Kutajamkan pendengaran. “Beras sudah habis! Jangankan untuk makan siang nanti, untuk pagi ini saja kita harus makan angin! Sisa uang kemarin udah dibelikan salap untuk luka borok kaki Bapak, kan. Obat sia-sia! Boroknya enggak sembuh, uangnya habis! Mana mahal! Sekarang malah enggak bisa kerja!” “Jadi gimana, kakiku sakitnya ampun-ampun, Dek. Abang gak tahan sakitnya kalau di bawa berjalan. Kalau abang paksa bawa kerja, luka boroknya juga bisa tamah parah karena ngeinjak tanah jorok, air tergenang, tanah becek. Abang takut malah tambah lonyot kaki abang. Abang enggak punya sepatu model bot yng bisa melindungi kaki itu, Dek. Izinkan Abang enggak kerja hari ini, ya! Abang mau membalur luka kaki abang dengan ramuan yang ditumbuk halus itu. Siapa tahu bisa kering besok pagi abang kerja lagi.” “Terus, sekarang mau makan apa? Kalau kerja juga paling cuma dapat seliter b
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
10
DMCA.com Protection Status