All Chapters of MENIKAH DENGAN PACAR SAHABAT: Chapter 21 - Chapter 30
75 Chapters
20. Makhluk Tak Bersahabat
Belum sempat memperbaiki posisi jantung, lelaki pencipta debar itu keluar dengan menggendong Azmi, sementara Nailah mengikutinya. Mata kami sempat bersirobok sejenak sebelum dia meletakkan Azmi di kursi dekatnya, lantas dia pun duduk. Sekarang kami berhadapan, terasa sangat canggung luar biasa, bahkan Reta sempat tersedak. Mungkinkah karena kehadiran lelaki pemilik wajah dan postur tubuh nyaris sempurna itu? Huft ... Sebenarnya tak ingin menerka-nerka, tapi keadaan memaksa melakukannya.Kami memulai makan tanpa bersuara, tepatnya aku pribadi tak ingin mengeluarkan suara, Reta pun ikut-ikutan melakukan hal sama, hanya Nailah dan Azmi yang terdengar heboh. Ah, aku benci suasana kaku begini, Reta terlihat lebih banyak menunduk dan sekali-kali mencuri pandang pada lelaki di seberang meja, padahal aslinya dialah pemimpin barisan kehebohan Nailah dan Azmi yang sebenarnya selama ini."Mbah hari ini ceritanya sukuran, karena Nailah dan abinya akan resmi menemani Simbah di sini." Mbah Halim
Read more
21. Cukuplah Aku dan Allah yang Tahu
"Kok bisa, ya, anak ini mirip banget kamu?""Iyya, jadi heran, kok, persis amat.""Jangan-jangan anak ini hasil dari pembuangan sembaranganmu, Brow!""Cari informasi siapa tahu beneran ini anak lo!"Tubuh makin tak bisa bergerak mendengar berbagai komentar teman-teman Mas Rio. Persendianku seakan hilang fungsi, hanya mata dan pendengaran yang awas ke tempat berjarak sepuluh meter itu. Sementara dalam gendongan sang ayah, Azmi bereaksi gemes ketika orang-orang sekeliling menggoda, memegang pipi, dan bahkan ada yang menciumnya. Andai tahu lelaki pemicu emosi jiwa itu ada di sini, aku tidak bakalan pernah mau ikut sama Reta. Jadi niat awalku yang ingin ikut melihat-lihat, membeli juga satu unit bila tabungan terkumpul, akhirnya jadi ambyar total. "Namanya siapa anak guanteng?" Mas Rio memencet pelan hidung Azmi. "Azmi." Bocah itu menyingkirkan tangan Mas Rio lalu mengusap hidungnya yang mulai kemerahan. Sontak terdengar gelak tawa di sekitarnya. "Papa dan mamanya mana, Sayang?" tany
Read more
22. Cinta itu Aneh
"Maaf! Bukan maksudku membentakmu. A-aku ...." Mas Gading menatapku lamat. Mungkin dia mengira aku tersinggung. Ini pertama kali dia bernada keras di depanku. Sekaligus pertama berbicara empat mata seperti sekarang. "Aku yang seharusnya meminta maaf, tlah lancang mencampuri ranah pribadimu. Ini kulakukan demi amanah, sekaligus punya alasan ke Mbak Amira telah menyampaikan permintaanya," jawabku jujur, sambil menangkupkan kedua tangan depan dada, tanda permohonan maaf. Kami terdiam, merasai pikiran masing-masing. Hanya celotehan Azmi yang terdengar menanggapi permainannya sendiri. "Kalau kamu tak ingin bersama dia lagi. Ijinkan aku menggantikannya." Deght! Refleks mataku memindai Mas Gading, mencari kebenaran dari ucapannya. Sepertinya dia tidak main-main. Jadi ungkapan yang pernah dia lontarkan? Bahwa dia cemburu bila aku memandang laki-laki lain, itu bukan canda? Perhatian? Sikapnya yang melindungi? Adalah eksplementasi isi hatinya? Terus, kerengganannya dengan Mbak Amira? Terseb
Read more
23. Jauh Lebih Banyak Dosaku dibanding Pahalaku
Jam dua belas siang kami sampai. Aku dan Reta memilih singgah di toko, sementara Mas Gading entah ke mana. Banyak yang harus kulakukan sekarang, terutama petunjuk toko ke Pak Saleh selepas keberangkatanku besok.Kepala kembali pening memikirkan semua yang terjadi. Pertemuan Azmi dengan ayahnya, pernyataan Mas Gading, dan kini harus tiba-tiba harus pulang segera.Sambil memijit kening, terlihat sosok Amira masuk di jam yang sama kemarin. Daftar masalahku bertambah lagi. Huft ...Meski enggan sekaligus tak enak hati, aku tetap menyambut wanita berpakaian modis itu. Pernyataan Mas Gading tadi, membuatku kehilanga kata sekaligus dililit bersalah untuk memulai percakapan dengannya. Ah, cinta itu memang aneh. Di saat ada seseorang mengharap, malah hati memilih yang lain. Mungkin itulah gambaran Mas Gading dan Amira. Namun, di waktu memantapkan satu hati, seeorang itu tak membuka hati. Mungkin aku dan Mas Rio di barisan ini."Kalau Mbak benar-benar ingin memilikinya, mulailah dengan berubah
Read more
24. Jangan Ambil Bapak
"Ummi dan Azmi lama nggak di sana?" tanya Nailah yang duduk dekatku sambil bercanda dengan Azmi. Untung anak itu ikut, jadi kehebohannya bersama Azmi mengurangi kekakuan sekarang. Setidaknya itu yang kurasa. "Tergantung kesehatan nenek di sana, Sayang?""Kalau nenek lama sembuhnya? Jadi?" Gadis kecil itu mengerucutkan bibir. "Nailah? Kok gitu sih tanyanya?" Simbah yang duduk di depan menimpali. Sedang abinya tetap seperti biasa. Datar, dingin, dan no koment, apalagi like, share, dan suscribe. Aisht! "Nggak papa, sih, Mbah. Cuman gimana kalau Nailah rindu?" Gadis bermata bak barbie itu menunduk, ada mendung di balik wajah cantiknya. Azmi ikut-lkutan diam dan memandang Nailah. "Kan ada video call, Sayang," kataku menariknya naik di pangkuan paha kanan dan Azmi di sebelahnya. Mungkin seringnya bersama membuat kami saling merindukan. Simbah geleng-geleng, sementara abinya hanya melirik sejenak lewat kaca spion dalam, lalu kembali ke sifat aslinya. "Ummi janji setiap hari VC," ujarku
Read more
25. Kata Cerai Jadi Penyambutan
Waktu menunjuk angka sembilan malam, saat mobil memasuki kawasan rumah sakit yang telah disebutkan Rina, bersamaan panggilan telepon adik pertamaku itu mengalun. Akhirnya kabar yang kutunggu tiba."Bapak masuk ruang ICU, Mbak!" ujar Rina terisak. "Kami baru saja sampai." "Aku keluar kalau begitu." Rina menutup telepon sepihak. "Mas, jangan pergi sebelum Bulan kembali," ujarku sambil menangkupkan tangan ke depan dada tanda memohon. Azman menatap kakaknya minta persetujuan, sedang lelaki datar yang duduk depan kemudi itu terdiam sejenak lalu mengangguk.Dengan cepat aku membuka pintu ketika mobil telah terparkir. Aku bimbang antara menggendong Azmi atau tidak yang sementara terlelap."Biar aku yang antarkan Azmi masuk." Ini pertama kali lelaki dingin itu mengajakku bicara. Memang aneh, tapi tak apalah, kuikuti saja keinginannya. Baru saja keluar dari mobil dan memperbaiki posisi berdiri setelah duduk lama, dua sosok bayangan tergesa mendekat. Aku fikir Rina atau adikku yang lainnya
Read more
26. Ada Harga pada Tiap Keputusan
"M-maaf, Mas. Kirain Nailah." Tanganku refleks memutus sepihak sambungan telepon, rasanya ingin menutup wajah dengan panci karena malunya.Sambil menetralisir rasa grogi dan malu yang beraduk, gegas kaki menuju arah yang dimaksud. Samping kiri, kanan, dan belakang rumah sakit ini memiliki taman-taman minimalis. Selain mempercantik bangunan, juga berfungsi mengademkan mata, dan sekaligus obat terapi. Azmi dan Nailah yang main kejar-kejaran, langsung berlari mendekat setelah melihatku, sementara Rina, lelaki datar, dan Azman tampaknya bercerita serius. Ah, anak itu. Aku saja yang hampir seharian bersama mereka, hanya dua, tiga patah yang tersambung. Rina? Seperti sudah bertemu lama saja. Kuakui memang, adikku itu pandai bergaul, dinamis, dan supel. Sungguh berbanding terbalik dengan kakaknya yang introvert dan sedikit bicara. "Okey, kalau begitu. Kami pamit melanjutkan perjalanan," ucap Azman seraya berdiri, diikuti Abi Nailah bersamaan aku baru saja hendak bergabung. "Ingat, ya, Ma
Read more
27. Iba Lebih Mendominasi dari Kecewa
"Hanya kamu yang mama anggap menantu, bukan siapa-siapa," ujar mama Mas Rio lagi mulai bernada tinggi. Kuperkirakan beliau sudah tahu tentang kemelut rumah tangga anaknya. Kepergianku yang tanpa pamit dan tanpa kabar sudah lebih dari kata cukup sebagai penjelasan, atau bisa saja banyaknya pendapat dari tetangga yang kadang tidak suka menjadi pemberitaan yang melebihkan. Ah, sudahlah, semua itu tak penting lagi bagiku sekarang."Nanti kita bahas, Ma. Makanlah dulu," ucapku menyodorkan sendok berisi bubur di atas nakas yang nampak belum disentuh sama sekali, sekaligus mengalihkan pembicaraan. Mengingat Mas Rio dan Marta moodku seketika lenyap, pun kadang otak tak bisa berpikir positif.Wanita paruh baya yang masih menampakkan sisa-sisa kecantikannya itu makan dengan lahap, sementara papa langsung meminta keluarganya memasak banyak sebagai syukuran kecil-kecilan.Selang tak berapa lama, tampak wajah Ibu Hajjah -mama Mas Rio- mulai agak fresh, mungkin karena makanan yang masuk ke perut
Read more
28. Sepandai Itu Beracting
Tatap Mas Rio bagai magnet di wajahku, membuat kaki seketika kaku. Entah kenapa aku bersikap begitu, padahal diri merasa di posisi yang tak salah. Untung bapak dan calon mantan mertuaku masih serius dengan ceitanya, jadi tak memperhatikan suasana.Sementara belum menguasai pikiran, Rina menarikku masuk ke dalam, bersamanya sudah ada Azmi dalam gendongan. "Kenapa bisa bapak bersama calon mantan mertua dan suamimu. Mbak?" tanya Rina dengan kerutan alis sesampai di kamar. Tangannya cekatan melepas pakaian Azmi untuk mandi, waktu hampir menunjuk angka lima sore. Aku memindai setiap sudut kamar. Meski Andi -adik ke empatku- yang menempatinya sekarang, pengaturan tak ada perubahan. Foto pengantinku yang ukuran besar berbingkai masih tergantung di atas kepala tempat tidur. Mengingat kebahagian keluarga besarku pada saat itu, menciptakan gelenyar nyeri di aliran dada. "Ditanya kok melamun." Rina menyadarkanku dari peristiwa tiga tahun sebelas bulan yang lalu."Dia yang jemput tadi di rumah
Read more
29. Janda Bukan Status Buruk
"Ka-kami tak pernah cerita kok tentang, Mbak, sungguh ... . Meski Mas Rio sering mendesak dan merayu dengan bermacam cara." Rina menaikkan jari telunjuk dan tengah membentuk V tanda bersumpah, tapi tak membuat hatiku iba atas dukungannya ke lelaki yang telah membuat kakaknya menderita. Terserah dia sajalah, berpendapat memang tak dibayar. "Awalnya tak percaya, tapi lama-lama mulai kasihan juga," tambah gadis yang baru wisudah sarjana itu. "Ck," decakku mengalihkan wajah ke luar jendela. Lelaki pemicu emosi jiwa tercepat itu telah sukses meraih poling suara terbanyak di keluargaku. Kenapa nggak ikut pemilihan pilkada saja dia?"Dia mengambil motor Mbak yang mulai kusam itu dan menggantinya motor baru, katanya semua tentang Mbak dia akan simpan baik-baik. Entah itu benar apa nggak, kami meleleh dibuatnya," lanjutnya lagi dengan suara iba.Kali ini tak menanggapinya. Aku pikir Rina hanya hanyut akan kamuflase kebaikan lelaki yang pandai berakting."Pak Haji dan Bu Haja juga sering ke s
Read more
PREV
1234568
DMCA.com Protection Status