Semua Bab MENIKAH DENGAN PACAR SAHABAT: Bab 41 - Bab 50
75 Bab
40. Ada Apa dengan Reta?
Keesokan harinya setelah acara Rina, aku, Reta, dan Mas Gading berencana ke Pare-pare. Kami sudah susun akan berangkat sore agar bisa melihat semburat cahaya merah di balik pulau kecil, yang berdiri di tengah laut pantai Senggol. Sungguh indah moment-moment itu, apalagi sambil makan ubi goreng ditemani sarebba -minuman khas Bugis, yang berbahan jahe, gula merah, santan, dan susu- maka hidup terasa nikmat.Kenapa hatiku terasa ngilu mengingat kota kenangan itu? Mungkinkah karena pernah hampir dua bulan, hanya berputar-putar saja tanpa tujuan membuat lukaku terkuak? Duh, Mas Rio ... Mengingat betapa tersesatnya aku atas perlakuanmu dulu, selalu menciptakan perih di hati. Meski diri telah mencoba menerima segala maafmu sekarang tapi tak memungkiri selalu sesak mengingat masa-masa indahmu dengan wanita pujaanmu, sekaligus masa terdownnya seorang wanita yang berusaha menjadi istri sholehah sekaligus anak berbakti. "Jadi berangkat?" Reta menyadarkanku dari kungkungan masa-masa terpuruk.
Baca selengkapnya
41. Tidak Biasanya
Setelah satu jam setengah perjalanan, mobil memasuki kota. Debar entah di dada begitu nyata menyaksikan semua tempat yang pernah kusinggahi, bahkan yang hanya tertangkap mata saja. Oh, kenagan itu begitu nyata antara manis dan pahit bergumul di memoriku, betapa rasa ini syahdu tak terelak.Pare-pare ... Ada kerinduan kokoh di sisi hati, tentang semua kenangan manismu. Namun, sisi lainnya ada benci yang bersarang rekat akibat sebuah luka."Move on, lah, Bebz! Hidup itu dinikmati, bukan ditangisi." Reta menyadarkanku dari lamunan dengan sedikit tepukan di bahu. Walau ada rasa bimbang, tetap jua mengikuti langkah dua bersaudara itu menyusuri pantai Senggol di antara kafe mini dan warung-warung khas daerah.Semua berjalan sesuai rencana. Reta dan Mas Gading menikmati matahari tenggelam sambil berselfia ria. Sedang aku melaluinya dengan seporsi makanan khas Bugis sambil mengulik setiap jengkal kenangan indah yang telah terserak, ah, sesak selalu saja merajai ketika memandang pulau yang sep
Baca selengkapnya
42. Rumah Kenangan
Entah ini sore ke berapa kali, aku masih setia duduk di bawah pohon jambu air yang berbuah lebat belakang rumah. Sebahagian dahannya menjuntai di atas pengairan persawahan. Aku mengibaratkan diri ini buah yang jatuh ke air itu. Terbawa arus, berbaur dengan buih, terbentur di bebatuan, dan tak tahu di mana kan tersangkut. Mungkin saja buah itu kan membusuk hingga habis tak tersisa. Atau akan ada seorang yang kebetulan lewat, dan menjadikan pelepas dahaga. Andai ada pilihan, aku ingin buah itu tetap di pohon saja, tanpa melalui proses ranum, masak, jatuh, lalu tak bersisa sama sekali. Harapan yang sangat mustahil. Rasanya malu sekali hati mengharap pada sesuatu yang tak mungkin terjadi.Sehari setelah Reta dan Mas Gading bertolak pulang dan jatuhnya bapak dari tangga saat menggendong Azmi naik rumah, membuatku masih tertahan di sini. Bukan! Bukan karena merawat orang tua yang memicu jiwa seakan nelangsa, atau menghitung masa iddah yang tinggal hitungan jam lagi.Tapi telepon dari Si
Baca selengkapnya
43. Dari Awal Akulah yang Salah
43.Belajar Melupakan Dendam"Apakah Mas yang merapikan semua ini?" tanyaku melihatnya sejenak, lalu kembali fokus ke isi lemari. "Iyya. Tidak suka?" Aku memilih diam. Meski sebenarnya ada perasaan entah. Di sini aku dapat menilai lelaki itu siap sedia menampakkan sisi kebaikannya pada seseorang yang dicintai. "Aku memperbaiki rem motormu dua hari yang lalu, makanya jadi begini." Bola mataku memindai wajahnya lagi sejenak untuk mencari keseriusan di sana. Nampaknya dia tidak sedang beracting seperti dulu. Jadi? Yang dikatakan Rina tentang roda dua itu benar? Sekarang gara-gara itu dia masuk rumah sakit? Sebegitu dalamkah penyesalan ayah dari putraku selama ini? Sampai segitu-gitunya? Arght! Jujur ... Kebimbangan mulai menekan jiwaku. Sejak netra ini melihat langsung dia memukul Marta di lapangan malam itu, expektasiku seakan bergeser. Mungkin memang dia telah berubah. "Ijinkan aku memperbaiki kesalahan, Bulan," tegurnya saat aku memilih diam. "Pertemukan aku dengan Marta," ujark
Baca selengkapnya
44. Harap yang Melampau Ingin
"Azmi sebaiknya PAUD di sini saja." Ibu mendekat saat aku melipat mukena. Entah ke berapa kali permintaan itu beliau lontarkan. Aku tahu, itu bentuk pelarangannya agar putrinya tak kembali lagi ke tanah rantau, mengingat statusku telah menjanda. Beliau memang sangat mengkhawatirkan nasib putrinya yang malang ini. "Bulan pernah melewati masa-masa tersulit dibanding ini, Bu," jawabku memberi beliau keyakinan."Lagian, aku belum bisa berpisah sama Azmi, Bu. Kecuali kalau dia sudah besar.""Sebaiknya kamu pindah saja ke sini lagi."Dert ... Dert ...Panggilan telepon menghentikan percakapan kami."Kamu di rumah, kan? Mbah mau ke situ." Suara wanita sepuh di balik telepon nomor Nailah, seketika membuatku tiba-tiba panik. Bukan kerena lelaki dingin itu saja penyebabnya. Tapi, kulkas sedang kering dan aku belum sempat belanja ke pasar."S-simbah sudah di mana sekarang?" jawabku gagap efek panik. "Masuk lorong." "Oo, iyya, Mbah. Bulan tunggu," kataku menutup telepon sepihak, lalu gegas b
Baca selengkapnya
45. Bismillah
Acara makan siang terlaksana penuh kekeluargaan di atas rumah. Kami mengelilingi empat baki yang terisi lauk-pauk masakan Bugis. Sungguh, sangat puas rasanya menjamu tamu. Walau tak seenak di restoran, melihat mereka saja menambahkan makanan di piringnya, ada nilai kenikmatan tersendiri. Inilah yang disebut Rasullullah dalam hadits. 'Sesungguhnya tamu itu pembuka rezeki. Dan setiap tamu yang telah dimuliakan tuan rumah, membawa semua penyakit keluar dari rumah. Andai mampu kita lihat dengan kasat mata, berbagai hewan melata, seperti, kalajengkin, kaki seribu, ular, kelabang, de el el, ikut keluar bersama kepergian sang tamu tersebut.' Semoga kami mampu konsisten menjalankan ibadah yang kian mempererat silaturahmi itu Ya, Rabbi."Ada hal penting yang mau dibicarakan, Nduk. Sini dulu!" jantung berdebar mendengar panggilan bapak yang nampak serius. Setelah salat Duhur tadi, aku dan anak-anak sedang bercanda di kamar. Sebelum keluarga Simbah melanjutkan perjalanan, kami sempatkan wak
Baca selengkapnya
46. Azmi Abrari
"Ee, Mbak! Mikir apa sih tadi, lama banget ambil keputusan?" Ck, anak ini betul-betul penasaran rupanya. Belum tahu aja dia, sekarang pun, jantungku masih berolah raga di sana. "Ayolah, Mbak! Tanyaain dong!?" Rengek Rina sambil mengikutiku ke kamar. Anak ini meski sudah nikah, masih belum berubah juga. "Soal kepantesan!" kataku tak sepenuhnya berdusta. "Maksudnya?""Dia itu alumni Mesir, calon pengganti abanya jadi pimpinan pondok." Bobot tubuh kujatuhkan di pembaringan, lalu meluruskan punggung untuk menghilangkan ketegangan di luar tadi yang masih melemahkan tulang-tulangku."Bagus dong. Mbak!" Rina melakukan sama. "Lihat dari wajah saja. Aku ngerasa nggak pede. Apalagi pendidikan, ditambah lagi masa lalu." jawabku menatap langit-langit kamar. "Setiap orang punya masa lalu, lah, Mbak. Nggak usah dipikirin. Soal wajah, serasi banget, kok. Mas Rio aja dulu tuh, yang matanya buta."Mendengar nama lelaki itu, tiba-tiba pikiranku menerawang. Membayangkan wajahnya bersama keluarga
Baca selengkapnya
47. Dilema
Aku menyandarkan punggung di dinding kamar. Membayangkan sahabatku itu punya rasa saja pada lelaki yang belum tiga jam melamarku itu membuat kepala berdenyut, apalagi kalau mereka pernah mengukir masa lalu bersama, dan terhalang karena sesuatu hal, makin menciptakan rasa bersalah di sudut hatiku. Sungguh, di mana kuletakkan kata 'my sister' dan lamanya waktu kebersamaan itu andai ikatan pernikahan dilanjutkan?Ini bukan tentang sejarah saja yang berulang, lebih kepada pengorbanan seorang yang telah membersamai saat-saat terdown. Seseorang yang telah menggenggam tanganmu ketika kau sangat butuh sandaran. Seseorang yang telah menjadikanmu saudara tanpa ada tendensi saat kau tak dihargai. Bukankah hubungan suami istri bisa saja jadi mantan? Tapi hubungan saudara, terbawa sampai liang lahad? Teman memang gampang ditemui, tapi teman yang selalu ada ketika suka dan duka seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Dengan perasaan entah, kuletakkan berkas yang telah rampung, lalu beranjak man
Baca selengkapnya
48. Kadang Cinta Membuat Seseorang Menjadi Munafik
"Ya, udah kalo gitu. Kami akan berangkat," ucap Simbah sambil mengusap kepalaku saat melihat mobil Abi Nailah terparkir. Mungkin baru saja menjemput abah dari masjid tempat beliau tausiah. Abah dan lelaki dingin itu berekspresi sama-sama kaget saat melihatku. Setelah ummah menjelaskan seperti kata Rina tadi. Mereka terlihat manggut-manggut. "Bulan dan Rina sebaiknya ikut sebentar. Kita bicara dulu sambil makan malam," titah abah membuatku heran namun tetap mengiyakan. Rina dan Langga berboncengan. Sedang aku dan Andi seperti tadi. Kami mengikuti avanza velos putih itu memasuki area pantai Senggol. Selain tempat ini paling terfaforit buat jalan-jalan dan berbelanja, pun pilihan paling pas untuk menikmati kuliner sambil merasakan debur ombak menghempas pinggir tanggul yang memanjang hampir seluruh laut menjorok ke kawasan kota Pare-pare. "Jadwal abah akhir-akhir ini padat sekali. Paling tiga hari di Makassar baru pulang lagi ke Tenggara. Tidak apa-apakan nikahanmu dimajukan?" ujar
Baca selengkapnya
49. Aneh
"Tidak, Sayang, kami menghargai keputusanmu. Kamu memang anak yang patut diperjuangkan."Kurasakan kulit keriput Simbah memegang tanganku. Refleks aku membuka mata dan berdiri memeluknya dari belakang. "Terima kasih, Mbah. Dari awal Bulan selalu bersyukur dipertemukan dengan, Simbah." Buncahan di dada akhirnya keluar juga, dada terasa sempit menahan sesak yang sedari tadi ingin tumpah. Ya, menangis memang bagian dari simbol kelemahan, tapi sekaligus jalan untuk tetap bersabar. Bersabar dari luka, kecewa, dan takdir yang pasti terjadi. "Kalau Simbah sudah membuat keputusan, kami anak-anak bisanya berbuat apa?" ucap abah sambil bercanda, dan diangguki oleh ummah. Sementara lelaki datar itu masih setia memandang ke tengah lautan. Aku tak tahu menafsirkan raut wajah mereka satu-persatu karena aku tak berani mengangkat wajah lama-lama, selain hati malu, pun ikhlasku masih berusaha kuseimbangkan.Hamba rido dengan segala takdirMu Ya, Rabb. Termasuk tak memiliki dia yang menguasai ruang ri
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status