Semua Bab Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu: Bab 21 - Bab 30
69 Bab
Ibu Menyerah
"Jangan!" tolakku. Aku tak setuju kalau kamar ini ditempati Nita. "Loh, kenapa? Kan kak Hani sudah pergi. Kamar ini juga kosong. Sayang, daripada dibiarkan, mending kita yang pindah ke sini. Iya kan Mas?" Nita setengah memaksa. Aku menggelengkan kepala tetap menolak ide dan inginnya tersebut. "Tidak, biarkan saja seperti ini. Kamarmu tetap di sebelah.""Kenapa Mas? Apa Mas Akbar masih mengharapkannya kembali?"Refleks aku mendelik tajam padanya. Tak suka dengan kalimat yang dilontarkannya meski itu benar. Sudut hatiku terdalam masih berharap Hani kembali, tapi tidak juga harus diakui apalagi di hadapan Nita. Pasti dia cemburu kalau kuiyakan. "Sudah, jangan tanya-tanya lagi. Ayo kita keluar!" ajakku keluar dari kamar agar pembicaraan seputar Hani dan kamar ini tak dibahas lagi. Meski berat, Nita terpaksa menurut. ***"Akbar." Aku menoleh sebentar ke asal suara yang memanggilku tersebut. Itu Ibu. Dia yang bersuara dan datang menghampiriku di ruang tengah. Aku sedang sibuk di d
Baca selengkapnya
Pertemuan Tak Terduga
Pov Hanifah"Kak.""Kak Hani!"Dina terus saja memanggilku setelah aku keluar dari pintu rumahnya, tapi kuabaikan. Aku terus berjalan menuju gerbang keluar dari rumah ini. "Kak Hani!" Kepalaku refleks menoleh ke asal suara yang memanggilku tersebut. Dina. Dia menghampiriku. "Ayolah Kak, jangan menyerah. Kakak tetap di sini untuk mempertahankan Mas Akbar. Please …." rengeknya manja seperti biasanya saat dia ingin sesuatu dariku. Namun sayangnya telat, Din. Aku tersenyum kecut mendengar permohonannya barusan. Kenapa sekarang dia terlihat peduli? Kemarin kemana saja? Bukannya mendukungku, malah terus-terusan menghinaku yang selalu dianggapnya bodoh. Aku tak bergeming dengan rengekannya seperti anak kecil. "Yang minta aku pergi itu Mas Akbar, jadi buat apa aku mempertahankan kalau orang yang kuperjuangkan tidak menginginkanku di sini," jawabku mematahkan harapannya. Ponselku berbunyi. Aku yakin itu dari supir taksi online yang telah kupesan."Tapi Kak, Mas Akbar itu cintanya–"Tan
Baca selengkapnya
Perkataan Reni
Alfian.Dokter Alfian. Iya, itu dia. Aku ingat betul karena sering bertemu dengannya. Dia dokter spesialis andrologi. Dia yang menangani suamiku dulu saat pemeriksaan kesuburan Mas Akbar. "Alfian," ucap laki-laki tersebut ramah menyebutkan namanya seraya mengulurkan tangannya ke arahku. Tak ada rasa canggung sepertiku. Apa dia tidak mengenalku? Aku asyik bertanya dalam hati, hingga …. "Han.""Hani." Teguran Reni membuyarkan lamunanku tentang laki-laki di depanku saat ini. Aku terkesiap, sedikit malu juga takutnya Reni salah mengartikan diamku. Apalagi dari caraku memandang suaminya. "Eh, m–maaf." Aku menangkupkan tanganku ke dada, menolak bersalaman dengannya. Namun aku menyebutkan namaku layaknya orang yang saling berkenalan dengan sedikit menundukkan kepala. "Hanifah."Laki-laki bernama Alfian tersebut menarik tangannya kembali. Senyum tipis masih terulas padaku. Sedikit mengangguk juga padaku. "Beruntung kamu ketemu suamiku, Han. Biasanya dia sudah di rumah sakit.""Oh, dokte
Baca selengkapnya
Dia Mengenalku
"Kenapa Ren?" Aku tak sabar ingin tahu. Reni malah tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. "Tidak apa. Aku cuma kesenangan kamu mau tinggal di sini. Jadi aku ada temannya. Padahal aku berharap kamunya lama loh tinggal di sini." Ia menggamit lenganku manja. Melihatnya membuatku merasakan arti sebuah saudara. Reni tiga tahun diataskudiatasku, dan sikapnya barusan membuatku terharu. Aku memeluknya. "Terima kasih ya Ren. Kalau tidak ada kamu, aku nggak tahu harus bagaimana. Harus tinggal dimana dulu. Semuanya tidak berjalan sesuai rencanaku.""Kamu nggak mau cerita kenapa cerai?"Aku melepas pelukanku. "Aku malu Ren, soalnya ada aib yang harus kututupi.""Aib … suamimu?" tebak Reni terdengar hati-hati. "Hah?" Cukup kaget mendengarnya lalu kusunggingkan senyum tipis. Tak membenarkan juga apa yang barusan dikatakan Reni. "Iya, aku ngerti. Maaf ya." Kuanggukkan kepala mengiakan. Setelah itu Reni tak bertanya lagi, ia pamit pergi dan membiarkan aku istirahat di kamarnya. Alhamdulil
Baca selengkapnya
Kondisi Reni
"A–apa maksud Dokter?" tanyaku tergagap, gugup. Kuambil gelas minum dan meneguknya sampai tertinggal setengah. Kuletakkan kembali gelas yang masih tersisa setengahnya ke atas meja samping piring makanku. Napasku jadi tersengal karena dipaksa minum untuk menetralisir perasaan campur aduk. Pak Dokter mampu membuatku kelabakan dengan perkataannya. Mungkin ini penyebab tidak nyaman untuk mengiakan tawaran tinggal lebih lama di sini. "Tidak ada. Cuma ngasih tahu saja. Kalau bisa tinggallah lebih lama. Reni sangat menyukaimu." Ucapan Dokter Alfian terdengar sendu. Terasa aneh di kupingku seolah ada sesuatu yang disembunyikan. Kalau dia merasa saya temannya, pasti tidak akan memaksa untuk tetap tinggal. Lagi pula kapan pun Reni mau dan saya ada waktu, saya bisa berkunjung ke sini, ataupun sebaliknya Reni yang mengunjungi saya," jawabku memberi penjelasan. Tampak Dokter Alfian menghentikan aktivitas makan dan bersandar ke badan kursi makan. Lalu menghela napas berat. Apa jawabanku terlalu
Baca selengkapnya
Permintaan yang Aneh
"Reni sakit parah? Sakit apa, Dok?" Aku bertanya serius. "Sakit …, ehm sudah, lupakan. Kalau mau tahu, tanya sendiri ke orangnya. Saya tidak mau dianggap bocor menceritakan semua tentangnya. Nanti dia marah. Biar dia yang cerita."Lah? Tanya orangnya? Itu tidak mungkin. Reni sepertinya malah menyembunyikan penyakitnya itu dariku. Pernah kutanya, dia bilang baik-baik saja dan cuma flu biasa waktu itu. Lagian dokter aneh, tadi sudah keceplosan, kenapa tidak diselanjurkan saja, menceritakan semuanya. "Tidak mungkin Dok. Sepertinya Reni justru menutupi hal tersebut," jawabku berharap agar dokter sendiri yang cerita. "Itu karena dia tidak ingin orang lain mencemaskannya. Apalagi kamu. Dia senang sekali berteman denganmu. Katanya seperti punya saudara sendiri. Merasa akrab dan cocok. Reni itu anak tunggal."Oh, soal itu aku pernah dengar dari Reni sendiri kalau dia anak tunggal. Ternyata benar. Cuma tidak cerita mendetail. Soal aku yang dianggapnya seperti saudara sendiri, aku pun berpik
Baca selengkapnya
Pulangkan Nita!
Pov Akbar"Akbar, bagaimana? Sudah dapat orangnya?"Aku menyentak napas berat. Lelah. Pertanyaan yang terus saja diulang Ibu untuk kesekian kalinya. Tampak wajah penuh harap tersirat di sana. Aku menggeleng, mematahkan binar harapannya. "Belum Bu, nanti Akbar coba hari ini datangi ke yayasannya. Siapa tahu ada. Kalau belum ada yang cocok juga, kita ambil random saja meskipun tak sesuai dengan keinginan Ibu. Bagaimana?" tanyaku memastikan. Aku tak mau nanti Ibu komplain dengan apa yang kupilih. Lelah juga menunggu dan ditodong Ibu dengan pertanyaan yang sama setiap harinya. Asisten rumah tangga.Sejak seminggu yang lalu, Ibu memaksaku secepatnya mencari asisten rumah tangga untuk membantunya di rumah ini. Ibu sudah tampak kelelahan karena mengurus rumah sendirian sejak ditinggal pergi Hanifah. Sedangkan Nita tak dapat diharap. Apalagi Dina, anak itu penuh dengan alasan. Bahkan untuk hal kecil seperti menyapu saja, Nita bilang tak bisa karena badannya pasti akan kelelahan sehabis meny
Baca selengkapnya
Gagal
"Tapi Bu, kenapa?" Aku mau tahu alasannya. Mataku tertuju ke arah pintu, takut tiba-tiba Nita muncul di sana. Bagaimanapun juga kami bicara di luar yang tentu saja bisa dipergoki istriku itu kapan saja. Lagipula Ibu lupa situasi. Mau ngomongin menantunya malah di depan teras rumah. "Lah, pake ditanya? Nggak lihat apa kelakuan istrimu itu selama ini di rumah, bikin Ibu eneg. Ibu kira seperti Hani yang rajin, pintar masak, eh rupanya malah melebihi Dina. Pemalas!" cucur Ibu sampai maju begitu bibirnya saat menjawab. Tak ada lagi pujian seperti biasanya. Sepertinya Ibu memang sangat kesal dengan Nita, padahal dia yang dulu mendukung penuh saat aku ingin menikah dengan wanita tersebut dan tak peduli dengan Hanifah. Mungkin beliau mengira Nita akan seperti Hani. Aku pun dulu juga menduga begitu. Kukira sikap malasnya ini hanya sementara karena bawaan orok, tapi setelah diamati lebih berhari-hari, hampir di semua sektor urusan rumah tangga, ia terlihat enggan menyentuhnya. Oh, itu? Syukur
Baca selengkapnya
Berita Mengejutkan
"Bu, maaf. Nita nggak mau pulang. Katanya dia mau di sini saja."Aku pergi ke kamar Ibu memberitahukan hasil jawaban Nita atas pertanyaanku beberapa jam yang lalu. Nita sudah tidur dan ini kesempatanku keluar dari kamar. Wajah Ibu memberengut. Aku tahu itu bukan jawaban yang diinginkannya. Namun mau bagaimana lagi, aku tak mungkin juga memaksa wanita tersebut untuk pergi karena bakal memantik rasa penasarannya kenapa aku terlalu memaksa. Paling buruk ia tahu maksud kami sebenarnya adalah mengusirnya sementara dari rumah ini secara halus. Sebenarnya bukan Ibu saja yang sudah muak dengan kelakuan Nita, aku pun demikian. Padahal dia baru berada di sini tak lama. Belum sampai sebulan, tapi rasanya sudah sangat memuakkan. Sikapnya yang pemalas, tidak peka, dan seenaknya membuatku tak nyaman. Dia tidak seperti Hani yang mengerti keinginanku dan apa saja mauku. Sekarang tiap malam selalu menyetel jam alarm sendiri biar tidak kesiangan bangun dan telat ke kantor, atau memastikan jamnya berfu
Baca selengkapnya
Terdesak
Pov Hanifah"Lebih baik kamu istirahat saja, Ren. Pikiranmu lagi kacau." Aku membenarkan selimut yang menutupi setengah badan Reni. Namun tanganku dipeganngnya membuat gerakanku terhenti sesaat. "Aku serius. Waktuku tak kan lama. Jika aku pergi, kasihan Mas Alfian." Wajah memelas Reni membuatku tak nyaman. "Ren, kalau pikiranmu begini terus, sakitmu akan makin parah. Pikiran buruk itu menambah energi negatif dan menambah kekuatan untuk penyakit di dalamnya. Bukannya sembuh, kamu malah membuat mereka makin kuat," ujarku menegurnya. Aku tak suka cara Reni yang sudah terlihat putus asa. Pasti dia sembuh. Apalagi dia orang kaya, bisa kan ikhtiar sampai titik penghabisan. Pergi kemanapun, ke tempat pengobatan yang lebih canggih. Semua bisa dengan uang yang dipunya. "Kamu gampang ngomong gitu sebab kamu nggak ngalaminnya. Nggak ngerasainnya. Semua sudah kulakukan buat sembuh, Han. Tapi yang namanya sakit parah, tentu sulit, Han, dan ini sudah yang terakhir kalinya berusaha. Kamu kira aku
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status