Hanifah tak mengira kesetiaannya selama ini pada suami dan ibu mertua berbuah pengkhianatan. Ia bahkan menutupi rahasia besar suaminya dan rela menjadi tameng yang disalahkan karena dianggap tak bisa memberikan keturunan. Merasa sudah dilukai terlalu dalam, Hanifah akhirnya memutuskan untuk melawan. Dia bahkan secara halus membuka aib yang selama ini disembunyikannya untuk melindungi harga diri suaminya tersebut. Rahasia apa yang telah disembunyikan Hanifah bertahun-tahun? Apa yang terjadi pada suaminya kelak andai rahasia itu terbongkar?
View MoreBUKAN SALAH IBU
"Dasar anak pel-acur! Berani-beraninya kamu sekolah disini!"Sepasang tangan mendorongku dengan keras dari belakang. Aku terjerembab dan jatuh ke lantai sekolah yang menyisakan jejak-jejak tapak sepatu berdebu. Mendongakkan kepala, kudapati Helena dan gerombolannya, berdiri sambil bertolak pinggang. Aku menelan ludah, berusaha berdiri tapi sepatu putih gadis itu telah mendarat di atas kepalaku.Sungguh, ini adalah hinaan yang paling menyakitkan. Aku berontak, berusaha berdiri, dan kejap berikutnya, kudorong gadis itu sekuat tenaga, tanganku mencari-cari bagian tubuhnya, apa saja, yang bisa kupakai untuk membalasnya."Ibuku bukan pelacur!" teriakku histeris.Tentu saja aku kalah. Helena dan ketiga temannya memiting tanganku, menyandarkan tubuhku ke dinding. Gadis itu menamparku berulang kali, keras sekali, hingga kurasakan cairan asin menetes dari sudut bibir."Ibumu menjual dirinya pada laki-laki! Apa namanya kalau bukan pel-acur?!" teriak Helena di depan wajahku."Ibuku bekerja sebagai pelayan di club. Dia tidak menjual tubuhnya."Cuih!Sepercik ludah milik Helena mendarat tepat di pipiku. Darahku mendidih oleh amarah yang kian membara. Tapi, aku tak bisa berbuat apa-apa. Kedua teman Helena mencengkram tangan kiri dan kananku, sementara satu orang lagi, meremas daguku kuat-kuat hingga kepalaku bahkan tak bisa bergerak. Sial bagiku, Helena memilih teman-teman bertubuh besar untuk menjadi bodyguardnya."Kau tidak tahu, Bella! Setiap malam, Ibumu dibawa pergi lelaki ke hotel. Aku tidak akan peduli seandainya salah satu dari lelaki itu bukan ayahku! Bukan ayahku! Kau dengar?!"Helena berteriak kuat-kuat. Ada titik bening yang mengembun di sela-sela matanya, bercampur dengan amarah. Untuk terakhir kalinya, dia menendangku kuat-kuat, tepat mengenai perut hingga rasa sakitnya tak terperi. Aku menjerit dengan sisa tenaga. Sebelum kegelapan menyambutku dengan sempurna, kudengar sebuah suara berseru keras!"Ya Tuhan! Isabella, Helena! Hentikan!"***Aku terbangun oleh suara lirih seseorang. Membuka mata dan menghirup napas pertama secara sadar, aroma khas rumah sakit menusuk hidung. Ada selang di hidungku, dan tiang infus yang tersambung ke punggung tangan kiri. Gerakan lemahku membuat seseorang yang sedang menelepon itu, menoleh, menurunkan ponsel dari telinganya dan berdiri menghampiriku."Pak Emir?""Kamu sudah sadar, Bella? Saya takut sekali karena kamu tak juga bangun."Pak Emir, guru olahragaku. Aku ingat, suaranyalah yang kudengar terakhir kali sebelum jatuh pingsan."Berapa lama saya pingsan, Pak?""Sekitar tiga jam. Ini sudah hampir malam."Malam seperti ini, Ibu tentu sedang bersiap berangkat bekerja. Oh, apakah benar yang dituduhkan Helena tadi siang? Bahwa Ibu bukan hanya bekerja menjadi pelayan, tapi … menjual dirinya?"Saya menghubungi Ibumu, beliau katanya akan segera datang."Tidak! Jangan sampai Pak Emir bertemu Ibu. Bagaimana kalau tuduhan Helena benar dan ternyata semua orang tahu hal yang sebenarnya tentang Ibu?"Kenapa teman-temanmu melakukan hal ini?""Mereka bukan teman saya," ucapku getir. Ya, mana mungkin ada teman seperti itu?"Saya akan melaporkan kasus bullying yang kamu alami ke pihak sekolah. Kalau kamu sudah membaik, kepala sekolah akan mempertemukan kamu dan Ibumu, dengan keempat temanmu beserta orang tuanya masing-masing."Mataku seketika membola. Tanpa peduli apapun, kucabut dengan kasar selang oksigen itu dan duduk di atas pembaringan, tak peduli perutku langsung mual dan kepala pusing akibat bergerak secara mendadak."Jangan, Pak. Tidak perlu sampai ke sekolah. Saya akan menyelesaikan ini sendiri."Pak Emir menatapku lama sekali."Cerita sama Bapak, Bella. Apa yang sebenarnya terjadi?"Suaranya lembut sekali. Sesaat, aku tertegun menatap lelaki itu. Pak Emir, guru olahraga yang tampan, idola para gadis di sekolahku. Dia belum menikah. Konon, usianya baru dua puluh empat tahun.Aku membuang pandang, meredam getaran yang tiba-tiba muncul di dada."Terima kasih Bapak sudah menolong saya. Tapi, saya mohon beri kesempatan saya dan Ibu menyelesaikannya sendiri."Bagaimana mungkin aku membiarkan seluruh sekolah tahu profesi Ibu?Pak Emir pamit pulang ketika malam telah larut dan Ibu tak kunjung datang. Tak mungkin baginya menemaniku, berduaan saja di kamar kelas satu ini. Kamar kelas satu! Astaga, bagaimana cara Ibu membayarnya nanti?Aku panik, mencoba menghubungi Ibu dengan smartphone murah yang Ibu beli untukku sekedar agar bisa berkomunikasi, tapi hingga aku lelah dan putus asa, beliau tak juga mengangkat teleponku. Selama ini aku tak pernah menelepon jika Ibu bekerja karena beliau melarang. Namun, kata-kata Helena tadi kembali terngiang. Kata-kata yang diucapkannya sambil menangis.Benarkah Ibu seorang pel-acur? Benarkah Ibu menjual diri, bukan sekedar menjadi pelayan? Dan benarkah, bahwa Papanya Helena tidur dengan Ibu?***Pagi-pagi sekali, Ibu datang. Wajahnya yang cantik tampak sangat lelah."Kenapa Ibu nggak angkat teleponku?"Ibu menoleh sejenak, memberi jeda pada kegiatannya membuka kotak styrofoam yang beraroma bubur ayam."Ibu kerja, Nak.""Apakah pekerjaan Ibu lebih penting dari aku? Bagaimana kalau aku mati saat Ibu lagi kerja?"Ibu tampak sangat terkejut. Dia benar-benar berhenti menyajikan makanan di atas meja."Bella, jangan bilang seperti itu. Ibu melakukan ini untukmu."Mataku terasa panas. Air mata yang berusaha keras menerobos pertahananku sejak semalam, kini mendesak keluar."Apa benar Ibu bukan hanya menjadi pelayan di club? Apa benar Ibu menjual diri?"Kini, Ibu sempurna terkejut."Siapa yang bilang begitu?"Bibir dan suaranya bergetar. Dipandanginya wajahku yang kini basah air mata. Peristiwa kemarin, dan ketidakhadiran Ibu semalam cukup menjadi alasanku menangis. Hatiku nelangsa dan perih tak terhingga. Semalam, aku berharap dia datang, berharap tidur dalam pelukannya setelah menjalani hari yang berat."Apa benar, Ibu tidur dengan Ayahnya temanku?"Pertanyaan terakhir itu akhirnya lolos juga. Ibu seperti kehilangan kemampuannya bernapas dalam waktu beberapa detik lamanya. Dan tiba-tiba saja, Ibu merengkuh kepalaku, tenggelam dalam pelukannya."Anakku, tolong jangan berkata seperti itu. Jangan bertanya dan jangan dengarkan orang lain. Bisakah kau hanya percaya pada Ibu saja?"Suaranya bergetar dan mengandung tangis. Tanpa kuminta, bagai sebuah slide film, hidup kami yang entah selama ini membayang di mataku. Sosok Ayah yang tak pernah ada, membuat Ibu harus bekerja keras membesarkan aku seorang diri. Segala pekerjaan telah Ibu lakoni. Berdagang sarapan, menjadi buruh cuci gosok, hingga menjadi pelayan di kios buah. Disanalah Ibu bertemu dengan teman lamanya yang kemudian mengajaknya bekerja di club malam. Hanya sebagai pelayan, janji Ibu padaku waktu itu."Bisakah kau tak menanyakan hal itu lagi, Bella? Percaya sama Ibu. Tolong, Nak. Apa artinya hidup Ibu jika satu-satunya alasan Ibu bertahan sejauh ini, justru meragukan Ibu?"Aku tergugu, melepaskan diri dari pelukannya. Kutatap wajahnya yang sendu, dengan dua garis air mata menganak sungai. Di matanya itu, terbayang kepahitan hidup yang telah sama-sama kami lalui. Pada wajahnya yang sendu, terpeta rasa cintanya yang luar biasa padaku. Bagaimana mungkin aku meragukan dirinya?Bukan seberat ini beban yang seharusnya ada di pundak Ibu. Ini bukan salah Ibu."Ibu, maafkan aku, Ibu."Kami bertangisan, di subuh yang dingin diiringi suara gerimis yang menelusup masuk lewat jendela. Seharusnya, semua tidak seperti ini. Seharusnya, Ibu tak perlu bersusah payah seperti ini. Jika saja lelaki yang menyebabkan diriku hadir ke dunia, tak meninggalkan kami.Jika saja, lelaki yang katanya mencintai Ibu, bisa dipercaya.***Akbar pulang dengan wajah murung. Ibu Mirna yakin anaknya dalam masalah, berharap bukan soal pekerjaan. “Akbar, kamu baik-baik saja kan, Nak? Kok wajahnya murung begitu?” tanya ibunya cemas. Tanpa bicara, Akbar memberikan surat undangan pernikahan Hanifah yang dimintanya dari Pak Djarot. “Apa ini Bar? Undangan pernikahan? Hanifaaah? Maksudnya ini …?” bu Mirna sedikit tak yakin saat membaca nama Hanifah di undangan ini apakah Hanifah mantan menantunya? “Beneran Hanifah mau menikah?” Suara Ibu meninggi, matanya membelalak tak percaya masih menatap nama di surat undangan tersebut. Akbar mengangguk pelan dengan suara lirih. “Iya.”“Dengan siapa? Alfian? Siapa lelaki itu?” tanya Ibu lagi, nadanya getir.“Namanya ... Alfian, entah siapa.” Akbar menarik napas dalam, menyandarkan tubuh ke sofa. “Tapi Akbar merasa pernah dengar nama itu, tapi entah di mana Bu.”Ibu menghela napas kasar. “Kamu masih mencintainya kan, Bar. Itu terlihat jelas dari matamu saat menyebut namanya.”“Tapi percum
“Bagaimana, persiapan sudah sampai mana?” Bu Rosa bertanya saat Hanifah baru saja mendaratkan badannya ke sofa ruang tengah. Ia mampir sebentar ke rumah orangtua angkatnya ini demi menunjukkan perhatiannya pada orang yang telah berperan besar mengubah nasibnya tersebut. Sesibuk apa pun bakal menyempatkan hadir ke rumah ini. “Hm, sudah hampir beres Bu, sudah delapan puluh persen dan berjalan lancar. Sisanya ngepas baju pengantin bersama Mas Alfian,” jawab Hanifah tak jadi merebahkan punggungnya ke bahu sofa, mencoba bersikap sopan karena diajak bicara. Sebenarnya badannya terasa remuk sebab seminggu belakangan ini Hanifah sibuk kerja demi hari pernikahannya berjalan lancar. Ia tak mau konsentrasinya jadi terganggu. Makanya menuntaskan pekerjaan kantor secepatnya, sisanya biar dihandle sama asisten dan karyawan kepercayaannya. Bu Rosa tersenyum. “Syukurlah. Tidak ada kendala berarti kan?” tanya wanita berumur setengah abad itu dengan tatapan serius, memastikan. Hanifah menggeleng le
“Bu.” Akbar merangsek duduk di hadapan ibunya yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Sejak tahu kebenaran tentang menantunya, Bu Nilam jatuh sakit. Tekanan darahnya naik, disertai demam tinggi. Akbar sudah memaksa ibunya untuk pergi berobat ke dokter, tapi Bu Nilam menolak. Ia merasa takkan ada perubahan berarti andai dirawat di sana, ini soal hati, bukan raga. Ia sakit hati. Tak menyangka bakal dicurangi menantu yang disayanginya hingga rela mengorbankan menantu pertama. Bu Nilam memutuskan tetap berada di rumah. Minta Surti saja yang merawatnya dan minum obat racikan apotek. Pasti juga sembuh, pikir Bu Nilam. “Bu, makan dulu.” Akbar mengangkat piring dan siap untuk menyuapi ibunya makan. Surti memberitahu kalau ibunya tak mau makan meski sudah dipaksa asisten rumah tangganya tersebut. Makanya terpaksa Akbar turun tangan sendiri. Kalau tidak begini keadaan ibunya akan tetap sama. Bu Nilam menggeleng. Menolak suapan Akbar yang mengayun ke mulutnya. Gerakan tangan Akbar tertahan
“Mas, kumohon. Jangan usir kami. Kasihan Kesya, dia masih kecil butuh sosok ayah, kalau–”“Tapi aku bukan ayahnya. Silakan bawa dia ke ayah kandungnya, aku yakin orang itu masih hidup bukan? Kenapa jadi membebaniku dengan dosa laki-laki lain, dosa kalian berdua tepatnya. Cih! Aku tak sudi!” sela Akbar kasar memotong ucapan Nita. Hatinya sudah mati untuk bersimpati. Kesalahan Nita dan keluarganya sudah fatal. Kesabarannya sudah diambang batas. Tega-teganya kedua ibu-anak tersebut membodohi ia dan ibunya. Bahkan karena menikahi Nita, Akbar tega menceraikan Hanifah yang menurutnya adalah istri terbaik selama hidupnya. Sekarang nasi sudah menjadi bubur, semua takkan bisa dikembalikan seperti semula. Hanifah pergi, dan Nita terpaksa diusir. Nita tak dapat menjawab, ia kehabisan kata. Sindiran Akbar benar. Kenapa malah laki-laki tersebut yang menanggung dosa ayah biologisnya Kesya, dosanya juga. Tak mungkin Kesya hadir tanpa kontribusi kedua orang berlawanan jenis tersebut. Nita menatap
“Bagaimana? Ada kabar apa?” Hanifah bertanya saat Beni minta bertemu. Katanya ada informasi penting dan harus tatap muka. Mereka sekarang berada di sebuah kafe dekat kantor Hanifah. Meskipun bingung, Hanifah menurut saja, mungkin ia kira memang ada yang harus diobrolkan secara tatap muka. selama ini komunikasi mereka lebih sering lewat sambungan telepon. “Maaf, Bu, minta bertemu. Mungkin ini laporan terakhir yang bisa saya sampaikan."Jawaban Beni berhasil membuat kening Hanifah berkerut. Dia bingung kenapa Beni mengatakan hal seperti itu, apa mau mengundurkan diri dari tugas rahasia ini? Apa semua sudah selesai? Perasaan Hanifah, semua baru setengah berjalan, bahkan terkesan baru saja dimulai. Apa jangan-jangan semua rencana mereka telah ketahuan oleh Akbar atau orang lain dan? Tapi ….Hanifah belum sempat bertanya, Beni sudah bersuara. “Sepertinya tugas saya sudah selesai, Bu. Dari kabar yang saya dengar, Nita, ibu, dan anaknya diusir dari rumah oleh Pak Akbar. Dari kabar yang saya
Beberapa hari sudah hubungan Akbar dan Nita sangat dingin. Akbar malas mengajak bicara Nita, sedang Nita takut-takut untuk memulai pembicaraan ke Akbar. Sejak melakukan tes DNA, keduanya seperti memutuskan irit bicara dan hanya sekedarnya. Terutama Akbar dan ibunya. Begitupun hubungan Bu Nilam dan Yusni. Keduanya seolah menabuh genderang perang tapi secara diam-diam dan hanya lewat tatapan mata yang sengit. Rumah Bu Nilam dan Akbar layaknya medan perang tapi dalam mode gencatan senjata. “Gimana, Bu? Mas Akbar masih mendiamkan Nita sampai sekarang ini. Bahkan cuma menengok Kesya tanpa ingin menggendongnya apalagi menciumnya seperti biasa. Suamiku itu makin menjauh seolah yakin Kesya bukan anaknya. Ia juga tak peduli dengan apa yang sudah Nita lakukan. Semua terasa sia-sia. Apa Mas Akbar sudah merasakan hal tersebut ya? Aaakh! Nita bingung. Nita pasrah, Bu.” Nita mengeluh melihat sikap Akbar padanya. Padahal Nita sudah mulai berubah. Sikapnya lebih lembut dari sebelumnya. Ia tidak lagi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments