All Chapters of Neng Zulfa: Chapter 21 - Chapter 30
99 Chapters
Bab 20 - Kebersamaan Manis
Zulfa Zahra El-FazaSatu yang kupelajari. Semakin malu-malu, maka Gus Fatih akan semakin gencar menggodaku. Suamiku itu ternyata sangat pandai melakukannya. Dan aku tidak pernah menduga akan hal ini sebelumnya.Karena tidak tahu harus melakukan apa di dalam gazebo, aku membaca sebuah novel yang kutemukan di dalam laci meja.Kupikir milik santri Abah yang tertinggal. Namun, saat kubuka halaman depannya ada tanda tangan Mas Adhim di sana. Nama lengkapnya yang ditulis Arab pegon.Aku langsung mengerutkan kening saat melihatnya tadi.Aneh sekali. Kalau benar milik Mas Adhim, kenapa bisa ada di sini?Kurasa aku harus menanyakannya saat kami bertemu.Di setiap buku miliknya, Mas Adhim selalu membubuhkan tanda tangannya pada halaman pertama. Itu sudah menjadi ciri khasnya sejak kecil.Judul novel itu adalah Cinta Naynawa, ditulis oleh seorang penulis bernama Puput Pelangi—nama yang masih sangat asing.Ketika a
Read more
Bab 21 - Notifikasi HP Gus Fatih
Fatih membuka pejaman matanya. Seperti semula kepalanya masih ada di pangkuan Zulfa. Mendongakkan kepala, laki-laki itu mengamati wajah perempuan yang sudah menjadi istrinya itu dalam diam.Cantik. Tidak ada yang bisa menampik opini mayoritas yang merupakan fakta bagi laki-laki dengan manik hitam itu.Gadis yang memakai gamis polkadot hitam putih berbahankan kain satin itu memang sangat cantik. Wajahnya begitu bersinar seperti pualam. Dan, oh! Jangan lupakan roman muka perpaduan oriental-Timur Tengahnya yang teduh dengan manik sendu. Zulfa adalah definisi sempurna keluhuran paras dan budi seorang perempuan, terlebih untuk seorang putri kiai berdarah biru sepertinya. Bagi Fatih, Zulfa adalah sesempurnanya sempurna.Sampai saat ini Fatih memang belum bisa secara penuh mendeskripsikan perasaannya yang sebenarnya untuk Zulfa. Namun laki-laki itu selalu merasakan damai ketika melihat wajah istrinya itu. Perasaan damai yang tidak pernah Fatih peroleh dari peremp
Read more
Bab 22 - Pesan Rindu
“Assalamu'alaikum, Bu. Ini Zulfa,” salam Zulfa begitu mengangkat telepon dari mertuanya.“Alhamdulillah! Akhirnya bisa juga ditelepon. Iya, Fa, wa'alaikumussalam.” Suara ibu mertuanya itu terdengar senang dari seberang sana.“Kamu sama Masmu ke mana saja, Nduk? Hari ini kok nggak bisa Ibu telepon blas dari pagi. Terus, Masmu sekarang juga di mana? Kok malah kamu yang ngangkat teleponnya? Hapemu sendiri juga kenapa ndak bisa Ibu telpon?” Nyai Fatimah membrondong Zulfa dengan pertanyaan ini-itu.Zulfa tersenyum, melengkungkan bibir. Perhatian ibu mertuanya yang seperti ini sangat berarti untuknya. Dari suaranya, terdengar jelas jika beliau teramat sayang dan begitu mengkhawatirkan Zulfa. Sama seperti pada putranya sendiri, Fatih.“He he.” Zulfa bingung harus menjawab bagaimana. Tidak mungkin kan ia ceritakan semua yang dirinya dan Fatih alami selama di Kediri kepada ibu mertuanya itu.“Lho, ditanya kok ndak jawab? Cengengesan sisan. Masa ha
Read more
Bab 23 - Bayangan
Zulfa Zahra El-FazaAku baru tahu, ternyata Gus Fatih tidak jadi pergi ke ndalem tadi. Semua makanan yang tersaji di meja, Mbak Ratna yang mengantarkannya. Lalu soal hidangan fastfood, siapa lagi kalau bukan kerjaan Mas Adhim.Entah, sogokan seperti apa yang diberikan Mas Adhim sehingga membuat ipar cantikku itu bersedia membawa serta makanan ‘terlarang’ itu.Atau jangan-jangan, Mbak Ratna dipaksa olehnya? Atau bahkan diancam? Semua bisa saja terjadi bukan? Mas Adhim itu kadang tidak bisa ditebak. Orangnya sangar bin nyeleneh. Jadi yang pasti, kakakku itu pasti melakukannya secara sembunyi-sembunyi di belakang Umi, tetapi jujur aku merasa senang. Berkat Mas Adhim, aku bisa makan pizza sepuasnya juga kentang goreng dengan baluran keju di atasnya.Gus Fatih tidak banyak bicara saat dengan lahap aku menyantap makananku. Sesekali ia hanya tersenyum sembari menatapku dengan tatapan tenang—yang selalu saja sukar diterjemahkan.Sama denganku, Ma
Read more
Bab 24 - Tentang Mas Adhim
Zulfa Zahra El-FazaAku tidak tahu bagiamana menggambarkan seberapa besar cintaku kepada suamiku. Namun seluruh hatiku, hanya dirinya yang berhasil menguasainya. Yang terdalam sekalian, hanya Gus Fatih yang telah berpijak. Untuk yang pertama kalinya dan satu-satunya, dia raja yang menduduki kerajaan yang ada di dalam sana.Seminggu adalah waktu yang kumiliki untuk tinggal dan menetap di Kediri. Setelah empat malam tiga hari menghabiskan waktu bersama di area privat, aku dan Gus Fatih akhirnya kembali ke kamar ndalem. Tersisa dua hari lagi karena sebelum tinggal di gazebo, kami berdua telah menghabiskan satu malam di kamarku.Aku menutup novel yang ada di genggaman tanganku. Ya, novel yang sebelumnya kuduga milik Mas Adhim yang beberapa waktu lalu kutemukan di laci kamar gazebo. Aku baru mengkhatamkannya hari ini. Alasannya, setelah waktu itu, Gus Fatih tidak pernah membiarkanku membacanya. Menyentuhnya saja tak diizinkan. Katanya, saat membaca aku berakhir
Read more
Bab 25 - Hal-hal Ajaib Bersama Mas Adhim
Zulfa Zahra El-FazaPercayalah, hampir di setiap hal-hal ajaib yang kualami, Mas Adhim selalu berada di baliknya. Seperti saat ini contohnya, aku dan Mas Adhim sedang jalan bersama di mal untuk berbelanja barang-barang yang akan dibawanya kembali ke Bandung dua hari lagi.Aku tahu ini bukan gayanya sama sekali. Mas Adhim suka yang praktis. Jadi membawa barang jauh-jauh dari Kediri ke Bandung adalah hal yang seharusnya buang-buang waktu dan tenaga untuknya.Ini pasti hanya alasannya saja agar kami bisa diizinkan Umi untuk pergi berdua. Toh, bukankah akan sulit saat Mas Adhim membawa barang-barang yang dibelinya dengan motor gede yang dikendarainya pulang? Sesedikit apa pun itu. Kecuali jika Masku itu memang berniat kembali ke Bandung menggunakan Jip Wrangler putih kesayangannya. Dan tentu saja, itu juga berarti Mas Adhim harus rela meninggalkan motor gede yang tak kalah disayanginya di garasi ndalem.Aku masih mengenakan gamis kuning bermotif bunga
Read more
Bab 26 - Kabar Mengejutkan
Zulfa Zahra El-FazaKamu sudah makan siang?Pesan itu baru saja dikirim oleh Gus Fatih.Saat ini aku sedang mampir di salah satu warung makan pinggir jalan yang menjajakan bakso dan mie ayam. Satu mangkok mie ayam yang dipadukan dengan bakso sudah kandas di depanku beserta batok es degan kelapa yang kosong telah kuhabiskan tetes terakhirnya, bersisian dengan milik Mas Adhim.Sedangkan Mas Adhim sendiri, ia tengah menjawab telepon dari Mas Alim di luar. Zidan asyik bermain-main dengan boneka kuda-kudaan miliknya yang dari ndalem sengaja dibawa oleh Mas Adhim dan diletakkannya di dashboard mobil.Kami duduk di salah satu lincak yang disediakan pemilik warung di dalam. Sebuah tempat duduk berupa bangku panjang yang terbuat dari kayu bambu. Terpisah dari tempat duduk para pembeli yang lain.Jika aku tidak salah kira, sepertinya Mas Adhim mengenal baik pemilik warungnya.Seorang perempuan di atas paruh baya seumuran Mbok Hali
Read more
Bab 27 - Andil di Pesantren
Bagi Zulfa, memang sudah menjadi seharusnya semua berjalan dengan baik-baik saja. Memiliki keluarga yang sangat menyayanginya, kedua kakak yang begitu peduli padanya, ayah dan ibu mertua yang mengasihinya pun suami yang mencintainya. Ya, meski yang terakhir itu Zulfa simpulkan sendiri karena sampai saat ini, sebagai suami belum pernah ada kata cinta yang diucapkan Fatih kepadanya. Namun, Zulfa baik-baik saja.Cinta memang tidak harus selalu diungkapkan lewat kata-kata bukan? Selalu, kalimat itu yang setia Zulfa tanamkan dalam benaknya.Pagi ini, dengan baju muslimah yang terlihat semi formal, Zulfa mendudukkan diri di salah satu bangku depan ruang kelas yang berisi sekitar empat puluhan santri putri yang sedang melangsungkan lalaran nadhom Imrithi yang dipercayakan Bu Nyai Fatimah—sang ibu mertua—kepadanya.Alhamdulillahil-ladzi qad waffaqoLil ilmi 'khoiro 'kholqihi wa lit-tuqoKhatta nahat qulubuhum linahwihiFamin 'adhimi sya'
Read more
Bab 28 - Kedatangan Neng Shofiya
Zulfa Zahra El-Faza“Masmu di mana, Nduk?”Ibu yang kakinya sedang kupijat melempar tanya kepadaku. Beliau menepuk tanganku yang masih mengurut kedua kakinya sebagai isyarat agar aku menghentikan pekerjaanku kemudian menatap padaku intens.Saat ini, kami berdua berada di dalam kamar Ibu dan Abah Kiai. Ibu menyelonjorkan kaki di atas tempat tidur dengan aku yang duduk di pinggiran ranjangnya untuk memijat kaki beliau.“Mas Fatih medhal, Bu. Sehabis Zuhur tadi, Mas pamit ke luar sama Cak Danang.” Aku menjelaskan.“Howalah. Ya wes.” Ibu mengangguk. Ketika aku berniat kembali memijat kakinya, Ibu mencegahku dengan gelengan kepala. “Sudah, Fa. Kamu kembali ke kamarmu saja. Ibu mau ke pondok putri sebentar nilik arek-arek. Kamu mengerjakan apa gitu, atau mungkin mau omong-omongan sama Dewi.” Beliau turun dari ranjang.Keluar dari kamar Ibu bersama beliau, aku langsung kembali ke kamarku setelah menutup pintu kayu bercat putih tulang ru
Read more
Bab 29 - Gus Fatih vs Gus Aji
Zulfa Zahra El-FazaDua puluh menit yang lalu Neng Shofiya sudah pamit dan kembali pulang ke ndalemnya, pesantren salaf milik keluarga Gus Aji yang ada di Sidoarjo.Aku ingin menahannya, tapi kepergiannya yang tanpa pamit kepada keluarga membuatku tidak bisa melakukan apa-apa. Setelah sekian lama, aku dan dia bisa menjalin pertemanan pada akhirnya.Dari dulu Neng Shofiya memang gadis yang pemberani dan seolah tidak memiliki rasa takut terhadap apa pun—selain terkenal akan sifat manja dan tingkahnya yang suka berbuat apa saja sesukanya. Jadi, aku tidak terlalu terkejut ketika ia bilang saat pergi kemari, ia tidak izin terlebih dulu pada Gus Aji.Dia memang sangat nekat.Neng Shofiya tentu saja tahu, tidak diperbolehkan hukumnya seorang perempuan yang sudah menikah pergi keluar rumah tanpa izin suami, tapi Neng Shofiya bersikap seolah tidak peduli. Aku maklum, mungkin ia sudah tidak tahan lagi sampai melakukannya. Semoga saja tidak terlalu
Read more
PREV
123456
...
10
DMCA.com Protection Status