Lahat ng Kabanata ng Mengejar Cinta Mantan Kekasihku: Kabanata 41 - Kabanata 50

Bianca mengerjabkan mata dan perlahan menjauhkan kelopaknya, saat sadar dia bingung karena sudah terbaring di atas ranjang, dia meyakini sedang berada di atas kasur Embun. Wanita itu mengangkat sedikit kepala dan semakin kaget mendapati suaminya berbincang dengan Axel.“Astaga, mau ditaruh mana mukaku?” Bianca bergumam dalam hati dan kembali memejamkan mata, tapi sayang Skala sudah melihatnya bergerak tadi. Suaminya itu langsung berdiri dari kursi dan membuat Axel menoleh, begitu juga dengan Embun yang duduk di sebelah Rain dan sang mami.“Kamu sudah sadar? Kamu pingsan apa tidur?” tanya Skala.Gigi Bianca bergemerutuk, bisa-bisanya Skala menanyakan hal macam ini padanya. Ia benar-benar malu. Meski begitu, Bianca berusaha untuk bangun, dia pijat pelipisnya sebelum tersenyum canggung ke arah Jojo dan Axel. Ia pun menunduk dan seketika menoleh dan melotot ke arah putranya.“Tenang saja! Rain berbohong, aku sudah bertanya padanya,” ucap Skala. Rain pun mendekat ke sang Mama, sebuah cubi

“Rain, apa artinya kamu tidak ingin kita memiliki anak nanti? Embun melepaskan pelukannya, tak habis pikir. Bukankah anak itu tanda cinta?“Ayolah Bu, kamu besar di Australia, bukankah pikiranmu harusnya tak seprimitif orang kita yang mendewakan anak dalam hubungan suami istri, jika belum memiliki anak tandanya tidak sempurna.”Bola mata Embun bergerak mencoba mencari tahu apakah Rain benar-benar serius mengatakan hal ini kepadanya. Mungkinkah Rain lupa dengan ‘Boo’.Mengusap pipi Embun yang dia tahu pasti sangat terkejut dengan pemikirannya. Rain pun berkata, “Aku masih ingin menikmati waktu berdua denganmu, aku hanya ingin kita menunda. Ini permintaan yang datang dari hatiku, enam tahun waktu yang lama untuk kita berpisah, aku tidak ingin perhatianmu cepat terbagi. Kamu tahu ‘kan maksudku?”Embun pun mengangguk. Meski sebenarnya bingung. Mungkinkah Rain tidak akan menyentuhnya nanti?Meski sudah men

Rain terdiam, terlihat berpikir dengan permintaan Embun yang tidak ingin menggunakan pengaman di malam pertama mereka.“Aku tahu kamu tidak cepat-cepat memiliki anak, tapi bukankah aku punya hak mendapatkan itu. Rain, momen ini tidak akan terulang kembali. Jadi bisakah kamu melakukannya dengan natural. Aku yakin tidak mungkin hamil, bukan meremehkan kesehatan organ reproduksimu bukan, tapi-“Embun seketika diam karena Rain berjalan ke arahnya masih dengan menggenggam pengaman di tangan. Namun, saat jarak mereka mulai terkikis Rain melempar pengaman itu ke lantai. Ia membungkuk, meletakkan kedua tangannya di sisi Embun yang duduk di tepian ranjang.“Rain!” lirih Embun, dia benar-benar takut melakukan kesalahan. Matanya berkaca, ia takut. Bukankah ini hari pertama dia dan Rain menjadi pasangan suami istri tapi kenapa harus dimulai dengan perselisihan.“Rain, aku-“Embun tak bisa melanjutkan kata-kata karena bibirnya terbungkam, seperti apa yang Embun inginkan, Rain melakukannya dengan n

“Bisakah kamu mengantarku ke dokter kandungan? Aku ingin memastikan.”Bening mengangguk, dia yang sebenarnya ada rapat memilih untuk membatalkannya demi menemani Embun, tapi sebelum pergi ke dokter dia pastikan sang saudara untuk menyantap buah pisang yang dia bawa tadi. Melihat Embun memakannya dengan lahap, Bening tiba-tiba membayangkan hal yang tidak-tidak. Pikirannya tertuju pada suaminya yang pagi tadi membuatnya takut.Mengemudikan mobil dengan pelan, Bening membuat Embun heran. Gadis itu sampai melongok ke arah speedometer untuk melihat berapa kecepatan mobil yang dilajukan oleh Bening. “Be, kenapa kamu membawa mobilnya sangat pelan? Apa kamu sedang tidak enak badan, apa mau aku yang mengemudi?” Embun menawarkan diri dan seketika Bening menoleh dengan sorot mata galak. “Aku ‘kan sedang membawa wanita hamil, jadi aku tidak mungkin kebut-kebutan,” jawab Bening yang malah membuat Embun terbahak-bahak. “Kenapa kamu malah ngakak? Apa ada

“Papi.” Embun memutar badan, kaget karena ternyata Axel yang memeluknya dari belakang. “Papi udah pulang?”tanyanya sambil menegakkan badan mengikuti apa yang dilakukan Axel.“Hem … apa ini calon cucu Papi?” Axel memandangi foto hitam putih yang diambilnya dari Embun dengan senyuman lebar, lantas beralih menatap sang putri yang menganggukkan kepala dan tersenyum.“Bukankah itu ajaib, Pi?” Embun menggeser tubuh, melingkarkan tangan ke pinggang Axel yang duduk bersandar pada kepala ranjang. Ia mendongak sehingga tatapan mata mereka bertemu “Kenapa? kenapa Papi melihatku seperti itu?” tanya Embun heran.“Papi hanya masih tidak percaya, kalau putri kesayangan Papi sebentar lagi akan menjadi ibu. Padahal Papi merasa baru kemarin menimang kamu di pangkuan,” ucap Axel, dibelainya pipi Embun penuh cinta, dan putrinya itu semakin mencurukkan kepala.Mereka pun berbicara tentang kenangan masa kecil Embun. Meski sudah sering mendengar cerita dari papinya, tapi Embun seolah tidak pernah bosan. Kare